Sunday, September 25, 2016

Pengertian Perikatan (Akad), Rukun dan Syarat Perikatan Islam, dan Menurut Para Ulama.



Dalam melakukan suatu kegiatan muamalah, Islam mengatur ketentuan-ketentuan perikatan (akad). perikatan dalam Hukum Islam yang dijelaskan secara umum dan singkat.

Pengertian Perikatan (Akad)

Istilah perikatan, yang digunakan dalam KUH Perdata, dalam Islam dikenal dengan istilah aqad (akad dalam bahasa Indonesia). Jumhur Ulama mendefinisikan akad adalah “pertalian antara ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hokum terhadap objeknya”.

Ikrar merupakan salah satu unsure terpenting dalam pembentukan akad. Ikrar ini berupa ijab dan Kabul. Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak pertama) untuk menawarkan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak kedua) untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama. Apabila antara ijab dan Kabul yang dilakukan oleh kedua pihak saling berhubungan dan bersesuaian, maka terjadilah akad diantara mereka.

Rukun dan Syarat Perikatan Islam

Dalam melaksanakan suatu perikatan Isalm harus memenuhi rukun syarat yang sesuai dengan Hukum Islam. Rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan atau tidak adanya sesuatu itu”. Sedangkan, syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.”

Pendapat para ulama mengenai rukun dan syarat perikatan dalam Islam beraneka ragam. Namun, sebagian besar ulama berpendapat, bahwa rukun dan syarat perikatan Islam adalah sebagai berikut:

Al ‘Aqidain (Subjek Perikatan)

Al-‘aqidain adalah para pihak yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan hukum yang mengemban hak dan kewajiban. Ada dua bentuk al-‘aqidain, yaitu manusia dan badan hukum.
Manusia
Dalam ketentuan Islam, manusia yang sudah dapat dibebani hukum disebut dengan mukallaf.
Dari segi kecakapan melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga bentuk.
  • Manusia yang tidak dapat melakukan akad apa pun, misalnya karena cacat jiwa, cacat mental, atau anak kecil yang belum mumayyiz.    
  • Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, misalnya anak yang sudah mumayyiz, tetapi belum mencapai baligh. Akad-akad tertentu ini adalah suatu akad atau kegiatan muamalah dalam bentuk penerimaan hak, seperti menerima hibah. Sedangkan, akad atau kegiatan muamalah yang mungkin merugikan atau mengurangi haknya adalah tidak sah, seperti member hibah atau berwasiat, kecuali mendapat izin atau pengesahan dari walinya.
  • Manusia yang dapat melakukan seluruh akad, yaitu untuk yang telah memenuhi syarat-syarat mukallaf.    
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh manusia untuk dapat menjadi subjek perikatan menurut Hamzah Ya’cub adalah sebagai berikut:
  • Aqil, yaitu orang yang harus berakal sehat. Dalam HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmizi. an-Nasa’i. Ibnu Majah, dan ad-Daruqutni dari Aisyah binti Abu Bakar, dan Ali bin Abi Talib, Nabi Muhammad SAW. Bersabda, “Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang sakit sampai ia sembuh”.   
  • Tamyiz, yaitu orang yang dapat membedakan baik dan buruk.  
  • Mukhtar, yaitu orang yang bebas dari paksaan. Dalam QS. an-Nisa (4): 29, dikemukakan bahwa suatu akad harus dilaksanakan secara suka sama suka diantara para pihak.

Badan Hukum

Badan hukum merupakan badan yang dianggap dapat bertindak dalam hokum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Dalam Islam, badan hukum disebut juga dengan al-syirkah, seperti yang tercantum dalam (a) QS. an-Nisa (4):12 “Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu….”. (b) QS. Shaad (38):24 “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbaut zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman….”, dan (c) Hadits Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda “Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya maka Aku keluar dari keduanya”.
Mahallul “Aqd (Objek Perikatan)
Objek perikatan dalam Islam dikenal dengan istilah mahallul ‘aqd. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd adalah sebagai berikut:
  1. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan. Hal ini disebabkan, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada. Tetapi ada pengecualian  pada akad-akad tertentu, seperti salam, istishna, dan musyaqah yang objeknya diperkirakan akan ada dimasa yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istihsan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat.
  2. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah. Objek perikatan adalah benda-benda atau jasa-jasa yang dihalalkan oleh syari’ah untuk ditransaksikan.
  3. Objek akad harus jelas dan dikenali. Objek akad harus diketahui dengan jelas oleh para pihak, seperti fungsi, bentuk, dan keadaannya.
  4. Objek dapat diserahterimakan. Objek yang tidak dapat diserahterimakan adalah objek yang tidak dibenarkan oleh syara’, seperti burung di udara, ikan di laut. Objek ini harus dapat diserahterimakan secara nyata (untuk benda berwujud) atau dapat dirasakan manfaatnya (untuk berupa jasa).
Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Perikatan)
Maudhu’ul ‘aqd adalah tujuan dari perikatan yang dilakukan oleh para pihak. Menurut Ahmad Azhar Basyir, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut:
  1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
  2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
  3. Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara’  
Sighat al-‘Aqd
Pada rukun yang keempat ini, sighat al-‘aqad adalah berupa ijab dan Kabul. Para pihak yang melakukan ikrar ini harus memerhatikan tiga syarat berikut ini yang harus dipenuhi agar memiliki akibat hukum.
  1. Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
  2. Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan Kabul.
  3. Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan Kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Pelaksanaan ijab dan Kabul yang dilakukan oleh para pihak dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dibenarkan. Cara-cara ijab Kabul teridentifikasi pada empat hal berikut ini.
  1. Lisan. Ijab Kabul dilakukan dengan mengucapkan kehendaknya masing-masing yang saling berhubungan  dan bersesuaian antara kehendak satu dengan lainnya.
  2. Tulisan. Para pihak membuat suatu tulisan yang menyatakan adanya suatu perikatan di antara mereka. Hal ini biasanya disebut dengan Surat Perjanjian. Surat ini berisikan identitas para pihak, objek perjanjian, hak dan kewajiban para pihak, mulai dan berakhirnya perjanjian.
  3. Isyarat. Suatu perikatan dapat pula dilakukan dengan isyarat. Hal ini biasanya dilakukan oleh orang cacat. Isyarat ini dilakukan asalkan para pihak memahami perkataan yang dilakukan.
  4. Perbuatan. Ijab Kabul dapat pula dilakukan oleh para pihak dengan suatu perbuatan. Perbuatan ini disebut dengan ta’athi atau mu’athah (saling member dan menerima).

                                                                       
  

  

No comments:

Post a Comment