Friday, July 29, 2016

Pengertian Gaya Bahasa Perbandingan, Pertentangan, Pertautan dan Perulangan.


Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Gaya bahasa juga merupakan sarana strategis yang banyak digunakan oleh para penyair untuk mengungkapkan pengalaman jiwa kedalam karya-karyanya. Gaya bahasa  atau majas pada umumnya  dikelompokkan menjadi beberapa bagian.

Gaya Bahasa Perbandingan

a. Perumpamaan

Yang dimaksud dengan perumpamaan di sini adalah padan kata simile dalam bahasa Inggris. Kata simile berasal dari bahasa latin yang bermakna "seperti". Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Itulah sebabnya maka sering pula kata perumpamaan disamakan saja dengan "persamaan" misalnya:
Laksana bulan kesiangan
Umpama memadu minyak dengan air

b. Metafora

Metafora adalah perbandingan yang implisit jadi tanpa kata seperti atau sebagai di antara dua hal yang berbeda (Moeliono, 1984:3), metafora merupakan jenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah sebuah kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek; dan satu lagi merupakan perbandingan terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang belakangan itu menjadi yang terdahulu. (Tarigan, 1983:141), misalnya
Tati jinak-jinak merpati
Ali mata keranjang
Perpustakaan gudang ilmu

c. Personifikasi

Personifikasi merupakan jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Misalnya
Angin yang meraung,
Angin membelai indah sampai kerelung hatiku

d. Depersonifikasi

Gaya bahasa depersonifikasi atau pembendaan, adalah kebalikan gaya bahasa personpfikasi atau penginsanan, misalnya
  • Kalau dikau menjadi samudra, maka daku menjadi bahtera
  • Andai kamu menjadi bunga, biarlah aku menjadi tangkainya
Pada dasarnya gaya bahasa  pembedaan ini terdiri dua klausa yang merupakan satu kalimat utuh. Hubungan antara klausa yang satu dengan klausa yang satu lagi bersifat bertautan atau bersifat pertentangan tergantung dari hubungan dan situasi wacana.

e. Alegori

Adalah cerita yang kisahkan dalam lambang-lambang merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan yang diperlambangkan, alegori biasanya merupakan cerita-cerita yang panjang dan rumit dengan maksud dan tujuan yang terselubung namun bagi pembaca yang jeli justru jelas dan nyata. Dengan kata lain, dalam kategori unsur-unsur utama menyajikan sesuatu yang terselubung dan tersembunyi. Alegori merupakan jenis gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan lambang , Natawidjaya, (1986:74), jadi dalam penyampaian sesuatu tentu sangat berpengaruh pada lambang yang dijadikan sebagai alat.
Contoh: perkawinan adalah perjalanan mengarungi samudra

f. Antitesis

Secara alamiah antitesis  berarti "lawan yang tepat" atau "pertentangan yang benar (Poerwadarminta; 1976:52). Antitetis adalah jenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan (Ducrot & Todoro, 1981:227). Contoh:
Dia bergembira ria atas kegagalannya dalam ujian itu
Segala fitnahan tetangganya dibalasnya dengan budi bahas
yang baik Kecantikannyalah justru yang mencelakannya.
Tua, muda, besar, kecil, kaya miskin berbondong-bondong 
mendatangi peresmian lapangan simaturukang kabupaten
jeneponto yang sangat luas.

 

Gaya Bahasa Pertentangan

a. Hiperbola

Hiperbola merupakan gaya bahasa yang berlebih-lebihan. Yang memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Contoh
  • Sempurna sekali tiada kekurangan suatu apapun buat pengganti baik atau cantik
  • Hatiku hanxur, terkoyak, darahku mendidih, dadaku serasa sesak, mendengar dia memutuskan diriku

b. Litotes

Majas yang didalamnya mengungkapkan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan, litotes, mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya. Contoh 
  • Hasil usahanya tidaklah mengecewakan
  • Jakarta sama sekali bukanlah kota kecil dan sepi

c. Ironi

Gaya bahasa sindiran yang menyatakan sebaliknya dengan maksud menyindir. Contoh.
Bagus benar tulisanmu seperti cakar ayam
Saking merdunya suaramu sampai-sampai memecahkan pendengarangku

d. Oksimoron

Oksimoron merupakan jenis gaya bahasa yang mengandung penekanan atau pendirian suatu hubungan sintaksis baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonim. Contoh.
Musyawarah merupakan wadah untuk mencari mufakat
tetapi tidak jarang sebagai arena pertentangan pendapat antara peserta

e. Satire

Satire merupakan sejenis bentuk argumen yang beraksi secara tidak langsung, terkadang secara aneh bahkan ada kalanya dengan cara yang cukup lucu yang menimbulkan tertawaan. Satire adalah sajak atau karangan yang berupa kritik yang meresap-resap (sebagai sindiran atau keterusterangan). Contoh.

Surabaya Ajari Aku Tentang Benar

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apalagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lamah kian rapuh.
Surabaya, ajari aku apa adanya  
Jangan ajari aku gampang lupa gamang dusta
Jangan pula ajari aku dan warga kota naik, meja
Seperti orang-orang Dewan di Jakarta
Surabaya, Ajari aku jadi wakil rakyat
Lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
Membuat kata putus benar-benar manusiawi
Menjalankan program dengan kendaraan nurani hati
Surabaya, ajari aku, Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
Tanpa harus berebut, apalagi saling sikut
Yang berujung rakyat kian melarat kiang sengsara
Menata hidup kian jumpalitan di ujung abad
Tanpa ada ujung, tanpa ada juntrung
Surabaya, memang boleh berdandan 
Bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
Siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
Senja meremang, mentarinya seindah pagi
Di antara gedung tua dan tugu pahlawan kita
Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
Kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
Da suara rakyat adalah suara kebenaran
Tak terbantahkan. Tak terbantahkan!
Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar.
Surabaya, 21 November 2005
Dari Malsasa: Antologi Puisi dan geguritan 2005

 

Gaya Bahasa Pertautan

a. Metonimia

Jenis gaya bahasa yang mempergunakan sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Dalam metonomia sesuatu barang disebutkan tetapi yang dimaksud dengan barang yang lain.
Contoh: Ia naik honda ke kantor

b. Alusio

Berbeda dengan alegori, alusio merupakan jenis gaya bahasa yang menyatakan  perbandingan dengan menggunakan ungkapan atau pribahasa yang sudah lazim.
Contoh: Sejak tadi aku perhatikan, pekerjaanmu hanya menggantang asap saja 

c. Sinekdoke

Ialah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya, atau sebaliknya. Contoh:
  • Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi makan di tanah air kita
  • Pasanglah telinga baik-baik dalam menghadapi masalah itu

d. Alusi

Atau kilatan adalah gaya bahasa yang menunjukkan secara tidak langsung kesuatu peristiwa atau tokoh berdasarkan peranggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan para pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Contoh:
Saya ngeri membayangkan kembali peristiwa yang mengenaskan dalam kebakaran mobil anak sekolah.

Gaya Bahasa Perulangan

a. Aliterasi

Adalah jenis gaya bahasa yang memanfaatkan pemakain kata-kata yang permulaannya sama bunyi (Taringan 1985:197). Contoh:
  • dara damba daku
  • datang dari danau
  • duga dua duka
  • diam didiriku

b. Asonansi

Gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vokal yang sama. Contoh:
Muka muda mudah muram
Tiada siaga tiada bisa
Jaga harga tahan raga

c. Simploke

Merupakan gaya bahasa repitisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contoh:
  • Kau katakan aku wanita pelacur, aku katakan biarlah
  • Kau katakan aku wanita mesum, aku katakan biarlah.
 

 






Wednesday, July 27, 2016

Tekhnik Kreatif Dalam Menulis Puisi.


Puisi adalah susunan kata yang indah, bermakna, dan terikat konvensi (aturan) serta unsur-unsur bunyi. Menulis puisi biasanya dijadikan media untuk mencurahkan perasaan, pikiran, pengalaman, dan kesan terhadap suatu masalah, kejadian, dan kenyataan di sekitar kita.

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa puisi adalah merupakan juga salah satu jenis karya sastra yang banyak diminati. Hampir semua media massa memberikan ruang untuk menuangkan untaian hatinya dalam bentuk puisi. Biasanya terdapat pada kolom budaya dan sastra, menulis puisi biasanya berkaitan dengan beberapa hal: (1) pencarian ide (ilham), (2) pemilihan tema, (3) pemilihan aliran, (4) penentuan jenis puisi, (5) pemilihan diksi (kata) yang padat dan khas, (6) pemilihan permainan bunyi, (7) pembuatan larik yang menarik, (8) pemilihan pengucapan, (9) pemanfaatan gaya bahasa, (10) pembaitan yang memiliki satu objek, (11) pemilihan tpografi, (12) pemuatan aspek psikologis, (13) pemuatan aspek sosiologi, (14) penentuan tone dan feeling dalam puisi, (15) pemuatan pesan (meaning), dan (16) pemilihan judul yang menarik.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa langkah praktis dengan menulis puisi dengan mempertimbangkan berbagai unsur pembangunan yang ada. Untuk itu, semakin kreatif pembelajaran dalam menapaki langkah-langkah ini, tentunya semakin cepat dan mudah pula untuk menuliskannya.

Pertama, Perlu Memahami Aliran

Aliran dalam sastra Indonesia di kenal sangat banyak. Seperti, aliran realisme, naturalisme, ekspresionisme, idealisme, romantisme, impresionisme, dan sebaginya. Aliran ini akan memandu saudara untuk menentukan pilihan sehingga tepat dalam menentukan  pengucapan sebuah puisi. Jika anda ingin menjadi "juru potret" kehidupan, anda perlu memilih aliran realistime, sehingga puisi-puisi yang dihasilkan juga realis. Puisi-puisi Taufik Ismail. Emha Ainun Najib, Wiji Tukul, dan Rendra adalah contoh-contoh puisi yang realis yang seringkali juga pamfletis.

