Monday, September 26, 2016

Pengertian Asuransi Islam, Sejarah Asuransi Islam, dan Pendapat Ahli Fikih.



Dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min. At-ta’min diambil dari amana yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, seperti yang tersebut dalam QS. Quraisy (106): 4, yaitu “Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan”. Pengertian dari at-ta’min adalah seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.

Ahli fikih kontemporer, Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan asuransi berdasarkan pembagiannya. Ia membagi asuransi dalam dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni dan at-ta’min bi qist sabit. At-ta’min at-ta’awani atau asuransi tolong-menolong adalah “kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemudaratan”. At-ta’min bi qist sabit atau asuransi dengan pembagian tetap adalah “akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi.  

Musthafa Ahmad az-Zarqa memaknai asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya, atau dalam aktivitas ekonominya. Ia berpendapat, bahwa sistem asuransi adalah sistem ta’awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah oleh sekelompok tertanggung kepada orang yang tertimpa musibah tersebut. Penggantian tersebut berasal dari premi mereka.

Di Indonesia sendiri, asuransi Islam sering dikenal dengan istilah takaful. Kata takaful berasal dari takafala-yatakafalu yang berarti menjamin atau saling menanggung. Mohd. Ma’sum Billah memaknakan takaful dengan mutual guarantee provided by a group of people living in the same society against a defined risk or catastrophe befalling one’s life, property or any form of valuable things.

Dewan Syariah Nasional pada tahun 2001 telah mengeluarkan fatwa mengenai asuransi syariah. Dalam Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 bagian pertama mengenai Ketentuan Umum angka 1 disebutkan pengertian asuransi syariah (ta’min, takaful, atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Sejarah Asuransi Islam

Perkembangan asuransi dalam sejarah Islam sudah lama terjadi. Istilah yang digunakan tentunya berbeda-beda, tetapi masing-masing memiliki kesamaan, yaitu adanya pertanggungan oleh sekelompok orang untuk menolong orang lain yang berada dalam kesulitan.

Dalam Islam, praktik asuransi pernah dilakukan pada masa Nabi Yusuf as. Yaitu pada saat ia menafsirkan mimpi dari Raja Fir’aun. Tafsiran yang ia sampaikan adalah bahwa Mesir akan mengalami masa 7 (tujuh) panen yang melimpah dan diikuti dengan masa 7 (tujuh) tahun paceklik. Untuk menghadapi masa kesulitan (paceklik) itu, Nabi Yusuf as. Menyarankan agar menyisihkan sebagian dari hasil panen pada masa 7 (tujuh) tahun pertama. Saran dari Nabi Yusuf as. Ini diikuti oleh Raja Fir’aun, sehingga masa paceklik dapat ditangani dengan baik.

Pada masyarakat Arab sendiri, terdapat sistem ‘aqilah yang sudah menjadi kebiasaan mereka sejak masa pra-Islam. ‘Aqilah merupakan cara penutupan (istilah yang digunakan oleh AM Hasan Ali) dari keluarga pembunuh terhadap keluarga korban (yang terbunuh). Ketika terdapat seseorang terbunuh oleh anggota suku lain, maka keluarga pembunuh harus membayar diyat dalam bentuk uang darah. Kebiasaan ini kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW. Yang dapat terlihat pada Hadits berikut ini.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka, ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW. Memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhari)

Praktik ‘aqilah yang dilakukan oleh masyarakat Arab ini sama dengan praktik asuransi pada saat ini, dimana sekelompok orang membantu untuk menanggung orang lain yang tertimpa musibah. Dalam hal kaitannya dengan praktik pertanggungan ini, Nabi Muhammad SAW. Juga memuat ketentuan dalam pasal khusus pada Konstitusi Madinah, yaitu Pasal 3 yang isinya, yaitu: “orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah di antara mereka”.

Perkembangan praktik ‘aqilah yang sama dengan praktik asuransi ternyata tidak hanya diterapkan pada masalah pidana, tetapi juga mulai diterapkan dalam bidang perniagaan. Seringkali disebutkan dalam beberapa buku yang membahas mengenai sejarah asuransi, bahwa asuransi pertama kali dilakukan di Italia berupa asuransi perjalanan laut pada abad ke-14. Namun, sebenarnya sebelum abad ke-14 asuransi telah dilakukan oleh orang-orang Arab sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Orang-orang Arab yang mahir dibidang perdagangan telah melakukan perdagangan ke Negara-negara lain melalui jalur laut. Untuk melindungi barang-barang dagangannya ini mereka mengasuransikannya dengan tidak menggunakan sistem bunga dan riba. Bahkan Nabi Muhammad SAW. Sendiri telah melakukan asuransi ketika melakukan perdagangan di Mekkah.

Di bidang bisnis inilah asuransi semakin berkembang, terutama dalam hal perlindungan terhadap barang-barang perdagangannya. Namun, perkembangan ini tidak sejalan dengan kesesuaian praktik asuransi terhadap syariah. Meskipun demikian, dengan banyaknya kajian terhadap praktik perekonomian dalam perspektif Hukum Islam, asuransi mulai diselaraskan dengan ketetuan-ketentuan syariah. Pada paruh kedua abad ke-20 di beberapa Negara Timur Tengah dan Afrika telah mulai mencoba mempraktikkan asuransi dalam bentuk takaful yang kemudian berkembang pesat hingga ke Negara-negara yang berpenduduk nonmuslim sekali pun di Eropa dan Amerika.

No comments:

Post a Comment