Friday, April 12, 2019

Falsafah Kritik Sastra, Prinsip-Prinsip Dasar Kritik Sastra, Dan Aspek-Aspek Kritik Sastra.


Falsafah Kritik Sastra

Pandangan terhadap kritik sastra dapat dilihat dari berbagai sudut. Ada cendikiawan yang mengatakan bahwa kritik sastra dapat dipandang sebagai :
  • suatu disiplin teoritis atau ilmu;
  • suatu skill atau keterampilan yang dibimbing oleh perasaan dan dikembangkan melalui pengalaman;
  • suatu art dalam pengertian penganut Aristoteles adalah techne yaitu suatu produksi yang mempunyai maksud tertentu secara metodis.

Kritik sastra sebagai ilmu

Kalau kita menganggap bahwa kritik sastra itu merupakan suatu ilmu atau suatu disiplin teoritis, maka dengan sendirinya kita mengakui bahwa dia mempunyai metode dan teknik penelitian ilmiah tertentu seperti juga halnya dengan ilmu-ilmu lain. Kita mengetahui bahwa pada umumnya metode-metode ilmiah berlangsung melalui beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut adalah :
  • pengumpulan data,
  • pengklasifikasian data,
  • pembentukan hipotesis,
  • pembuktian hipotesis dengan ramalan data baru, dan
  • pembentukan prinsip-prinsip ilmiah baru secara konsekuen.

Selain yang telah dikemukakan diatas, kalau kita memandang kritik sastra itu sebagai suatu ilmu, kita harus menerimanya sebagai suatu teori, Kita juga mengetahui bahwa maksud dan tujuan suatu teori adalah mempersiapkan pengetahuan. Walalupun demikian, seorang ahli yang bernama Joseph T. Shiple dengan tegas mengatakan bahwa kritik itu mempunyai tujuan praktis sebagai suatu alat untuk mengemukakan serta memaparkan proses kreasi artistik dan apresiasi. Oleh karena itu, dalam hal ini teori itu haruslah member sumbangan pada kritik sesuai dengan kebutuhan. Beberapa informasi yang dimaksud adalah :
  • pengetahuan mengenai teknik dan bahan kreasi artistik;
  • pengetahuan mengenai bahan-bahan pokok, yaitu objek dari penjelasan artistik suatu bidang studi yang benar-benar tidak terbatas luasnya;
  • pengetahuan mengenai seniman serta aktivitasnya, psikologi kreasi artistic, biografi sang seniman, dan sejarah kesenian.

Kritik sastra sebagai suatu keterampilan

Kalau kita menganggap kritik sastra adalah suatu skill atau keterampilan, maka perlu diadakan evaluasi terhadapnya. Seperti halnya segala evaluasi, bagi kritikpun diperlukan norma-norma. Kalau norma-norma telah ditetapkan, mudahlah untuk member penilaian yang objektif.

Walaupun kita menganggap bahwa kritik adalah suatu keterampilan, namun dia tidaklah pernah merupakan suatu knack atau suatu keterampilan yang diperoleh dengan kebiasaan latihan, dan juga tidak pernah merupakan suatu art atau seni dalam pengertian fine art atau puisi. Dalam kehidupan sehari-hari orang dengan jelas membedakan kata kritik dari kreasi, bahkan tidak jarang dipertentangkan.

Kata kreasi biasanya dipergunakan bagi semua hasil sastra. Akan tetapi, dalam aspek analitisnya, kritik merupakan suatu bagian mutlak dari proses kreatif dan dalam aspek sintetisnya, kritik lebih cenderung kea rah kreasi sebagai suatu produksi dari karya lain.


Kritik sastra sebagai “art” atau “techne”

Yang dimaksud dengan art disini adalah dalam pengertian techne seperti yang dianut oleh pengikut Aristoteles, yaitu suatu produksi yang mempunyai maksud tertentu, secara metodis atau methodical purposive production.

Suatu kritik bersifat metodis dalam pengertian bahwa dia terjadi dalam peresmian dengan hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam pandangan-pandangan yang kompleks dan beraneka ragam melalui masa berabad-abad yang mempunyai tradisi sendiri-sendiri. Suatu kritik adalah purposive dalam pengertian bahwa dia tidak mempunyai maksud khusus yaitu memelihara kreasi dan penikmatan keindahan, dengan kata lain to foster the creation and enjoyment of beauty. Selanjutnya kritik itu merupakan suatu produksi, dalam pengertian bahwa dia  turut mengambil bagian atau berpartisipasi dalam proses kreasi itu, sekalipun tidak dengan menyuguhkan karya-karya seni.

Sekalipun aliran yang kita anut dalam falsafah kritik sastra berbeda-beda, tetapi satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kritik sastra erat sekali kaitannya dengan nilai. I. A. Richardds dan kritikus yang lain mengatakan bahwa kritik berakar pada tuntutan-tuntutan nilai, baik secara eksplisit maupun implisit.