Mungkin anda akan memilih mengekspresikan kejiwaan dan pikiran. Jika ini menjadi pilihan anda, biasanya anda akan melahirkan puisi-puisi ekspresionisme. Jenis puisi ini kuat untuk mengungkapkan pikiran dan kejiwaan penyairnya. Penyair seperti Chairil Anwar, sering dinilai sebagai pelopor ekspresionisme. Coba  perhatikan puisi Chairil Anwar yang ekspresionisme.

Aku

Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorangkan merayu
Tidak juga kau
Ta perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalan
Dari kumpulan yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret, 1943
 

Kedua, Perlu Memahami Tema

Tema dalam kepenulisan puisi merupakan masalah apa yang diangkat di dalam puisi. Jika kita mengamati puisi-puisi yang bersebaran dan bertebaran di media massa atau puisi yang dihasilkan oleh para penyair kita dalam berbagai bentuk penerbitan, tema yang diangkat mencakup (a) sosial, (b) Politik, (c) adat, (d) relejius/keagamaan, (e) keluarga, (f) nasionalisme, (g) kekerasan dan HAM, (h) cinta dan remaja, (i) cinta dan perselingkuhan, (j) hukum, (k) misteri, (l) horor, dan (m) komedi.

Puisi-puisi Hamid Jabbar misalnya seringkali mengangkat tema-tema relejius atau keagamaan, demikian juga puisi-puisi Abdul Hadi, dan Jamal D. Rahman bercirikan demikian.


Ketiga, Perlunya Imajinasi

Imajinasi dalam menuakan ide dalam puisi adalah sesuatu yang mutlak yang harus dimiliki oleh seorang penyair, karena puisi sesungguhnya merupakan realitas imajinatif, imajinasi sendiri sering didefinisikan sebagai kemampuan daya bayang manusia untuk menggambarkan mewujudkan sesuatu dalam angan-angannya secara cermat dan hidup.

Dalam penulisan puisi, dikenal beberapa wujud imajinasi yang lebih dikenal dengan citra, menurut Burhan Nurgiantora imaji atau citraan itu sendiri merupakan gambaran pengalaman indera yang diungkapkan melalui bahasa, Burhan menyebutkan pencitraan kedalam lima jenis citraan (a) citraan penglihatan (visual imagery), (b) citraan pendengaran (audio imagery), (c) citraan gerakan (cinestetic imagery), (d) citraan gerakan (tactil imagery), (e) citraan penciuman (olfaktori).

Imaji yang pertama, citraan penglihatan hakikatnya bagaimana seorang pengarang secara natural mampu melukiskan penggambarannya secara maksimal. Penggambaran penglihatan sehingga pembaca mampu tergiring untuk "melihat" dengan matanya, keindahan "yang dipotret" pengarang dengan bidikan matanya. 

Contoh imaji dalam puisi yang menggunakan imaji (rekaan) dalam puisi. Contoh pertama ini merupakan contoh penggunaan imaji visual
Aku terlena di atas padang hijau yang membeku
Pohon-pohon rimbun membuatku terlena
Kekasihku bilang, akulah bidadari yang paling cantik
Seperti setia daun pada pohon
Contoh kedua, yang merupakan contoh yang menggunakan imaji audio, imaji ini meskipun relatif jarang digunakan tetapi memiliki kekuatan tersendiri dalam penulisan puisi:
Debur ombak adalah debur hatiku
Gemercik air adalah cintaku
Nyanyian angin sepoi membuatmu terlena
Jika aku sungguh terlena oleh derasnya gembang cintamu.
Contoh ketiga merupakan contoh penggunaan imaji gerak. Imaji ini meskipun sesungguhnya merupakan imaji yang menggambarkan gerak secara umum atau yang menggunakan gaya bahasa personifikasi.
Ombak itu merangkak tegak
Dengan perkasa melumatkan segalanya 
Membunuh siapa saja dengan gagahnya
Dia datang tak diundang, ooh, gelombang
Contoh keempat, merupakan contoh penggunaan imaji penciuman, yang merupakan ekspresi dari pengalaman indera penciuman yang intensif digunakan oleh seorang penyair
Harum asin itu menyengat
Bersama keringat melumat gairah pantaiku
Bau nelayan mampir juga dipipimu
Hai dara manisku, kau bak nelayan kehilangan perahu.
Contoh terakhir merupakan contoh penggunaan imaji taktil, imaji ini merupakan ekspresi dari pengalaman indera rabaan.
Halus bibirmu berbingkai sinar rembulan
Mengingatkan aku pada dua burung berkicau
Yang pernah kudengar disaat remajaku
Membuatku termenung berbuah lembut hati

Keempat, Menemukan Ide

Ide atau ilham itu ibarat bunga api, percikan parfum yang menebarkan gelora imajinasi. Taufik Ismail prihatin melihati kondisi keindonesian mutakhir ia menuliskan kumpulan dengan judul "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia" (2003) , demikian juga Hamid jabbar memandang rupa-rupa negeri seperti tidak berbentuk, dia menuliskan puisi Indonesiaku.

Pengalaman penyair dalam memperoleh ide (ilham) memang beragam. mereka ada yang memperoleh melalui merenung, membaca puisi karya orang lain, pengalaman pribadi, membaca berita, menonton film, bercengkrama dan berjalan-jalan, dan sebagainya. Berikut contoh yang diihamni kesemberawutan kota Surabaya, anda dapat melihatnya dan membacanya pada uraian sebelumnya dengan judul "Surabayaku Ajari Aku tentang Benar"

Kelima, Perlunya Mengeramkan Ide

Ibarat terur ide itu butuh untuk ditetaskan . tanpa pengeraman karena itu, jelas tidak akan dapat melahirkan"puisi'itu. Pada tahap ini merupakan persiapan untuk mewujudkan ide atau gagasan yang telah dikandung, yang melitas-lintas,menari-nari, menggawang-awang,membayang, dan yang ditimang-timang. Inkubasi akan dapat meneteskan karya yang dapat dibanggakan. Sama-sama ide yang menghilhami penyiar misalnya,bisa jadi hasil puisi yang diciptakan berbeda. Potret "Buram Indonesia" menghilhami taufik Ismail untuk menulis puisi berjudul Kembalikan Indonesia Padaku dan Malu Aku Jadi Orang Indonesia.

Pengeraman yang berbeda dan pengucapan yang berbeda akan melahirkan bentuk dan isi yang berbeda pula, disinilah maka proses inkubasi (pengeraman) sangat tergantung pada pengalaman kreatif dan imajinatif penyair untuk memilih pengucapan yang tepat, perhatikan puisi WS Rendra berikut:
Nyanyian Fatimah Untuk Suto 
Kelambu ranjangku tersingkap
Di bantal beranda tergolek nasibku
Apabila firmanmu terucap
Masuklah kalbu ke dalam kalbu
Sedu sedan mengetuk tingkapku
Dari bumi di bawah rumpun mawar
Waktu lahir kau telanjang dan tak tahu
Tak hidup bukanlah tawar menawar
Puisi ini menggambarkan pengolahan ide "cinta" yang digarap penyairnya berbingkai kehidupan intim sepasang manusia, ide cinta yang melahirkan puisi cinta. Sebagai perbandingan, saya coba kutipkan seuntai puisi cinta yang dialami pengarang.
Ini kali pertama aku tinggalkan
Tinggal jauh dipelupuk mataku
Hati meraung perih
Seorang diri diambang senja
Mendung hitam, sehitam hati yang merana
Dingin malam yang terhembus dikerikil tajam
Merona hati menahan rindu
Pada dikau tambatan hati 
Oh...angin malam bisikkan kesepianku padanya
Dekap dirinya dengan kehangatan cinta
Puisi ini saya tulis, dalam kondisi hati saya sedang ditinggal pergi oleh pujaan hati, dia pergi menunaikan tugas lain selain melayani kekasihnya. Tentu anda pun memiliki banyak puisi yang serupa, gampangkan menulis puisi...? apalagi menulis puisi cinta yang semua orang pernah merasakannya.


Keenam, Pilihlah Cara Pengucapan yang Tepat

Cara pengucapan merupakan kekhasan seorang penyair, ada yang cenderung pengucapan puisinya pada gaya pamfletis, seperti Darmanto, atau liris sapardi Djoko Damono, pengucapan balada seperti WS Rendra bercampur pamfletis atau pengucapan parodi dan musikal ala Hamid Jabbar.


Ketujuh, Manfaatkanlah Gaya Bahasa

Salah satu sarana dalam mewujudkan estetika adalah gaya bahasa merupakan sarana strategis yang banyak dipilih penyair untuk mengungkapkan pengalaman jiwa ke dalam karyanya. Penggayabahasaan dalam bahasa, Burhan Nurgiyantoro, tidaklah memiliki maknah harfiah melainkan makna yang ditambahkan, atau makna yang tersirat.

Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (Dale et all. 1971:220), Gaya bahasa atau majas pada umumnya dikelompokkan ke dalam menjadi tiga (a) majas perbandingan seperti metafora, analogi, (b) majas pertentangan seperti ironi, hiperbola, litotes, dan (c) majas pertautan seperti metonimia, sinekdoce, eufimisme (Sudjiman, 1996:4 

 





     



Cerpen : Menetau, (Ahmad Ijazi H)


Subuh belum melepuh, sungguh. Tetapi Emak telah melipat daun juang-juang, beras basuh dan bertih, inggu serta setanggi ke dalam tengkalang yang hendak dibawa lakinya, Datok Pawang Musa ke kampung Teluk Lubuk, kampung pulau seberang.

