Dalam bahasa Arab, asuransi
dikenal dengan istilah at-ta’min,
penanggung disebut mu’ammin,
tertanggung disebut mu’amman lahu atau
musta’min. At-ta’min diambil dari amana
yang artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa
takut, seperti yang tersebut dalam QS. Quraisy (106): 4, yaitu “Dialah Allah yang mengamankan mereka dari
ketakutan”. Pengertian dari at-ta’min adalah seseorang membayar/menyerahkan
uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana
yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang
hilang.
Ahli fikih kontemporer, Wahbah
az-Zuhaili mendefinisikan asuransi berdasarkan pembagiannya. Ia membagi
asuransi dalam dua bentuk, yaitu at-ta’min
at-ta’awuni dan at-ta’min bi qist
sabit. At-ta’min at-ta’awani atau asuransi tolong-menolong adalah
“kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi
ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemudaratan”. At-ta’min bi qist sabit atau asuransi
dengan pembagian tetap adalah “akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah
uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan
perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi.
Musthafa Ahmad az-Zarqa memaknai
asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam
menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam
hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya, atau dalam aktivitas ekonominya.
Ia berpendapat, bahwa sistem asuransi adalah sistem ta’awun dan tadhamun yang
bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah oleh
sekelompok tertanggung kepada orang yang tertimpa musibah tersebut. Penggantian
tersebut berasal dari premi mereka.
Di Indonesia sendiri, asuransi
Islam sering dikenal dengan istilah takaful.
Kata takaful berasal dari takafala-yatakafalu yang berarti
menjamin atau saling menanggung. Mohd. Ma’sum Billah memaknakan takaful dengan mutual guarantee provided by a group of people living in the same
society against a defined risk or catastrophe befalling one’s life, property or
any form of valuable things.
Dewan Syariah Nasional pada tahun
2001 telah mengeluarkan fatwa mengenai asuransi syariah. Dalam Fatwa DSN No.
21/DSN-MUI/X/2001 bagian pertama mengenai Ketentuan Umum angka 1 disebutkan
pengertian asuransi syariah (ta’min,
takaful, atau tadhamun) adalah
usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Sejarah Asuransi Islam
Perkembangan asuransi dalam
sejarah Islam sudah lama terjadi. Istilah yang digunakan tentunya berbeda-beda,
tetapi masing-masing memiliki kesamaan, yaitu adanya pertanggungan oleh
sekelompok orang untuk menolong orang lain yang berada dalam kesulitan.
Dalam Islam, praktik asuransi
pernah dilakukan pada masa Nabi Yusuf as. Yaitu pada saat ia menafsirkan mimpi
dari Raja Fir’aun. Tafsiran yang ia sampaikan adalah bahwa Mesir akan mengalami
masa 7 (tujuh) panen yang melimpah dan diikuti dengan masa 7 (tujuh) tahun
paceklik. Untuk menghadapi masa kesulitan (paceklik) itu, Nabi Yusuf as.
Menyarankan agar menyisihkan sebagian dari hasil panen pada masa 7 (tujuh)
tahun pertama. Saran dari Nabi Yusuf as. Ini diikuti oleh Raja Fir’aun,
sehingga masa paceklik dapat ditangani dengan baik.
Pada masyarakat Arab sendiri,
terdapat sistem ‘aqilah yang sudah
menjadi kebiasaan mereka sejak masa pra-Islam. ‘Aqilah merupakan cara penutupan (istilah yang digunakan oleh AM
Hasan Ali) dari keluarga pembunuh terhadap keluarga korban (yang terbunuh).
Ketika terdapat seseorang terbunuh oleh anggota suku lain, maka keluarga
pembunuh harus membayar diyat dalam
bentuk uang darah. Kebiasaan ini kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Yang dapat terlihat pada Hadits berikut ini.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka, ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW. Memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhari)
Praktik ‘aqilah yang dilakukan
oleh masyarakat Arab ini sama dengan praktik asuransi pada saat ini, dimana
sekelompok orang membantu untuk menanggung orang lain yang tertimpa musibah.
Dalam hal kaitannya dengan praktik pertanggungan ini, Nabi Muhammad SAW. Juga
memuat ketentuan dalam pasal khusus pada Konstitusi Madinah, yaitu Pasal 3 yang
isinya, yaitu: “orang Quraisy yang
melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan
saling bekerja sama membayar uang darah di antara mereka”.
Perkembangan praktik ‘aqilah yang
sama dengan praktik asuransi ternyata tidak hanya diterapkan pada masalah
pidana, tetapi juga mulai diterapkan dalam bidang perniagaan. Seringkali
disebutkan dalam beberapa buku yang membahas mengenai sejarah asuransi, bahwa
asuransi pertama kali dilakukan di Italia berupa asuransi perjalanan laut pada
abad ke-14. Namun, sebenarnya sebelum abad ke-14 asuransi telah dilakukan oleh
orang-orang Arab sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Orang-orang Arab yang mahir dibidang perdagangan telah melakukan perdagangan ke
Negara-negara lain melalui jalur laut. Untuk melindungi barang-barang
dagangannya ini mereka mengasuransikannya dengan tidak menggunakan sistem bunga
dan riba. Bahkan Nabi Muhammad SAW. Sendiri telah melakukan asuransi ketika
melakukan perdagangan di Mekkah.
Di bidang bisnis inilah asuransi
semakin berkembang, terutama dalam hal perlindungan terhadap barang-barang
perdagangannya. Namun, perkembangan ini tidak sejalan dengan kesesuaian praktik
asuransi terhadap syariah. Meskipun demikian, dengan banyaknya kajian terhadap
praktik perekonomian dalam perspektif Hukum Islam, asuransi mulai diselaraskan
dengan ketetuan-ketentuan syariah. Pada paruh kedua abad ke-20 di beberapa Negara
Timur Tengah dan Afrika telah mulai mencoba mempraktikkan asuransi dalam bentuk
takaful yang kemudian berkembang
pesat hingga ke Negara-negara yang berpenduduk nonmuslim sekali pun di Eropa
dan Amerika.
No comments:
Post a Comment