Ada penulis yang member keterangan bahwa nilai-nilai dalam suatu karya dapat berupa
  • nilai hedonik yang memberikan kesenangan secara langsung;
  • nilai artistik yang memanifestasikan keterampilan seseorang;
  • nilai kultural yang mengandung hubungan yang mendalam dengan satu masyarakat atau kebudayaan;
  • nilai etis-moral-relegius; dan
  • nilai praktis.

Kadang-kadang nilai yang telah kita sebutkan di atas agak sukar ditentukan dalam suatu karya sastra. Di sinilah sang kritikus selalu berhubungan dengan nilai-nilai. Oleh karena itu, I.A. Richards mengatakan bahwa sang kritikus lebih erat hubungannya dengan kesehatan rohani seperti halnya seorang dokter yang erat hubungannya dengan kesehatan jasmani.



Prinsip-Prinsip Dasar Kritik Sastra

Kritik sastra sebagai suatu pengamatan, perbandingan, serta pertimbangan baik dan buruknya nilai suatu karya sastra, tentu memiliki beberapa prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam langkah-langkah selanjutnya. Menurut seorang ahli yang bernama Vincil C. Coulter, prinsip-prinsip tersebut adalah berikut ini
  1. sastra adalah suatu cara berpikir yang universal, karakteristik manusia dalam segala masa dan tahap perkembangan;
  2. tipe berpikir ini tidak akan dapat dikembangkan terpisah dari obyektivitasnya dalam beberapa bentuk tulisan yang bertindak sebagai suatu lambang yang penting;
  3. maksud dan tujuan cara berpikir ini adalah membuat pengalaman lebih intensif dan bermakna;
  4. pemupukan serta pengembangan sastra haruslah dilaksanakan melalui: (a) upaya pada penulisan yang kreatif, (b) melalui apresiasi, apropisasi, atau kesepadanan nilai-nilai yang terdapat dalam karya orang lain.
  5. nilai sastra suatu puisi, novel, dan drama senantiasa bersifat pribadi;
  6. intensitas pengalaman penikmat ssatra tergantung dari beberapa faktor yaitu : (a) perasaannya pada saat membaca; (b) paham atau tidaknya akan lambang-lambang yang dipakai; (c) biasa atau tidaknya akan interpretasi imajinatif; (d) pengalaman-pengalamannya pada masa lalu; (e) kesesuaian bahan-bahan yang disajikan pada masalah-masalahnya sendiri.
  7. dari segi hakikat dan tujuan sastra, nilai-nilai estetika perlu dialihkan, dan kegunaan suatu karya sastra tertentu mungkin saja berbeda dari masa ke masa, dari bangsa ke bangsa, dan dari pribadi ke pribadi.
  8. reaksi-reaksi perseorangan terhadap sastra ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan sikap kita terhadap diri dan lingkungan, sehingga pada akhirnya tidaklah mungkin suatu sastra tanpa mempertimbangkan implikasi-implikasi moralnya.
Lain halnya dengan pendapat seorang dramawan berkebangsaan Jerman yakni Goethe. Dia merumuskan tiga prinsip dasar yang pada awalnya khusus untuk prinsip dasar kritik sastra drama, tetapi kemudian juga berlaku untuk sastra pada umumnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut ini :
  • Apa yang hendak dikerjakan oleh seniman?
  • Baikkah seniman melakukan hal itu?
  • Apakah hal itu pantas dilakukan?
Kalau kita berusaha untuk menjawab pertanyaan pertama, maka kita terutama harus menggarap atau berhubungan dengan hal-hal nyata. kalau kita menjawab pertanyaan kedua, maka kita mempertimbangkan betapa baiknya sang seniman memanfaatkan unsur-unsur seni serta memadunya menjadi suatu kesatuan artistik yang efektif. Jika kita mencoba menjawab pertanyaan ketiga, maka kita akan mengemukakan pendapat sendiri.


Aspek-Aspek Kritik Sastra

Setiap karya sastra mempunyai tingkatan dalam hal kesempurnaan, punya ukuran tersendiri tentang kebenaran atau kepalsuan serta keagumgan ataupun keremehannya. Setiap kritikus yang cakap pastilah akan memperhatikan ketiga aspek dari karya sastra tersebut. Kritik sastra pun memiliki tiga aspek yakni aspek historis, aspek rekreatif, dan aspek penghakiman. Kritik historis berhubungan dengan watak dan orientasi historisnya, kritik rekreatif berhubungan dengan kepribadian artistiknya. Aspek-aspek ini sepenuhnya merupakan faktor-faktor yang menjadi persyaratan bagi satu proses organis. Hubungan antara aspek yang satu dengan aspek yang lainnya jelas bersifat analog. 

Karena hubungan masing-masing aspek bersifat analog, dengan sendirinya masing-masing aspek punya tugas jalinan tersendiri di antara wawasan dan karyanya. Kritik historis secara khusus mempunyai tugas untuk mencari dan menentukan hakikat dan ketajaman pengungkapan karya itu di dalam jalinan historisnya.