Datok Pawang Musa melangkah ke sudut ruangan, hendak mengambil tanjak bermotif pucuk rebung kesayangannya. Tetapi, nihil. Sejenak ia sangsi, tertegun, lalu mengingat-ngingat kapan terakhir kali ia mengenakannya. Dan sungguh, ingatannya begitu payah. Ia akhirnya menyerah, beringsut menyambang bibir pintu, melenyapkan segala risau yang mulai kisruh dari ceruk sanubarinya.

Datok Pawang Musa mengecup pucuk perut Emak yang tengah mengandung hampir 9 bulan itu sebelum menuruni anak tangga rumah. Aku mengekor di belakangnya dengan langkah seekor anak rusa yang malas, sembari sesekali menguap karena menahan kantuk yang terlampau mengikat pelupuk mata.

Tiba di lokasi, kokok ayam masih hingar, sahut-menyahut menguak kabut yang begitu membeku. Sebagian orang masih nyenyak membalut badan dalam bantalan selimut. Tetapi tidak bagi Datok Pawang Musa.

Ia begitu terjaga, begitu buas. Matanya mengkilat, senada dengan nyala api lampu damar yang dikibar-kibarkan oleh hembusan angin.

"Wahai Datok Puake yang bersemayam dalam rimba ulayat. Sembah hormat tak kunjung genap kami haturkan. Dengan segala kerendahan hati, izinkan kami mematikan tanah ini." Datok Pawang Musa menabur tepung tawar di antara belukar yang terhampar. Di wilayah yang nantinya akan dibangun rumah itu telah diberi patok kayu beberapa hari sebelumnya sebagai penanda. Dengan begitu, segala makhluk halus yang bermukim dan beranak, pinak di sana dapat meninggalkan tempat itu dengan segera.

Subuh mulai singsing saat jarum-jarum mentari menyeburkan cahayanya yang tipis dari punggung bukit. Disisi sebelah barat, Batin Monti Raja Lamatoa membakar inggu dan setanggi. Aromanya yang wangi semerbak, menusuk penciuman.

Seluruh hadirin hening, mengkuduskan tatapan serta detak jantung yang tak kunjung jinak lantaran kehadiran kehadiran makhlu halus serta roh para leluhur mulai terasa, tetapi tak mengusik. Sebelumnya, Datok Pawang Musa memang telah mewanti-wanti, jika selama prosesi menetau dilaksanakan, dilarang meninggikan suara, tertawa dan berseloroh dengan kata-kata cabul 

Di antara obor dan sesaji yang dipersembahkan, beberapa ekor hewan sembelihan telah ditada darahnya. Tetes-tetesnya yang dianggap keramat menjadi penanda begitu sakralnya tanah itu akan dimatikan.

Wan Abdul Syarif, sang pemilik tanah, duduk bersila ditengah-tengah kerabat dekat dan jauh yang turut diundang sejak jauh-jauh hari. Teluk belange cekak musang yang ia kenakan tampak serasi dengan tanjak yang memahkotai kepalanya. Tengku Wardi Kusuman, abang iparnya yang duduk berimpitan dengannya tiba-tiba berseloroh dengan suara rendah.

"Datok Pawang Musa itu lancang sekali, melangkahi adat orang tempatan. Beliau bermukin di Teluk Sengerih, kampung pulau seberang. Berani-beraninya ia menilap untung Datok Pawang kampung kita, Teluk Lubuk." Tengku Wardi Kusuman menekan amarah yang mulai  bermukim di ceruk dadanya.

"Kabarnya Datok Pawang Derajat, yang biasanya mewangi kampung ini sedang sakit keras. Sementara, hari ini, senin terakhir bulan Maulud yang dianggap baik untuk membangun peraduan. Jika menunggu beliau sembuh, acara menetau terundur lagi sampai bulan Maulud tahun depan. Segala sesaji yang telah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari bisa mubazir terbuang sia-sia." Wan Abdul Syarif mencoba memaparkan alasannya yang memang masuk akal itu.

"Tuju yang Datok Pawang Musa lepaskan rupanya teramat ampuh. Hampir genap 13 pekan Datok Pawang Derajat terbaring lemah sebagai pesakitan di pembaringan, riwayat sembuhnya belum terembus juga hingga hari ini."

"Dari mana Abang tahu kalau Datok Pawang Musa telah bermain teluh di wilayah pacuan hitam seperti itu? memasang tuju? Picik sekali."

"Penghormatan sebagai Pawang paling andal, paling sepuh, paling sakti. Kesejahteraan hidup akan terjamin jika Batin Monti Rajo sampai menyematkan predikat mulia  itu di pundak Pawang terpilih. Siapapun pawangnya, pasti tergiur pada hal yang demikian. Tak peduli bagaimana pun caranya, pasti akan ditebus."

Batin Monti Rajo yang berpendengaran tajam itu menoleh, menatap penuh curiga ke sumber suara yang mulai menabur kisruh. Hawa yang memancar dari tatapannya begitu panas, mengandung api. Itu sebuah isyarat agar seluruh hadirin bergeming.

"Hati-hati berseloroh yang tak patut. Segala bala dan bermacam sengkala bisa berbalik pada pemilik lidah yang melepas fitnah." Wan Abdul Syarif berbisik.

Jeda waktu terasa semakin menyusut di sini. Dan kata-kata yang sebelumnya begitu ditabukan  itu telah meluncur dari mulut yang berbisa. Aku sungguh perih mendengarnya.

Betapa, abahku. Datok Pawang Musa itu, hanya melaksanakan tugasnya sebagaimana petue, tak ada cara hitam, tak ada teluh. Pacuan yang ia lalui adalah pematang yang lurus, tiada kecurangan setitik pun, dan bahkan pamrih. Jikalaupun ada, hanya sekadar penampal kebutuhan hidup sehari-hari, tak pernah berlebih. Kenyataannya, keluarga kami tetap saja miskin. Sungguh jauh dari predikat sejahtera yang digunjingkan orang-orang sekampung.

"Kekayaan dan pangkat bukanlah tolak ukur kebahagiaan, Nak. Menjadi pawang bukan materi yang dikejar, tetapi kepatuhan pada aturan adat, lelihur Sang pencipta. Upacara menetau adalah salah satu cara manusia bersyukur, menjaga keseimbangan  alam agar tetap terpelihara, sehingga segala malapetaka dijauhkan dari badan." Abah pernah mengatakan hal itu dengan begitu haru. Hingga kini, aku tetap memaknainya sebagai petuah yang sakral, karena benar-benar tulus keluar dari hatinya.

Batin Monti Rajo Lomatoa bertuma'ninah di hadapan hadirin. Merentang tangan, bersiap untuk memimpin doa.

Mata elangku menangkap warna sinis dari garis wajah  Tengku Wardi Kusuman. Tabiat lelaki itu memang tidak pernah berubah. Dari dulu hingga kini, kicauan mulutnya semakin terdengar membusuk di telinga. Semakin lekat memandangnya, dendamku kian kesumat. Betapa tidak, setahun lalu, aku ingat sekali, ia pernah bersekongkol  dengan investor asing untuk mengusir kami dari tanah leluhur melalui sengketa lahan. Pemukiman kami akhirnya berhasil dieksekusi. Barisan tentara yang mereka bayar waktu itu benar-benar membuat tenaga kami lumpuh saat melakukan perlawanan.

Tetapi kini, di pemukiman yang baru, kami tak akan sudi lagi dipecundangi. Tanah ulayat yang kami miliki telah diberi sertifikat hak milik, dan dilindungi pemerintah sepenuhnya.

Doa dari Batin Monti Rajo Lamatoa telah smpai ke pucuk langit. Desir angin menyambut, mengarak awan putih yang menaungi. Tiba-tiba seorang bujang yang sepertinya penduduk tempatan itu menyeruak keheningan upacara dengan tergopoh-gopoh. Usaia merunduk hormat terlebih dahlu, sepatah bisiknya bercebis di telinga Batin Monti Rajo Lamatoa. Agaknya kabar, yang dibawanya teramat penting sehingga tak seorang pun boleh mencuri dengar.

Batin Monti Rajo Lamatoa berdiri di hadapan seluruh hadirin. Salamnya  di mukadimah terasa bergetar, lalu diikuti ucapan innalillah yang begitu serak dan berat. Degup dadaku  begitu berguncang, begitu juga kurasa yang di alami seluruh hadirin saat beliau kemudian mengabarkan bahwa Datok Pawang Drajat telah meninggal dunia.

"Usai acara menetau ini, baiknya kita semua melayat ke kediaman almarhum. Semoga dengan kedatangan kita, kedukaan keluarga yang ditinggalkan bisa sedikit terobatkan."

Langkah pelayat berduyun-duyun setelah itu. Mendung begitu hitam saat kami sampai di halaman anjung almarhum. Tak dinyana, seorang lelaki gempal menyeruak dari ambang pintu. Tapak kakinya berdebum saat menuruni anak tangga. Tiba-tiba, seperti dentam halilintar, kepalnya yang keras mendarat di rahang abahku!

Abahku terjungkal di atas tanah. Aku terenyak. Darah segar mengucur di sudut bibirnya yang pecah.

"Kau tak pantas menginjak tanah kami, bangsat!" dilemparkannya sobekan-sobekan kain bermotif pucuk rebung ke wajah abahku. Aku menelan ludah. Itukan kain tanjak milik abahku yang hilang?

"Potongan kain beracun itu kan yang dah kau kirim buat bunuh abahku?! Sungguh kau jembalang laknat! Kau pantas mati!!" Lelaki gempal itu mencabut belati dari pinggangnya. Batin Monti Rajo Lamatoa sigap mendekapnya dari belakang. Dengan suara serak, disuruhnya abahku pergi.

Lelaiki gempal itu mengamuk. Sumpah serapahnya begitu mengerikan, memekakkan telinga. Terpaksa orang-orang membantu Batin Monti Rajo Lamatoa menenangkannya.

Pemandangan langit kian suram. Petir dan guntur beradu, mengiring langkah kami yang telah ringkih menjejak tanah. Di perbatasan kampung, kami terduduk lumpuh. Di ujung sana tampak orang berduyun-duyun. Puluhan lelaki gempal, yang merupakan kerabat dekat dari almarhum Datok Pawang Derajat itu sedang mengamuk memporak-poramdakan peraduan kami dengan menggunakan balok kayu.

Aku dan abah berlari menghampiri rumah kami yang semakin puing itu, berteriak-teriak histeris meminta mereka berhenti. Tetapi mereka tak peduli.

"Jika sampai besok pagi kau masih menginjak tanah ini, kami tidak akan segan-segan membunuhmu!" seorang dari mereka menuding wajah abahku dengan murka yang teramat pitam. Mereka lalu melangkah pergi dengan gumpalan hati yang masih memanas.

Jarum hujan gugur tercurah. Dari kejauhan, kulihat Abah menggendong tubuh Emak dari reruntuhan rumah. Dari balik pakaiannya yang basah, menetes darah segar. Sementara Mak Osu Salmah, adik bungsu abahku, menggendong bayi yang masih merah. Dari dekat, kukenali wajah Emak dan bayi merah itu bergantian. Jasad keduanya sama-sama telah membeku.

"Kita harus meninggalkan tanah ulayat ini...." lirih Abah berucap.
Seketika, kurasakan nyawaku seperti ikut terbang ke langit.
***

Catatan: 

  • Menetau: upacara adat membuka lahan atau mendirikan bangunan.
  • Tengkalang: sejenis tas punggung yang terbuat dari anyaman pandan.
  • Datok Pawang: orang yang memimpin upacara menetau.
  • Tanjak: sejenis ikat kepala
  • Puake: makhluk halus
  • Batin Monti Rajo: pemimpin kepala suku yang sangat disegani dan dihormati.
  • Sesaji: sesajen yang diberikan kepada makhluk halus penunggu hutan.
  • Mematikan tanah: sama dengan menetau.
  • Teluk belange cekak musang: pakaian adat khas melayu Riau
  • Tuju: teluh yang dikirim seseorang dari jarak jauh.
  • Petue: petua, orang yang dituakan.
  • Jembalang: setan atau makhluk halus yang sangat jahat.


       

      



  

   




Monday, July 25, 2016

Penciptaan Karya Sastra (Fiksi), Unsur Pembangun Fiksi dan Penjelasan Beberapa Ahli.

 

Penciptaan Fiksi

Hakikat masyarakat dan kebudayaan pada umunya adalah kenyataan, sedangkan hakikat karya sastra adalah rekaan, dengan sebutan yang lebih populer, yaitu imajinasi. Berbeda dengan kenyataan dalam ilmu kealaman, kenyataan dalam ilmu kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai fakta sosial. Berbeda dengan imajinasi dalam kehidupan sehari-hari, yang dianggap sebagai semata-mata khayalan, imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan, imajinasi yang juga diimajinasikan oleh orang lain.

Masalah ini perlu dijelaskan dengan pertimbangan bahwa sebagai karya seni karya sastra tidak secara keseluruhan merupakan imajinasi. Pertama, meskipun hakikat karya seni adalah rekaan, tetapi jelas karya seni, dikontruksi atas dasar kenyataan. Kedua, dalam setiap karya seni, khususnya sastra terkandung unsur-unsur tertentu yang merupakan faktor objektif, pada umumnya fakta-fakta tersebut merupakan nama-nama orang, (toponim), peristiwa-peristiwa bersejarah, monumen dan sebagainya. Ketiga, karya seni yang analisis, tidak dapat dipahami secara benar sebab tidak memiliki referensi sosial. Kutha Ratna (2007:307).

Selanjutnya Kutha Ratna menambahkan bahwa hakikat karya seni, sastra khusunya jelas merupakan sebuah imajinasi dan kreativitas. Dalam karya seni, ciri-ciri imajinasi lebih khas, lebih dominan dibandingkan dengan kreativitas, demikian juga sebaliknya kreativitas mengimplikasikan imajinasi. Perbedaannya sebagai daya bayang imajinasi seolah-olah memiliki kekuatan yang jauh lebih luas dan tidak terbatas. Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Kreativitas adalah hasil imajinasi. Imajinasi adalah cakrawala pada saat kekuatan-kekuatan yang berkaitan dengan proses kreatif yang dipertaruhkan.

Dengan pengertian bahwa imajinasi dan kreativitas adalah daya, energi dan kekuatan, maka imajinasi dan kreativitas, dan kreativitas jelas mengimplikasikan subyek manusia, lebih khusus lagi subyek kreator. Imajinasi dan kretivitas tidak semata-mata terkandung dalam karya seni. Kehidupan praktis sehari-hari dipenuhi bahkan dikendalikan oleh imajinasi dan kreativitas. Perbedaannya imajinasi dan kreativitas kehidupan sehari-hari didorong dengan demikian dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis. Semua aktivitas kehidupan merupakan kesadaran, bukan insting. Kesadaran pada gilirannya memberikan kemungkinan untuk berpikir, merasakan, merenungkan, sehingga bentuk-bentuk aktivitas tidak terjadi secara refleks, melainkan tertunda. Ruang-ruang kosong inilah yang memberikan kemungkinan untuk berimajinasi dan berkreativitas.

Apabila ciri-ciri tertunda dan ruang kosong seperti tersebut di atas dapat disebut sebagai mediator timbulnya imajinasi, maka karya seni inilah yang paling sarat mengandung unsur imajinasi dan kreativitas. Pada seniman jelas merupakan subyek yang paling banyak menyediakan diri untuk berkomtemplasi. Oleh sebab itu, biasanya mereka memilih tempat yang suci dan tenang sebab kontemplasi dan dialog pada dasarnya dilakukan dengan dirinya sendiri, sebagai dialog intersubjektif.

Kenyataan dan rekaan pada umumnya memiliki makna yang sejajar dengan fakta dan fiksi. Dalam ilmu sosial dan humaniora fakta yang sebenarnya tidak ada dapat menjadi ada, penafsiran menjadi awal dari munculnya sebuah fakta, dan inilah yang biasa dikenal dengan fakta-fakta sosial yang akhirnya memperoleh sumber aktivitas kreatif yang tidak pernah ada ujungnya. Secara etimologi fiksi dapat pula disepadankan atau disejajarkan dengan rekaan dan khayalan, namun, dalam aktivitas kreatif, untuk menghindari salah paham hanya rekaanlah yang dapat mewakili pengertian mengenai hakikat karya sastra secara umum, sementara khayalan dianggap semata-mata sebagai dongeng. Khayalan dalam kehidupan sehari-hari sama dengan angan-angan, lamunan, dan fantasi (fancy, fantasy, fictitious). Wellek dan Werren (1962:26-28) bahwa ciri utama karya sastra adalah fiksi, imajinasi dan invensi.

Imajinasi pada gilirannya adalah pengalaman sebagaimana juga yang dialami oleh orang lain. Imajinasi dalam karya seni hanya mengevokasi imajinasi pembaca yang secara laten sudah tersedia pada setiap orang. Dalam hubungan ini juga karya seni dikatakan memiliki fungsi-fungsi sosial sebab dalam masyarakat jelas terkandung berbagai energi yang tak terhitung jumlahnya, dan harus dihidupkan demi mencapai tujuan-tujuan yang positif. Benar, ilmu pengetahuan merupakan penelitian objektif, yang diperoleh melalui verifikasi ilmiah, namun, kerangka objektivitas tersebut pada dasarnya didahului oleh berbagai kemampuan imajiner, baik sebagai pengalaman langsung maupun sebagai kekuatan intuitif.

Karya sastra dengan demikian tidak secara keseluruhan merupakan rekaan. Seperti yang telah diuraikan di depan, karya sastra yang secara keseluruhan merupakan rekaan justru tidak mungkin untuk dipahami sebab pembaca tidak memiliki referensi-referensi untuk mengadakan identifikasi. Secara genetis karya sastra diciptakan sebagai tiruan masyarakat, sebagai dunia dalam kata, baik sebagian maupun seluruhnya, oleh karena itu dalam setiap karya sastra bahkan karya yang paling absurd, terkandung petunjuk-petunjuk yang secara hermeneutis tekstual dapat mengembalikan karya pada semesta tertentu. Dalam hubungan inilah fiksi dianggap lebih menarik, dengan alasan sebagai berikut:
  1. Dalam fiksi terjadi tumpang tindih, silang sengketa antara rekaan dan kenyataan, sehingga pembaca seolah-olah tidak mungkin untuk menangkapnya, bahkan selalu tertangkap ke dalam keingintahuan.
  2. Fiksi merupakan pelarian dari dunia nyata yang tidak bisa dijangkau secara keseluruhan, senantiasa terdapat sisa yang harus diselesaikan.
  3. Fiksi menampilkan berbagai masalah kehidupan manusia, dari kehidupan yang paling rendah hingga yang paling mewah. Dalam membaca fiksi para pembaca memperoleh kepuasan total, seluruh keinginannya terpenuhi secara fiksional.
  4. Pembaca dapat mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh, kejadian, dan latar belakang, pembaca seolah-olah menjadi hero dan raja.
  5. Fiksi menampilkan kualitas ekstetis, tujuan yang paling dirindukan manusia. Karya seni pada gilirannya membawa manusia pada dunia pencerahan, penyucian, disitulah setiap individu akan menemukan kedamaian. Kutha Ratna (2007:312)
Sebagai seni bahasa, sumbangan terpenting karya sastra dengan masalah-masalah kemasyarakatan adalah kemampuannya dalam mentransformasikan sekaligus mengabadikan kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari, sebagai interaksi sosial, ke dalam peristiwa-peristiwa sastra, sebagai perilaku fiksional. Sebuah fiksi memiliki keterkaitan unsur intrinsik yang seringkali yang sulit diurai perunsur, karena kebermaknaan estetika kefiksiannya justru terletak pada bangunan untuk menyampaikan message komunikasi estetik yang memikat atau tidak.