Kritik rekreatif tugas khususnya adalah dengan daya angan-angannya lewat jawaban artistik yang telah dihasilkan oleh kehalusan hatinya, menemukan apa yang telah diungkapkan oleh pengarang itu dengan benar-benar berhasil di dalam satu bentuk karya sastra tertentu, tugas khusus untuk kritik penghakiman adalah menentukan nilai dari sebuah karya sastra yang dibacanya.

Ketiga aspek tersebut merupakan tiga pendekatan yang komplementer ke arah sebuah karya, setiap pendekatan hanya bisa dilakukan dengan berhasil apabila dibarengi oleh kedua pendekatan lainnya. jadi orang tidak bisa mengadakan pendekatan karya yang menyeiuruh dan utuh hanya lewat satu ataupundua pendekatan saja. ketika pendekatan itu haruslah dijalankan sekaligus karena suatu pendekatan historis, misalnya kalau dipisahkan dari rekreasi sensitif dan pengkajian yang berdasarkan penghakiman, hanyalah akan menghasilkan suatu rentetan fakta-fakta objektif yang kering, kalau seseorang hanya bertumpu pada fakta-fakta objektif, pastilah akan gagal dalam usahanya untuk menentukan hakikat serta nilai karya sastra yang dihadapinya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tangkapan rekreatif dan pengkajian penghakiman itu kedua-duanya haruslah dilengkapi oleh suatu orientasi historis.






Pengertian Sosiologi Sastra. Sastra, Masyarakat, dan Kebudayaan, Serta Kritik Sastra dan Masyarakat.

Sosiologi sastra merupakan bagian dari kritik sastra yang mengkhususkan diri dalam menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Menurut Wellek dan Warren bahwa sosiologi sastra, adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah sosiologis ini mempunyai tiga klasifikasi, yaitu :
  • Sosiologi pengarang, yakni menyangkut diri pengarang itu sendiri, baik tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain.
  • Sosiologi karya sastra, yakni menyangkut masalah-masalah karya itu sendiri.
  • Sosiologi sastra, yakni yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Pembagian telaah sosiologis menurut Wellek dan Warren hampir sama dengan pembagian Ian Watt, dengan melihat hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
  1. Konteks sosial pengarang, yakni menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
  2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang telaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.
  3. Fungsi sosial sastra, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, sejauh mana nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan seberapa jauh sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.


Sastra, Masyarakat, dan Pembaca

Sastra merupakan bagian dari kebudayaan, dan kebudayaan itu sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat, karena kebudayaan adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki daripada yang lain. Singkatnya kebudayaan itu dikatakan sebagai cara hidup, yaitu bagaimana suatu masyarakat itu mengatur hidupnya.

Kebudayaan memiliki tiga unsur, yaitu :
  1. Unsur sistem sosial: yang terdiri dari sistem kekeluargaan, politik, ekonomi, kepercayaan, pendidikan, dan sistem undang-undang.
  2. Sistem nilai atau ide: sistem nilai yang menyangkut upaya bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga daripada yang lain; sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan yang terdapat dalam sebuah masyarakat.
  3. Peralatan kebudayaan: penciptaan material berupa peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan.
Kesusastraan sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencerminkan ketiga unsur kebudayaan seperti yang dikemukakan diatas.
  1. Kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, seperti sistem kekerabatan, politik, ekonomi, kepercayaan, pendidikan, dan undang-undang yang terdapat dalam masyarakat tertentu.
  2. Kesusastraan mencerminkan sistem nilai dan ide, menggambarkan tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak karya sastra itu sendiri menjadi penilaian yang dilakukan anggota masyarakat.
  3. Bagaimana mutu peralatan kebudayaan yang ada dalam masyarakat tercermin pula pada bentuk peralatan tulis menulis yang digunakan dalam mengembangkan sastra.
Bila kebudayaan dan sastra kita kaitkan dengan masyarakat yang menggunakan sastra, maka dapat dikatakan bahwa nilai sastra terletak pada masyarakat itu sendiri. Kesusastraan itu mempunyai fungsi sosial dan fungsi estetik.

Fungsi sosial sastra adalah keterlibatan sastra dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, etik, kepercayaan dan lain-lain. Fungsi estetik sastra adalah penampilan karya sastra yang dapat memberi kenikmatan dan rasa keindahan bagi pembacanya.