Unsur Pembangun Fiksi

Dalam pendekatan analitik, sebuah puisi dipandang memiliki unsur pembangun yang menarik untuk dipahami. Sebagai sebuah totalitas, Wellek membagi unsur pembangun puisi meliputi: (1) lapis bunyi (sound stratum), (2) lapis arti (unit of meaning), (3) lapis dunia (realitas dunia yang digambarkan penyair), (4) lapis dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu, dan (5) lapis dunia yang bersifat metafisis (Sutejo, 2008:47)

I.A. Ricard dalam memberi penjelasan terhadap metafisis, mengungkapkan bahwa puisi itu mengandung unsur (1) sence, (2) subject matter, (3) feeling, (4) tone, (5) total of meaning, dan (6) thema dan itention.
  • Sence, hakikatnya merupakan sesuatu yang diciptakan penyair lewat dunia yang puisi digambarkan, since ini menyarankan akan pentingnya pemahaman dari gambaran puisi secara umum.
  • Subject matter, sesungguhnya merupakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam bait-bait puisi atau pokok pikiran yang ditemukan dalam bangunan puisi.
  • Feeling, berkaitan dengan sikap penyair terhadap pokok-pokok yang ditampilkan di dalam puisi. Sikap-sikap penyair dapat ditelusuri terhadap tema dan persoalan puisi yang ada. Objektivitas penyair dalam puisi, seringkali memang sulit, sebaliknya subjektivitas inilah yang melatar belakangi sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran dalam puisi yang ditulisnya.
  • Tone, berkaitan dengan sikap dan perasaan penyair kepada pembaca. Keduanya saling melengkapi puisi yang utuh, kedua hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengetahui sikap penyair kepada pembaca, yang pertama-pertama tentu meski dipahami sikap penyair terhadap pokok masalah yang dikemukakannya.
  • Thema (tema), hal ini dapat diturunkan sebagai konsep ide dasar yang melatarbelakangi puisi itu dicipta, masalah apa yang melatar belakangi, hal apakah yang membingkai, tentu merupakan hal penting dalam menemukan tema puisi atau karangan.

Friday, July 22, 2016

Beberapa Pendekatan Dalam Apresiasi Puisi. Dan Kode-Kode Estetik Yang Disampaikan Penyairnya.


Dalam memahami atau mengapresiasi puisi dikenal berbagai macam pendekatan yang dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk mendekati apresiasi yang kita lakukan. Pendekatan-pendekatan itu dipilh, biasanya, dengan mempertimbangkan kecendrungan puisi yang kita hadapi. Tidak semua puisi itu dapat didekati dengan semua pendekatan. Di sinilah, maka penting untuk dipertimbangkan pemilihan pendekatan agar dalam mengapresiasi puisi tidak jauh dari kode-kode estetik yang disampaikan penyairnya.

Ada beberapa pendekatan yang dikenal dalam teori sastra mencakup beberapa hal:

Pendekatan Analitik

Pendekatan ini dilandasi pemikiran bahwa setiap karya sastra (puisi) dibangun dari beberapa unsur pembangunnya. Pendekatan analitik ini dimaksud untuk menjawab unsur-unsur yang ada di dalamnya, yang membangun totalitas puisi. Dalam hal ini akan menjawab pertanyaan berikut:
  • Unsur apakah yang membangun puisi
  • Bagaimanakah pengarang menata unsur itu sehingga menjadi sebuah totalitas teks estetis
  • Bagaimanakah keunikan bangunan unsur itu jika terpisah tanpa dikaitkan dengan unsur yang lainnya.

 

Pendekatan Emotif

Pendekatan emotif merupakan pendekatan yang berupaya untuk menemukan unsur-unsur penting yang berpengaruh terhadap pembaca. Dengan demikian, unsur apakah yang begitu menyentuh pembaca dalam sebuah puisi akan menjadi pertanyaan mendasar. Pemahaman pembaca terhadap feeling dan tone dalam puisi akan berpengaruh besar dalam menentukan keberhasilan apresiasi menggunakan pendekatan ini.

Pendekatan Parafrase

Pendekatan ini berupaya agar pembaca mampu mengungkapkan kembali sesuai dengan teknik parafrase masing-masing bait dan larik dengan bahasa sendiri adalah tujuan penting dari pendekatan ini. Pendekatan ini sering diformulasikan sebagai sebuah strategi pemahaman kandungan puisi dengan jalan mengungkapkan kembali kata dan larik dalam bait (puisi) dengan bahasa sendiri. Menurut Aminuddin (2001:41) dapat dengan berpijak pada hal-hal berikut:
  • Gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda
  • Simbol-simbol konotatif dalam puisi dapat diganti dengan lambang atau bentuk lain yang bernilai sama
  • Kalimat dan baris dalam puisi mengalami pelesapan dan dapat dikembalikan lagi pada bentuk dasarnya
  • Pengubahan puisi yang baik ke dalam bahasa yang lebih muda akan membantu pemahaman atas makna yang terkandung didalamnya, dan
  • Pengungkapan makna puisi dapat menggunakan media atau bentuk yang tidak sama dengan kode-kode yang dimiliki pembaca sendiri.

 

Pendekatan Didaktis

Pendekatan ini dilakukan seorang pembaca yang biasanya untuk menemukan nilai-nilai pendidikan yang terkandung didalamnya.

Pendekatan Psikologis

Pendekatan ini digunakan untuk menemukan nilai psikologis (kejiwaan), nilai kejiwaan dalam sebuah puisi/cerfin (fiksi) dapat digali untuk memberikan pencerahan batin kepada pembaca.    

Pendekatan Historis

Untuk menemukan nilai-nilai historis dari sebuah puisi, puisi Taufik Ismail dapat diambil sebagai contoh, puisinya kuat akan nilai-nilai kesejarahan.

Pendekatan Antropologis

Untuk menemukan nilai-nilai budaya yang tercermin di dalamnya pendekatan ini sering diformulasikan sebagai strategi pemahaman puisi untuk menemukan budaya yang ada dalam puisi.

Pendekatan Biografis

Pendekatan ini banyak digunakan oleh H.B. Jassin dalam menulis kritik-kritik sastra yang dibuatnya. Pendekatan ini mengamanatkan akan pentingnya pemahaman pembaca terhadap biografi pengarang sebelum memahami puisi yang ditulisnya.

Pendekatan Sosiologis

Yang memandang bahwa penyair itu merupakan anggota masyarakat. Tidak mengherankan, jika apa yang dialami dalam kehidupan sosiologis penyairnya berpengaruh terhadap karya-karya puisi yang ditulisnya, karena pendekatan ini merupakan pendekatan yang mengarahkan pada pemahaman pembaca dalam menemukan nilai-nilai sosial yang terdapat di dalam sebuah teks puisi.

Pendekatan Objektif

Puisi tidak perlu dikaitkan dengan berbagai hal di luar dari dirinya artinya bahwa segala isi puisi itu bersifat otomi, karena itu puisi dengan pendekatan ini menyarangkan pentingnya melihat puisi sebagai apa adanya. Pendekatan ini hakikatnya merupakan pendekatan dalam pemahaman puisi untuk menemukan nilai-nilai intrinsik puisi tanpa mengaitkannya dengan dunia luar.

Pendekatan Mimesis

Pendekatan ini memandang bahwa sebuah puisi merupakan tiruan dari kejadian alam dan sosial. Pendekatan ini sangat cocok dalam memuat realitas potret kehidupan sosial dan alam. Yang memerlukan pendekatan ini adalah Aristoteles.

Pendekatan Pragmatis

Pendekatan tersebut menekankan pada kemampuan membaca, pendekatan ini berdasarkan pada teori resepsi satra. Yang ditekankan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan estetis apresiasi seorang pembaca dengan menggunakan pendekatan.

Pendekatan Mitopoik

Pendekatan ini jarang digunakan pembaca, yang hakikatnya merupakan pendekatan yang berupaya untuk menemukan nilai-nilai mitologi yang terkandung dalam sebuah puisi.

Pendekatan Ekspresi

Pendekatan ini memandang bagaimana karya puisi hakikatnya merupakan ekspresi dari penyairnya, pendekatan ini hampir sama dengan pendekatan biografis. Karena apa yang dialami dalam proses kreatif kepenyairannya hakikatnya merupakan ekspresi batin penyair. Dari sekian banyak pendekatan yang diuraikan, cukup membantu kita dalam mengembangkan imajinasi dan gagasan yang selama ini diam terpendam dalam angan.

Thursday, July 21, 2016

Ragam Puisi IV. Dilihat dari Bentuk dan Isinya Serta Contohnya. Puisi Objektif, Kongkret, Subjektif, Pastoral, Humor dan Puisi Idyl.