Perkembangan masyarakat dan kebudayaan kita semakin lama semakin besar dan kompleks, demikian pula halnya dengan sastra. Keseluruhan kesusastraan Indonesia sekarang tidak sama dengan keseluruhan kesusastraan Indonesia di tahun lima puluhan. Oleh karena itu, tanggung jawab seorang sastrawan semakin besar, mereka tidak cukup hanya mengetahui aspek-aspek yang membangun sastra saja bila ingin menghasilkan karya yang bermutu, tetapi harus dibarengi dengan berbagai macam pengetahuan di bidang sosiologi, psikologi, falsafah, dan kebudayaan.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa antara masyarakat, kebudayaan, dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat yang satu dengan yang lainnya saling memberi pengaruh, saling membutuhkan dan saling tentu-menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Kritik Sastra dan Masyarakat

Kritik sastra sangat berperan penting dalam masyarakat karena kesusastraan sangat tergantung pada kritikus sastra, bahkan kritikus sastra mampu mempengaruhi seluruh masyarakat sastra.

Masyarakat sastra merangkum sekalian orang yang mengembangkan, memanfaatkan, dan menyerapkan kesusastraan yang bergerak dalam tiga bidang sastra yakni :
  1. Para sarjana dan ahli sastra yang bergerak dalam bidang ilmu sastra.
  2. Para pencipta, baik penulis prosa maupun penyair yang langsung berurusan dengan penciptaan sastra.
  3. Para pencinta sastra yang menerima dan menerapkan karya sastra yang dibacanya.

Thursday, April 11, 2019

Jalan dan Cara-cara Untuk Memperoleh Kebenaran, Jalan Memperoleh Kebenaran Melalui Pihak Yang Berwenang dan Jalan Memperoleh Pengetahuan Melalui Pengalaman Pribadi.

Eksistensi manusia sangat dibatasi oleh ruang, waktu, dan sarat-sarat lain yang dibawa oleh kodratnya. Pada suatu waktu seorang manusia tidak dapat secara fisik hadir dalam dua tempat yang agak berjauhan. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi ditempat lain kerapkali tidak dapat kita saksikan karena kondisi-kondisi tertentu menghalang-halangi kita. Malahan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi secara serempak ditempat tinggal kita sendiri tidak dapat dua-duanya kita kunjungi berasama-sama.

Akan tetapi dengan cara-cara tertentu manusia dapat melampaui batas ruang, waktu, dan sarat-sarat lain itu. Ia mulai mendengarkan berita-berita, mengumpulkan informasi-informasi dan menyelidiki data yang telah terkumpulkan  dari peristiwa-peristiwa yang tidak ia alami sendiri. Dan segala sesuatu yang dapat dialami sendiri ia himpun, ia renungkan, ia olah, dan ia simpulkan sehingga menjadi pengetahuan yang makin tepat dan lebih mantap. Jalan melalui orang lain dan mengalami pengalaman sendiri menjadi pokok persoalan yang akan diperbincangkan kali ini. Cara berpikir menyusul dibicarakan untuk menjadi titiktolak pembicaraan tentang cara modern untuk memperoleh pengetahuan, cara mana pada dasarnya tidak lain adalah perpaduan yang harmonik dan efektif dari dua cara  berfikir yang dibicarakan sebelumnya. Yang pertama akan segera dibicarakan.

Jalan Memperoleh Kebenaran Melalui Pihak yang Berwenang

Dalam mencari pengetahuan atau kebenaran sejak dahulu sampai sekarang orang tidak jarang pergi kepada seorang ahli atau kepada pihak-pihak lain yang dianggapnya berwenang. Jika dia sakit, dia pergi kepada dukun atau kepada dokter. Jika mendapatkan suatu impian orang jaman dahulu pergi kepada shaman atau ahli-ahli nujum untuk mengartikan impiannya. Pada jaman modern ini sekarang hakimpun akan meminta nasehat seorang psychiater untuk menetapkan apakah seorang terdakwa dalam keadaan sakit ingatan atau tidak. Cara-cara semacam itu adalah ekonomis dan efisien, akan tetapi bukan tidak terbuka untuk sesuatu kesalahan.

Sadar atau tidak, sangat banyak orang yang menerima apa yang dikatakan oleh tradisi. Perjodohan, hari perkawinan, hari pindah rumah, dan waktu-waktu berguru dipercayakan kepada perhitungan orang-orang tua. Hal yang demikian itu berjalan dari satu generasi ke generasi yang menyusul. Itu mungkin merupakan jalan paling pendek dan praktis. Tetapi salah besar jika orang menyangka bahwasanya dengan cara semacam itu dia akan memperoleh kebenaran yang tak terguncangkan. Sejarah telah membuktikan bahwa perkembangan sejarah tidak saja menelorkan kebijakan-kebijakan, tetapi juga kesesatan-kesesatan. Tidak sedikit teori-teori yang telah bertahan berabad-abad akhirnya ternyata sama sekali salah. Misalnya teori ARISTOTOLES tentang tingkah laku benda-benda yang berbeda-beda beratnya jika di jatuhkan diruangan bebas, telah bertahan hampir duapuluh abad lamanya, tetapi dengan menyelidikan dan pembuktian GALILEO ternyata palsu. Demikian juga tentang kebenaran mengenai bumi sebagai pusat dari planit-planit lain. Kebenaran memang tidak tergantung kepada popularitas atau lamanya diterima orang. Kebenaran bukanlah apa yang diyakini oleh sebagian penduduk. Jangka waktu dan popularitas bukanlah jaminan yang jitu untuk kebenaran dan kepalsuan.