Puisi Objektif

Mengungkapkan hal-hal di luar diri penyair. Karena itu, puisi ini sering juga disebut dengan puisi interpersonal. Puisi-puisi naratif dan deskriptif, biasanya masuk kategori puisi yang demikian karena bersifat menceritakan dan melukiskan, baik kejadian, peristiwa, seting, maupun aspektualitas kehidupan lainnya. Contoh:

Buruh yang Amat Sabar

Seorang buruh yang sabar tersenyum meski upahnya selalu dikurangi
tiap bulan. Ia bersyukur
bisa mengisi hari-harinya
dengan kerja
Suatu hari upahnya menyusut
sampai ke angka nol
ia pun mengangguk pasrah
tanpa niat protes sedikitpun
"Bulan depan ganti kau
yang membayar aku,"
kata majikannya garang
"Baik Insya Allah kubayar," jawabnya
Ia pulang dengan langkah segar
tapi istri dan mertuanya marah
"Masa kerja sebulan
tidak mendapat upah" hardik mereka
Hari berikutnya ia tetap bekerja
lebih rajin dibanding temannya
iapun menyukai lembur
menggantikan temannya yang sakit.
Di awal bulan ia tidak mendapat upah
Justru ia yang membayar majikannya
"Bagus darimana kamu dapatkan uang ini?"
"Dari berhutang tetangga".
Sampai rumah kembali
Istri mertus, dan anak-anaknya
marah sambil menangis
"Tuhan kenapa kau turunkan juga
leleki tolol seperti ini". keluh istrinya
Ia tersenyum, tapi kaget
waktu terdengar letusan dan asap yang menggumpal
diikuti api yang berkobar
"Pabrik tempatmu bekerja terbakar," kata orang-orang
Ia termenung heran campur pedih
"Aku selalu mengampuni majikanku
dan mendoakan agar selamat. Tapi Tuhan
ternyata berkehendak lain," bisiknya.
Oleh Mustafa W. Hasyim

Puisi Kongkret

Merupakan puisi dalam kategori puisi kontemporer. Biasanya mengandalkan visualisasi kongkret, bentuk tipografisnya sebagai sarana dalam menyampaikan pesan di dalamnya. Contoh.
DOA
A
AAAAAAA
AAAAAAAAAAAAA
   AAAAAAAAAAAAAAAAAA
AMIN
Indonesia Tera, 2001:39

Puisi Subjektif

Puisi ini sesungguhnya merupakan puisi personal, yang mengandalkan pada ekspresi personal penyairnya. Puisi demikian biasanya mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana batin penyairnya. Contoh Suminto A. Sayuti memggambarkan dalam puisi.

Malam Tamansari

Penjaga malam itu datang tatkala rembulan
jatuh dipuncak tembok temugelang. Aku pun
bergegas masuk ke dalam mata cincin jari
manismu, nimas. Orang-orang ribut, "Malingsakti,
malingsakti, dimana engkau sembunyi".
Keraguan muncul melimuti kalbumu. "Lepas
dan berikan buat tumbal pageblug negeri, pipi
ini lebih nikmat di elus telanjang jari. "Aku pun
bergegas sembunyi di ikat sanggul rambutmu.
Engkaupun bergegas berbisik, "Malinghati, malinghati
Kepadamu selamanya aku bakalan mengabdi" lalu sepi
Penjaga malam itu pergi tatkala rembulan jatuh
di pundak tembok temugelang, Akupun bergegas
keluar dari persembunyian. "Surtikanti,
leleki sejati tak pernah cidra ingjanji". Lalu sepi
Pakem, 1989
Horison XXXXI No. 3/2007, maret, hal 123

Puisi Pastoral

Jenis puisi ini merupakan puisi lirik yang berisi penggambaran kehidupan kaum gembala atau petani di sawah, nadanya biasanya sendu atau nostalgik, merindukan kehidupan padang gembalaan di masa muda. Contoh puisi jenis ini seperti yang ditulis oleh Stiawan ZA yang meratapi kehilangan keseimbangan ekosistem hutan.

Elegi Hutan dalam Dua Bagian

1
Hutanku tak lagi tumbuh. Tak ada
waktu yang terbit dari hati alam
sejak engkau membawa pergi nadanya
lalu burung-burung terbang ke mana? hujan akan
muara dimana? Longsor akan menenggelamkan siapa?
o, teror apalagi yang akan aku dengar? Aku begitu
dungu untuk mengerti arti pepohonan
padahal di belantaranya telah kuhirup
berjuta waktu yang mengalir
menggemakan bahasa mawar Illahi
Karena anak alam, akupun setia ziarah
tapi mengenang belantara demi belantara
yang kini telah pergi, aku makin perih dibakar
matahari o, aku dahaga,
dahaga!
tapi akan kulunasi dengan apa perihku
ini sebab matahari selalu melarikan hujan
dan meninggalkan tanah yang luka!

2
Pohon-pohon mengeran, di ranting-rantingnya kudengar
tangis yang mengabarkan swalayan dan hotel
dan lapangan golf,
tanpa angin, o matahari kian bebas membakar
daun-daun hingga gugur.
tapi siapa berani menuduhmu membunuh belantara itu?
Dan seterusnya.............
Lampung 1992
Dikutip dari "Cerita darui hutan bakau"
(Ed F. Rahardi 1994:89)

Puisi Humor

Puisi ini mencari efek humor, baik dalam isi maupun teknik sajaknya. Puisi jenis ini menekankan mutunya pada segi kecerdasan (wit) penyair dalam mengolah kata dan mempermainkannya. Puisi humor, karena itu, seringkali dikategorikan ke dalam puisi kontemporer. contoh:

Sahadat

aku bersaksi
tak ada pangeran
yang naik kuda
selain pangeran Dipanegara
dan
aku bersaksi tak ada Muhammad 
yang jago tinju selain Muhammad Ali

 

Puisi Parodi

Merupakan puisi lirik yang berisi ejekan (mirip dengan satire) tetapi ditujukan kepada karya seni. Dalam puisi ini, karya seni yang menjadi yang menjadi sasaran biasanya dipermainkan arti dan bentuknya sehingga tercapai efek humor dan sekaligus ejekan terhadap karya yang bersangkutan. Contoh puisi parodi adalah:

Proklamasi 2

Kami bangsa Indonesia 
dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia
untuk kedua kalinya
hal-hal yang mengenai
hak asasi manusia,
utang piutang
dan lain-lain
yang tak ada habis-habisnya
INSYA-ALLAH
akan habis
diselenggarakan
dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya
Jakarta 25 Maret 1992
Atas nama bangsa Indonesia
Boleh siapa saja.

Puisi Idyl

Puisi ini berisi tentang nyanyian kehidupan di pedesaan, perbukitan, pegunungan, dan padang-padang, penulisannya bergaya puisi lama karena dipadukan dengan gaya pantun :

Gadis Itali

Buat Sivana Maccari
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling danau dipagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati
Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur.
Dalam sajak, 1955:9





Wednesday, July 20, 2016

Ragam Puisi III. Dilihat dari Bentuk dan Isinya Serta Contohnya. Puisi Deskriptif, Kamar, Hukla, Fisikal, Platonik dan Metafisikal.


Puisi Deskriptif

Puisi ini merupakan puisi yang menekankan pada impresi penyair atau realita benda, peristiwa, keadaan, atau suasana yang dinilainya menarik bagi  seorang penyair. Puisi-puisi demikian biasanya beraliran impersionistik. Contoh yang menyorot derita kemiskinan akut di Indonesia, dapat saudara lihat di bawah ini. 

Statis

Seorang lelaki kecil memungut sampah
di tepi jalan sambil memetik air mata
unutuk disematkan di pipinya
tapi statis di kepalnya isyaratkan kematian
kematian akan mimpinya untuk hidup
di bawah ruang matahari, di rindang cahaya bulan
ia membaca isyarat buruk di kelopak mata ibunya
"Mak" sapanya "apa yang kau sisakan
dari perjalanan sesak di gubuk kumuh ini?"
sang ibu hanya menjawab dengan gelengan
ia mengerti. bagaimanapun jawab tak akan menghiburnya
sebagai orang kebanyakan yang tak ditunangkan
oleh dengun reformasi
ia hanya menyisakan mimpi pada aliran
sungai gubuk kumuh yang memberinya gerak
Statis telah menyengat dadanya ia sadar, bahwa menjadi
warga bernama Indonesia tak lebih nyaman dari Irak karena
ia hanya riak dalam gemuruh bangsa penuh ombak ia hanya
asa yang menyisakan asa kehidupan: statis di kepala anaknya
dan statis di dada ibunya (setiap subuh menasbihkan hidup 
dengan doa-doa yang di gantung di langit-langit kumuh gubuk kardosnya)
Rembangan Jember, 2004

 

Puisi Kamar

Jenis puisi ini biasanya hanya menarik apabila dibacakan seorang diri dan dilakukan dalam kamar. Artinya tidak cocok apabila dibawakan di atas panggung. Berikut kutipan puisi M. Fauzi yang menggambarkan impresi dalam akan perjumpaan.

Episode Perjumpaan

Di sini, ayat-ayat itu bertasbih perjumpaan kita:
rindu yang lahir berabad, berbetah-betah di ujung batumu
Di situ rambutmu tinggal sepenggalah, tergerai menafsir sangsi,
mimpi dan luka malamku resa tak terjawab, berlaut di
sungai-singai hilir menuju hulu.
Ditelaga itu, dimana gerimis takpernah reda memagari bunga-
bunga dan rimbun pohon bertaman kupu-kupu
reinkarnasi lautku dan lautmu
Kita pun berlayar menyusuri pagar beton,
mencumubui karang
Sambil menghitung nafas kita yang tersengal
Di sini, ayat-ayat itu mentasbih perjumpaan kita jadi rindu
Sumenap, 19 Februari 2005
Horison XXXX No.4/2006 April, hal 19 

Puisi Hukla

Jenis Puisi ini menarik untuk dipanggungkan contohnya

Kembalikan Indonesia Padaku

Hari depan Indonesia adalah duaratus juta mulut yang menganga
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt,
sebagian
Berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pimpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena
seratus juta penduduknya
Kembalikan
 Indonesia
  Padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pimpong siang
malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 watt
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan teng-
gelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa bere-
nang-renang di atasnya
Hari depan Indonesia adalah duaratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 watt sebagian
putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang
sambil main pimpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan 
membawa seratus juta bola lampu 15 watt ke dasar lautan,
Kembalikan
 Indonesia
  Padaku
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt
sebagian
Berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Kembalikan
 Indonesia
  Padaku
Dari kumpulan Puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Yayasan Indonesia, 2003:87-89

Puisi Fisikal

Puisi ini merupakan yang bersifat realistis, artinya menggambarkan suatu realita (kenyataan) dengan apa adanya. Karena itu, tentu yang dilukis bukanlah sebuah gagasan penyair tetapi apa-apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh penyairnya. Contoh puisi yang dimaksud sebagai puisi fisikal seperti yang disampaikan oleh Mustofa W Hasyim berikut

Patroli

Iring-iringan panser mondar-mandir di jalan rawan
Di seantaro sajakku.
Di sebuah sudut yang agak gelap komandan melihat 
kelebat seorang demonstrasi yang gerak-geriknya dianggap 
mencurigakan.
Pasukan disiagakan dan diperintahkan
untuk memblokir setiap jalan.
Semua mendadak panik.
Kata-kata kocar kacir dan tiarap seketika.
Komandan berteriak, "Kalian sembunyikan di mana penyair
kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu?
Pena yang baru diasahkan sangat tajam dan berbahaya.
Seorang peronda memberanikan diri angkat bicara,
"Dia sakit perut komandan,
Lantas terbirit-birit ke dalam kakus.
Mungkin dia lagi bikin aksi di sana. "Sialan!" umpat komandan
geram sekali, lalu memerintahkan pasukan melanjutkan 
patroli.

Dihuruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba muncul 
dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya.
"Lega, "Katanya.
Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak

bersorak dan merapatkan diri ke posisi semula.
Di kejauhan terdengar letusan, api sedang melalap dan 
menghanguskan mayat-mayat korban.
Dari repartase yang menakutkan
(Yogyakarta: benteng, 1992:10)

Puisi Platonik

Puisi ini merupakan puisi yang sepenuhnya berisi tentang hal yang bersifat spritual atau kejiwaan. Misalnya

Ke Puncak Diam

Setiap langkah adalah darah
Derap gairah meramba punah
Nadi di bumi ruh ini
Jalan pendakian sunyi tak henti
Nuju puncak segala mungkin
Yang entahlah tetap mungkin
Melagukan segala nyanyi
Lagu rindu penuhduka abadi
Yang bersipogang ngngngngngggg
Dari lengang ke lengang ngngngg
Biar muaranya tetaplah punah 
Tetapi alangkah indah alangkah
Setiap langkah adalah darah
Mengucap kejadian pasrah
Yang bersipongang ngngnggg
Dari lengang ke lengang ngngggg
 Ke dalam jeram hati terdalam
Aliran salam ke puncak diam
Bantimurung, 30 Agustus 2003

Puisi Metafisikal

Puisi ini hakekatnya merupakan puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca untuk merenung tentang kehidupan dalam sebuah perjalanan (proses) menemukan Tuhannya, hal-hal yang diungkap penyair biasanya hal-hal yang metafisik, diluar jangkauan indra. Coba perhatikan puisi berikut:

Di Kuburan

Hanya bebauan dedaunan busuk
Dan serak batuan
Sekitar samara
Rumputan menggeliat
Angin mengadug
Ruh siapa yang nyasar di sana
Tempurungnya tersampar di ujung sepatu
1974 Membca makna: Dari Chairil Anwar ke
A. Mustofa Bisri Grafindo Litera Media, 2005, hal. 123-124





Ragam Puisi II Dilihat dari Bentuk dan Isinya Serta Contohnya. (Puisi Didaktif, Lirik, Naratif, Epik, dan Fabel)


Puisi Didaktik

Puisi ini merupakan puisi yang sarat dengan nilai-nilai yang dapat diambil oleh pembaca, atau penyair yang inigin menyampaikan nilai-nilai edukatif yang penting untuk dipahami pembaca. Puisi seperti ini, sangat menarik jika dipergunakan untuk menanamkan berbagai nilai, sehingga puisi demikian memang mengabdi kepada masyarakat. Puisi Taufik Ismail berikut menggambarkan jenis puisi ini. Artinya, puisi ini mengilustrasikan betapa rendahnya kualitas mengarang anak-anak Indonesia, yang tidak kreatif.
Contohnya:
Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang
"Murid-murid, pada hari senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enampuluh sembilan"
"Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
mengeritik itu boleh, asal membangun
Nah anak-anak renungkanlah, makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri"
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang melekat ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru itu.
"Ayo siapa yang sudah siap?"
Maka tak seorangpun yang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh mau ke depan
Dan diapun memberi jawaban
"mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal
Asal itu boleh boleh-boleh
Asal asal
Itu itu
Itu"
"nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengar 'kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?"
Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorangpun mengangkat tangan
Kalau tidak menunjuk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:
"Dang ding dung dang ding dung dang ding dung
Dang ding dung dang ding dung dang dung dung
Leh boleh boleh boleh boleh
Boleh boleh asal boleh
Nak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat baha perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra
"wahai pak Guru, jangan kai disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami 'kan diajari menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama,
dan rabun puisi
Tapi mata kami 'kan nyalang bila menonton televisi.
Dari kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Yayasan Indonesia, 2003:172-174

Puisi Lirik

Puisi ini berisi tentang luapan batin penyair secara individual yang merupakan pengungkapan atas pengalaman batinnya. Puisi-puisi ini banyak kita jumpai baik di masa puisi lama, baru maupun puisi-puisi mutakhir. Puisi ini mencakup puisi elegi: himne, ode, epigram, humor, pastoral, idyl, satire, dan parodi. Puisi-puisi lirik dalam perpuisian baru boleh dibilang memang kental diucapkan oleh para penyair mutakhir. Sejak kepolopiran Sapardi Djoko Damono dengan ikon puisi lirik, pengekornya ternyata muncul berbagai variasi yang kreatif dan inpresif

Dilintas Duka

Lalu muncul dilintasan duka, seorang perawan dengan
Pita jingga di jantungnya. Aku berayun mengikuti irama
Risau, menyelubung nyali dengan rindu-rindu yang
Berlipat, menyentuhi duri-duri yang mengepung usia,
Mengepung lorong-lorong disetiap pesta
Disetiap babak kemenangan, tak ada yang harus
Kutaklukkan selain waktu. Bukankah tak ada dongeng
Yang lebih dari cinta, bukankah tak ada tembang
Yang lebih merdu dari igauan dari rindu. Melulu
Kutantang segala yang menikam, melulu kugali segala
yang mencekam
Segala kecembu

ruan, memenjarakan kelamin ratusan
Musim. Sedang diselaras rasa takutku, telah menjamur
Angka-angka yang mengusir jam dan almanak. Tak ada 
lagi yang datng dengan perlahan, selain siput yang 
kuternak dihatiku, dimusim hujan, di mana puisi
berjalan sempoyongan.
2004 dikutip dari Horison
no.24/2006, Februari hal 16

 

Puisi Naratif (Balada)

Puisi ini merupakan puisi yang berisi tentang cerita dengan perilaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita. Puisi ini sering disebut juga puisi Balada. Puisi ini menurut Jakob Sumardjo (1991:26), adalah puisi cerita yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: bahasa sederhana, langsung, dan kongkret, mengandung unsur ketegangan, ancaman, dan kejutan dalam materi cerita, mengandung kontras-kontras yang dramatik di dalamnya, terdapat pengulangan-pengulangan untuk penegasan, mengandung kadar emosi yang kuat, sedikit dialog di dalamnya, cerita bersifat objektif dan inpersonal, sedikit sekali mengandung ajaran moral (inilah sebabnya banyak balada tentang tokoh penjahat yang berani dan melegemdaris).

Balada Sumilah

Tubuhnya lilin tersimpan di keranda
Tapi halusnya putih pergi kembara
Datang yang terkabar bau kamboja
Dari sepotong bumi keramat di bukit
Makan dari bau kemenyan
Sumilah!
Rintihnya tersebar selebar tujuh desa 
Dan diujung setiap rintih diserunya
-Samijo! Samijo!

Bulan akan berkerut wajahnya
dan angin takut nyuruki atap jerami
seluruh kandungan malam pada tahu
roh sumilah meratapi kungkung rindunya
pada Roh Sumijo kekasih dengan belati pada mata

Dan sepanjang malam terurai riwayat duka
begini mulanya:

Bila pucuk bambu ngusapi wajah bulan
ternak rebah dan bunda-bunda nepuki paha anaknya
dengan kembang-kembang api jatuh peluru meriam pertama
malam muntahkan serdadu belanda dari utara

Tumpah darah lelaki
o kuntum-kuntum delima ditebas belati
dan para pemuda beribukan hutan jati
tertinggal gadis terbawa hijaunya warna sepi
Demi hati berumahkan tanah ibu
dan pancuran tempat bercinta
Samijo berperang dan mewarnai malam
dengan kuntum-kuntum darah
perhitungan dimulai pada mesiu dan kelewang
terkunci pintu jendela
gadis-gadis tertinggal menaikkan kain dada
ngeri mengepung hidup hari-hari
Segala perang adalah keturunan dendam
sumber air pancar yang merah
berbunga berwarna nafsu
dinginnya angin pucuk pelor, dinginnya mata baja
reruntuklah semua merunduk
bahasa dan kata adalah batu yang dungu
maka satu demi satu meringkas rumah-rumah jadi abu
dan perawan-perawan menangis malamnya tak ternilai
karena musuh tahu benar arti darah
memberi minum dari sumber tumpah ruah
nyawanya kijang diburu terengah-engah
Waktu siang mentari menyadap peluh
dengan bongkok berjalan nenek suci Hasan Ali
di satu semak menggumpal daging perawan
maka diserunya bersama derasnya darah
-Siapa kamu?
-Daku Sumilah daku mendukung duka!
Belanda berbulu itu mengbongkar pintu
Dikejar daku putar-putar sumur tapi kukibas dia.
-Duhai diperkosanya dikau anak perawan!
-Belum lagi! Demi air darahku merah: belum lagi!
Takutku punya dorongan tak tersangka
tersungkur ia bersama nafsunya ke sumur.
Tubuhmu lilin tersimpan di keranda tapi halusnya putih pergi
kembara rintihnya tersebar selebar tujuh desa dan di ujung
setiap rintih diserunya:
-Samijo! Samijo!
Matamu tuan begitu dingin dan kejam
pisau baja yang menggorek noda dari dada
dari tapak tanganmu angin nafas neraka
mendera hatiku berguling lepas dari rongga
bulan jingga, telaga kepundan jingga
ranting-ranting pokok ara
terbencana darahku segala jingga
Hentikan, Samijo! Hentikan, ya tuan!bang-lubang
Dikutip dari menulis kreatif
Sutejo, 2008:13-17 

 

Puisi Epik (Epos)

Puisi ini merupakan puisi yang didalamnnya bercerita tentang kepahlawanan, biasanya berkaitan dengan legenda, kepercayaan, maupun historis sebuah bangsa. Puisi ini masih dibedakan menjadi 2 yakni folk epic dan literary epic. Jenis pertama merupakan puisi yang bila nilai akhir puisi itu untuk dinyanyikan, sedangkan yang kedua, kebermaknaan nilai akhir puisi itu menarik untuk dibaca, diresapi, dan dipahami makna yang terkandung di dalamnya.