Dari masa ke masa yang dipandang berwenang selalu berganti-ganti. Pada jaman purbakala fihak yang pandang paling berwenang adalah kepala suku, shaman, atau dukun-dukun. Pada jaman pertengahan Gereja dipandang sebagai sumber pengetahuan yang aling dapat dipercaya. Skolastik menerima apa saja yang dinyatakan oleh ARISTOTELES. Dengan mata telanjang oarang dapat menghitung jumlah gigi wanita yang tidak berbeda dengan jumlah gigi priya. Namun karena ARISTOTELES telah mengatakan bahwa gigi wanita lebih banyak dari pada gigi priya, maka kaum Skolastik tak mau menerima kepalsuan pendapatnya. Mereka ini menolak juga ketika diundang oleh GALILEO untuk melihat bulan-bulan dari Yupiter melalui teropong semata-mata karena ARISTOTELES dalam ilmu antronominya tidak pernah menyebut-nyebut bahwa bulan-bulan itu dapat dilihat.

Kecuali itu fihak yang dipandang orang berwewenang memberikan pengetahuan yang benar adalah raja-raja, pemerintah, undang-undang, dan pengadilan. Jika menghadapi kesulitan-kesulitan orang selalu mencari informasi kepada mereka itu. Orang berpaling kepada pemerintah misalny, bukan saja dalam soal-soal pemerintahan,tetapi juga dalam soal-soal perdagangan, perburuhan, pertanian, kesehatan, pendidikan, dsb. Dasar kepercyaannya sangat sederhana. Karena dalam mencari kebenaran dia mungkin mengalami kesalahan maka akan aman kiranya jika dia menyadarkan diri pada fihak-fihak yang berwenang itu, yang sabda-sabdanya merupakan keyakinan-keyakinan yang diakui oleh umum. Adalah sesuatu persoalan apakah fihak-fihak yang berwenang itu tidak dapat mengalami kesalahan-kesalahan seperti dia sendiri? Jika tradisi-tradisi merupakan sumber-sumber kebenaran, bagaimana halnya dengan tradisi-tradisi yang bertentangan satu sama lain? Demikian juga mengapa pengikut-pengikut  Gereja bertentangan satu sama lain tentang satu kebenaran? Dan mengapa pula ada perbedaan-perbedaan yang dapat antara tokoh-tokoh dalam satu pemerintahan? 

Perjalanan sejarah memang telah mengumpulkan perbendaharaan-perbendaharaan kebudayaan yang cukup banyak. Menolak pengetahuan-pengetahuan yang sudah terkumpul akan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi menolak untuk mempersoalkan sesuatu keyakinan yang sudah diterima akan menimbulkan konsekawensi yang sama: kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan hidup kemasarakatan akan mengalami kemacetan.

Menyadari ketidak-mampunnya sendiri kerapkali orang berlari kepada ahli-ahli. Baik dari segi kecerdasan, pengalaman, latihan dan sikapnya seorang ahli dipandang mempunyai kelebihan dari orang-orang lainnya. Dengan begitu dia pasti mempunyai pengetahuan yg lebih dapat di percaya dari pada pengetahuan orang kebanyakan. Sungguh pun begitu akan salah jika orang mengira bahwa seorang ahli adalah ahli segala-segalanya. Dalam mencari pengetahuan dari seorang ahli perlu kiranya orang menyelidiki apa keahlianya: Apakah keahlianya itu di akui oleh wewenang-wewenang lainya ;dan bagaimana taraf kebenaran dari pengetahuan yang dia kemukakan. Janganlah mengira bahwa dua orang dokter pasti menelorkan satu kesimpulan tentang suatu penyakit. Pendapat seorang ahli tidak akan bersarat dan akan berlaku sepanjang masa.

Jalan Memperoleh Pengetahuan Melalui Pengalaman Pribadi

Jika mengahadapi problema-problema, orang kerapkali menggunakan pengalaman-pengalamannya. Memecahkan persoalan-persoalan hidup dengan menggunakan pengalaman dalam banyak hal memang sangat berguna. Banyak kesulitan-kesulitan dapat dipecahkan dengan pengalaman-pengalaman. Seorang petani tahu bahwa tanaman-tanaman tertentu jika ditanam pada musim penghujan tidak menghasilkan apa-apa. Dengan beberapa pengalamannya dia dapat menghindarkan diri dari kerugian-kerugian yang lebih banyak jika dia menanam tanaman-tanaman itu pada waktu musim penghujan. Seorang nelayan selalu ingat bahwa jika awan sudah mulai menghitam , itu adalah alamat bahwa hari akan hujan. Dia dengan pengalaman-pengalamannya dapat melepaskan diri dari kemungkinan kehujanan ditengah lautan jika awan sudah mulai menghitam. Dia secepatnya mengayuh perahunya ke pantai.

Pengalaman memang membuat orang menjadi bijaksana. Tetapi jika tidak digunakan secara kritik pengalaman mungkin dapat merugikan sekali. Sebagian terbesar dari pengalaman bersumber dari pengamatan. Tetapi pengamatan manusia bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang sifatnya sangat subyektif menyebabkan pengalaman manusia mempunyai sifat-sifat yang terbatas. Pertama-tama, pengalaman yang sangat pribadi tidak ada atau sedikit sekali yang mempunyai peluang generalisasi yang luas. Kedua, keadaan orang yang bersangkutan menentukan corak dan isi pengamatan dan pengalamannya. Misalnya saja, seorang anak yang menceriterakan hal-hal yang tidak benar adalah hal yang biasa, entah itu karena fantasinya, entah karena ia ingin menceriterakan hal-hal yang hebat. Keunikan pengalaman umumnya bersumber pada hal-hal sebagai berikut :
  1. Mengabaikan hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat pribadi.
  2. Kurang tepat atau kurang cermat dalam mengamati hal-hal yang penting tentang sesuatu persoalan.
  3. Menggunakan alat-alat pengukuran yang penilaiannya sangat subyektiv
  4. Kurang fakta-fakta sudah menarik kesimpulan.
  5. Mengambil kesimpulan yang salah karena telah mempunyai prasangka-prasangka.
  6. Peranan dari faktor-faktor yang tidak disadari. Misalnya dalam apa yang disebut proyeksi orang merasa mengenal orang lain, tetapi sebenarnya apa yang ia sangka menjadi sifat-sifat orang lain adalah sifatnya sendiri.  
Demikianlah jalan atau cara memperoleh pengetahuan melalui orang atau pihak lain dan melalui pengalaman pribadi. Masing-masing jalan mempunyai segi-segi yang positiv. Seorang penyelidik tidak semestinya hanya melihat segi-segi positivnya dan mengabaikan segi-segi negativnya, apalagi terperangkap dari segi-segi tersebut. Demikianlah, semoga bermanfaat.



Tuesday, April 9, 2019

Ilmu Pengetahuan dan Latar Belakangnya, Motif-motif Perkembangan Ilmu Pengetahuan, dan Tugas-tugas Ilmu Pengetahuan.

Adalah penting sekali buat kita semua yang bergerak dalam bidang ilmu pengetahuan mengetahui beberapa konsep dasar ilmu pengetahuan pada umumnya serta perkara-perkara lain yang membayangi semua kegiatan ilmiah dalam bidang kita pada khususnya. Kali ini akan kita bicarakan secara berturut-turut: Motif-motif pokok daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Tugas-tugas ilmu pengetahuan. 

Motif-motif Perkembangan Ilmu Pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari dua motif pokok yang pada dasarnya berjalin satu sama lain. 
  • Dorongan ingin tahu (curiosity) yang dimiliki oleh semua manusia yang normal.
  • Kegunaan praktis dari pengetahuan yang diperoleh dari perenungan dan penyelidikan-penyelidikan.
Kedua motif ini dalam kenyataannya memang sukar dipisah-pisahkan pula sangat sukar untuk dipastikan mana yang timbul lebih dahulu. Kegunaan dalam praktek hidup acapkali menjadi pendorong yang sangat kuat bagi manusia untuk menjelajahi rimba raya pengetahuan yang belum pernah dikuak sebelumnya. Sebaliknya dorongan ingin tahu dapat menggerakkan manusia untuk selalu menanyakan kekuatan-kekuatan apa yang ada dibalik gejala-gejala alam ini, sehingga kekuatan-kekuatan yang menguasai alam itu dapat diketahui dan dapat digunakan untuk memperbaiki nasib hidup manusia dimasa-masa mendatang, yang jauh maupun yang dekat. Tidaklah mengherankan jika atas dorongan itu orang pergi kepada orang-orang yang dianggap arif bijaksana, tukang-tukang peramal nasib, dukun-dukun, para ahli, dan semacamnya untuk memperoleh pengetahuan tentang nasibnya dimasa depan. Hal semacam ini telah berjalan berpuluh-puluh abad lamanya, sejak dahulu kala sampai sekarang juga.

Sarjana-sarjana ilmu pengetahuan modern mendapatkan panggilan yang tidak berbeda dengan orang-orang arif jaman dahulu. Dorongan yang terdalam daripada usaha mereka adalah bagaimana memperbaiki nasib hidup umat manusia. Dengan cara-cara yang lebih baik mereka berusaha untuk mengerti lebih mendalam dan lebih banyak tentang gejala-gejala alam yang mereka lihat,dan dengan pengertian itu mereka ingin mengadakan ramalan-ramalan tentang gejala-gejala yang masih belum terjadi yang ada sangkut-pautnya dengan nasib hidup manusia. Akhirnya dengan pengertian itu pula mereka ingin menggunakannya untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan yang merugikan maupun yang menguntungkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama. Adalah harapan dari semua sarjana bahwa dengan cara-cara penyelidikan yang lebih sempurna akan dapat di peroleh pengertian-pengertian yang lebih baik,dasar-dasar ramalan yang lebih mantap (reliable),serta cara-cara pengendalian yang lebih efektif.Tugas-tugas ilmu pengetahuan yang akan dibicarakan dibawah ini rupa-rupanya sama sekali tidak menyimpan dari motif-motif yang dialami pada sarjana seperti tersebut diatas.