Puisi Fabel 

Puisi yang berisi tentang cerita kehidupan binatang untuk menyindir atau memberi tamsil kepada manusia. Tujuan fabel adalah memberikan ajaran moral. Misalnya:
Sajak Seumur Hidup
Diantara padi dan tikus
Aku pilih jadi tikusnya
Di antara tikus dan ular 
Aku pilih jadi ularnya
Di antara ular dan elang
Aku pilih jadi elangnya
Di antara elang dan harimau

Aku pilih jadi harimaunya
Di antara harimau dan harimau mati
Aku pilih jadi harimau mati
Di antara harimau mati dan bakteri pembusuk
Aku pilih bakter pembusuk
Di antara harimau busuk dan tanah subur
Aku pilih tanah subur
Di antara tanah yang subur dan padi
Aku pilih jadi padinya
Agung Budi
Pustaka sastra, 1994:3


  

Monday, July 18, 2016

Ragam Puisi Dilihat Dari Bentuk dan Isinya Serta Contohnya. Puisi Elegi, Romance, Dramatik, dan Puisi Satirik.



Ragam Puisi

Puisi adalah merupakan karya sastra yang dihasilkan seseorang untuk menyampaikan pesan-pesan yang indah kepada orang lain dengan imajinasi yang tinggi dan penuh makna. Dan dalam menyampaikan puisi tersebut tentunya dengan berbagai macam cara atau ragam.

Ragam puisi bermacam-macam, jika dilihat dari bentuk dan isinya. Ragam puisi itu dapat di kemukakan sebagai berikut :

Puisi Elegi

Puisi jenis ini hakekatnya merupakan puisi yang berisi tentang ratapan dan kepedihan penyair, puisi ini termasuk puisi lirik yang berisi ratapan kematian seseorang atau kematian beberapa orang. Seorang penyair yang menulis puisi kematiaannya sendiri sebelum mati disebut epitaph. Dua contoh  berikut merupakan jenis puisi elegi. Yang pertama puisi Nisan karya  Chairil Anwar yang berisi tentang kepedihannya atas kepergian nenek tercinta.
Nisan
Untuk Neneknda
Buka kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutabu setinggi itu di atas denu
Dan duka maha tuan bertakhta
Sedangkan puisi Terbiar Belajar Mati dan Kakiku Berjalan, berikut merupakan puisi epitaph, karena dua puisi itu ditemukan pada ponsel penyair (Hamid Jabbar) di jelang kematiannya saat membacakan puisi di Universitas Islam Jakarta, kemudian dibukukan di dalam Indonesiaku (yayasan Indonesia, 2005), sebelumnya dikenal penyair Chairil Anwar dan Kriapur sebagai penyair yang mengenal "kematiannya" lewat puisi. Pengarang Ragil Suwarno Pragulopati hilang diparangtritis. Dengan demikian, seorang penyair seringkali sebagaimana dikatakan WS Rendra, mereka adalah agen Kontemplasi. Perjalanan meditasi yang mendalam yang melahirkan puisi-puisi yang dapat mencapai puncak relijiusitas seseorang. Berikut merupakan gambaran yang demikian yang ditulis oleh Hamid Jabbar.
Terbiar Belajar Kematian
Terbiar belajar kematian
Tersingkap perangkap
Hidup redup alangkah sia-sia
Jua diujung bingungku
Mengeja segala tiba rasa iba 
Segala ibadah begitu payah
Ketika Rumah Berjalan
Kakiku rumah berjalan mencari jalan
Nuju rumahku mencari jalan mencari
Ruh ditubuh yang menjagaku dagu
Dalam tidur dan jagaku adalah kutahu
Taktahu semakin tak tahu fikir rasaku
Bersambut rasa fikirku tersumber su-
Ka lupa yang bertalu-talu dari entah
Selalu nuju tak hanya ke entah aduh 
Malah mentah segala buah di kebun
Rumahku dijejak, kakiku membengkak  
Onak lebih tombak membrontak tak
Segala tak kedalam benak lelah melelahkan
Luluh rasa tak tahuku.

 

Puisi Romance

Jenis puisi yang merupakan luapan batin penyair terhadap sang pujaan, kekasih. Puisi demikian seringkali dan banyak kita jumpai. Karena biasanya kepenyairan seseorang seringkali memang diawali dengan persoalan cinta.

Puisi romance demikian. Seringkali menawan karena nyaris dialami semua orang. Berikut contoh puisi WS. Rendra yang menulis puisi cintanya kepada sang pujaan bernama Narti.
Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur mainan
anak-anak pergi gaib
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah
wahai, dik Narti
Aku cinta padamu!
Kutilis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
Jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya
Wahai, dik Narti
kupinang kau menjadi istriku!
Kaki-kaki hujan yang runjing
menjentuh ujungnya dibumi
kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan  
menempuh ke muka
dan takkan kunjung diundurkan
Solusi malikat
telah turun
di kala hujan gerimis
di Muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta.
Wahai, dik Narti!
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat a
ku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
aku melamarmu, 
Kau tahu dari dulu;
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik 
dari pada yang lain....
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan pikir dan rasa.
Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit:
kantong rezeki dan restu wingit,
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis
Semangat cintaku yang kuat
bagai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring menyergap
hatimu yang selalu tersenyum padaku
Engkaulah putri duyung
tawananku
putri duynug dengan
suara merdu lembut bagai angin laut,
mendesahkan bagiku!
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkaulah putri duyung
Tergeletak lemas 
mengejap-ngejapkan matanya yang indah  
dalam jaringku. 
Wahai putri duyung
aku menjaringmu
aku melamarmu. 
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersendau gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya.
Wahai Dik Narti,
Kuingin dikau menjadi ibu dari anak-anakku!
(dari empat kumpulan Sajak, 13-16)

Puisi Dramatik

Puisi ini merupakan penggambaran dari prilaku seseorang, baik lewat lakon, dialog, maupun mololog sehingga mengandung suatu gambaran tentang kisah tertentu, puisi dramatik sering kita jumpai, ketika sang penyair ingin mengekspresikan sebagai bentuk pemanggungan sebuah puisi yang demikian seringkali memanfaatkan aspek-aspek (unsur) drama sebagai penajaman pengucapan. Contoh puisi jenis ini sebagaimana tampak dalam puisi Joko Pinurbo berikut.

Kisah Seorang Nyumin

Demonstrasi telah bubar
juga gerak, teriak, gegap dan gejolak
Tak ada lagi karnaval
Bahkan pawai dan gelombang massa
telah mengiring diri
Ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
Masih bisa bertahan dari sebuah beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera spanduk, pamflet.
Telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya
Tak ada lagi karnaval
Dipelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
Koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
Dinjak-injak sepi

Tapi diatas mimbar, dipusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima pleton pasukan mengepungnya
sebutkan nama partaimu.
Saya tak punya partai dan tak butuh partai
Lalu apa yang masih ingin kamu lakukan?
Mengamuk mengancam, menggebrak, melawan?
Diam itu yang saya inginkan
Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
Mengemasi kata-kata. Pulang kerumah yang teduh
tenang Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus
bicara, menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara
Dan para demonstran bersorak, "Hidup Nyumin"
Suasana serasa senyap sesungguhnya.

Dari celana (Magelang, Indonesia Tera,1999) 

Puisi Satirik

Puisi ini merupakan puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan yang terjadi. Puisi banyak kita jumpai dalam kehidupan ini, sebab kepincangan dan ketimpangan sosial masyarakat kita sangat luar biasa, jenis puisi ini, biasanya dipergunakan penyair untuk melakukan sindiran terhadap fenomena sosial yang dinilainya timpang. Puisi-puisi banyak dan sering ditulis penyair karena memang budaya sosial masyarakat memang luar biasa. Dalam bahasa Gunawan Mohammad, masyarakat kita masih memilih "budaya Pasemon". Puisi Amin Aminuddin Surabaya Ajari aku Tentang Benar, yang dapat dilihat pada kutipan berikut:
Surabaya Ajari Aku Tentang Benar
Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apalagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh.
Surabaya, ajari aku apa adanya
Jangan ajari aku gampang lupa gamang dusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
Seperti orang-orang Dewan di Jakarta
Surabaya, Ajari Aku jadi wakil rakyat
Lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
Membuat kata putus benar-benar manusiawi
Menjalankan program dengan kendaraan nurani hati
Surabaya, ajari aku. Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabar
Tanpa harus berbuat, apalagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kiang sengsara
Menata hidup kian jumpalitan di ujung abad
Tanpa ada ujung, tanpa ada juntrung
Surabaya, memang boleh berdandan
Bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
Siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
Senja meremang, mentarinya seindah pagi
Di antara gedung tua dan tugu pahlawan kita
Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
Kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
Da suara rakyat adalah suata kebenaran
Tak terbantahkan. Tak terbantahkan!
Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar
Surabaya, 21 November 2005. Dari malsasa: Antologi Puisi dan Geguritan 2005