Tugas-Tugas Ilmu Pengetahuan

Dalam terminologi ilmiah tugas-tugas daripada ilmu pengetahuan dapat di sebutkan sebagai berikut:(1) Tugas Eksplanatif atau tugas menerangkan gejala-gejala alam;(2) Tugas Prediktif atau tugas meramalkan kejadian-kejadian alam dimasa depan, dan (3) Tugas Kontrole atau tugas mengendalikan peristiwa-peristiwa yang bakal datang. Masing-masing dari ketiga tugas itu akan segera di bicarakan.   

Tugas Eksplanatif atau tugas mengadakan Eksplanation. Tujuan pokok dari penyelidikan-penyelidikan ilmiah tidaklah semata-mata untuk melukiskan (mengadakan deskripsi) gejala-gejala, melainkan juga menyediakan keterangan-keterangan tentang gejala itu.

Sarjana-sarjana modern umumnya sama sekali tidak merasa puas dengan memberi nama,menggolong-golongkan,atau mencatat gejala-gejala. Sebab berhenti pada taraf deskripsi itu tidak banyak yang dapat dipetik dari pengetahun tentang gejala itu untuk keperluan-keperluan praktis dimasa depan. Daripada membatasi diri pada observasi-observasi biasa tentang benda jatuh,hujan turun,sungai meluap, wabah menyerang,atau anak-anak membolos, mereka melangkah lebih jauh lagi, yaitu mencari keterangam-keterangan tentang sebab-sebab, kondisi-kondisi, atau alasan-alasan yang menimbulkan kejadian-kejadian itu. Dengan menemukan sebab-sebab,kondisi-kondisi,atau alasan-alasan kejadian itu mereka membayangkan generalisasi yang dapat di terapkan pada atau di buktikan dari kejadian-kejadian yang khusus dari waktu kewaktu. Jadi yang menjadi tujuan utama dalam penyelidikan ilmiah seseorang sarjana bukanlah semata-mata mengadakan deskripsi, melainkan menerangkan,mengadakan explanation tentang gejala-gejala yang timbul di hadapannya.

Tugas prediktif atau tugas mengadakan prediction. Untuk mengadakan prediction atau meramalkan kejadian-kejadian dimasa depan rupa-rupanya keterangan saja tentang peristiwa-peristiwa alam belumlah mencukupi. Adalah sudah baik jika orang dapat menerangkan bahwa jika besi di panaskan akan mengembang. Akan tetapi keterangan ini belumlah merupakan suatu konsep yang cukup tinggi tarafnya sebelum orang dapat menghubungkan berapa besar pengembangannya pada derajat-derajat panas tertentu. Oleh sebab itu di perlukan sekali konsep-konsep yang lebih tinggi tarafnya, yaitu hukum-hukum atau dalil-dalil alam sehingga atas dasar itu semua orang dapat memberikan ramalannya dengan teliti tentang kejadian-kejadian yang makin banyak macam ragamnya. Jadi misalnya, jika sepotong besi yang besarnya sekian dipanaskan sekian derajad Celsius akan mengembang sekian, maka orang dapat meramalkan jika sepotong rel kereta api yang besarnya sekian dipasang pada pagi hari pada suhu sekian akan mengembang sekian pada siang hari yang panasnya sekian derajad C.

Tugas kontrole atau tugas mengadakan control. Ilmu pengetahuan tidak hanya bertugas membeberkan kejadian-kejadian dan menyediakan hukum-hukum atau dalil untuk meramalkan kejadian-kejadian dimasa depan, tetapi juga bertugas mengontrol kejadian-kejadian yang makin banyak jumlahnya. Yang dimaksud dengan mengontrol atau mengendalikan adalah mempermainkan kondisi-kondisi untuk menimbulkan kejadian-kejadian yang diinginkan dan mencegah timbulnya kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Misalnya saja, seorang dokter mengetahui bahwa jika pancreas tidak bekerja maka sekresi insuline dalam badan menjadi terhambat sehingga badan tidak dapat menggunakan karbohidrat sebagaimana mestinya. Jikalau insuline seseorang tidak bekerja dokter dapat meramalkan bahwa orang itu menderita diabetes. Selanjutnya dapatlah ia mengendalikan penyakit diabetes itu dengan mempermainkan (memanipulir) kondisi-kondisi, yaitu memberikan suntikan insuline kedalam badan penderita sehingga penggunaan karbohidrat dalam badan penderita menjadi berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu bagi seorang dokter yang baik tidaklah cukup hanya mengetahui bagaimana kerja pancreas, bagaimana hukumnya jika kelenjar itu tidak bekerja, dan penyakit yang timbul karena itu.  Ia harus tahu juga dengan betul apa akibat-akibat lebih lanjut dari penyakit itu dan bagaimana mengontrol kondisi-kondisi yang memungkinkan penyakit yang ditimbulkannya dapat dibatasi dan diatasi. Tugas-tugas itu dalam terminologi kedokteran dikenal sebagai tugas-tugas diagnosa, prognosa, dan therapi.

Tiga jenis tugas ilmu pengetahuan itu berlaku hampir dalam semua bidang, tidak hanya dalam bidang kedokteran. Dalam bidang ekonomi gejala harga telah diterangkan antara lain dari hukum besi "perimbangan penawaran dan permintaan". Dari hukum ini orang dapat meramalkan misalnya jika penawaran sedikit dan permintaan banyak, maka harga akan naik. Dengan memperhebat produksi orang dapat mengontrol meningkatnya harga-harga. Dalam bidang psychologi orang mengetahui bahwa ada hubungan yang searah (korelasi yang positiv) antara kemampuan dan prestasi. Dari ini orang dapat meramalkan bahwa orang yang sedikit kemampuannya tidak akan besar prestasinya. Karena itu pekerjaan-pekerjaan yang meminta prestasi yang besar-besar tidak diserahkan kepada orang-orang yang idiot.

Itulah beberapa contoh dari tugas-tugas masing-masing jenis ilmu pengetahuan dalam bidangnya masing-masing. Hampir semua ilmu pengetahuan terpakai meletakkan sebagai tujuannya yang terakhir pada tugas kontrol. Sungguhpun begitu sampai ketujuan yang terakhir itu bukan pekerjaan yang mudah yang dapat diselesaikan satu malam. Banyak para ahli yang pandai meramalkan, tetapi belum mampu mengontrol gejala. Misalnya saja keadaan cuaca, datangnya bintang-bintang komet, dan penyakit kangker. Meramalkan gejala-gejala itu telah dapat dilakukan dengan sukses yang cukup tinggi. Tetapi mengontrolnya hampir-hampir sama sekali belum dapat dilakukan. Malahan dalam beberapa hal meramalkan saja masih dapat dilakukan, misalnya saja gempa bumi. Sungguhpun begitu pada umumnya ilmu pengetahuan telah memberikan banyak dasar-dasar untuk meramalkan dan mengontrol sehingga manusia makin rindu akan perkembangan yang sepesat-pesatnya daripada ilmu pengetahuan.

Demikianlah semoga bermanfaat

Sunday, April 7, 2019

Research dan Esensi Berpikir Ilmiah, Langkah-langkah Esensial Dalam Research dan Aneka Research di Perguruan Tinggi.

Research dapat dipandang sebagai "the repeated search to the unknown". Dalam menjelajahi benua-benua yang belum diketahui ini orang menggunakan pengetahuannya, alat-alat  yang dapat dipercaya, dan tatakerja tertentu yang berencana. Hal yang sama kita jumpai juga dalam proses berfikir yang matang. Mengenal proses berfikir ini kita akan mengenal juga proses-proses esensial dari pada suatu research.

John Dewey telah memberikan garis-garis besar dari apa yang disebut berfikir ilmiah dalam lima taraf, yaitu :
  • The felt need. Dalam taraf permulaan orang merasakan sesuatu kesulitan untuk menyesuaikan alat dengan tujuannya, untuk menemukan ciri-ciri dari sesuatu obyek, atau untuk menerangkan sesuatu kejadian yang yang tak terduga-duga.
  • The problem. Menyadari persoalan atau masalahnya seorang pemikir ilmiah dalam langkah selanjutnya berusaha menegaskan persoalan itu dalam bentuk perumusan masalah (problem statement).
  • The hypothesis. Langkah yang ketiga adalah mengajukan kemungkinan  pemecahannya atau mencoba menerangkannya. Ini boleh didasarkan atas terkaan-terkaan, kesimpulan-kesimpulan yang sangat sementara, teori-teori, kesan-kesan umum, atau atas dasar apapun yang masih belum dipandang sebagai konklusi yang final.
  • Collection of data as avidence. Selanjutnya bahan-bahan, informasi-informasi, atau bukti-bukti dikumpulkan dan melalui pengolahan-pengolahan yang logis mulai diuji sesuatu gagasan beserta implikasi-implikasinya.
  • Concluding belief. Bertitik tolak dari bukti-bukti yang sudah diolah sesuatu gagasan yang semula mungkin diterima, mungkin juga ditolak. Dengan jalan analisa yang terkontrol (eksperimental) terhadap hipotesa-hipotesa yan diajukan disusunlah suatu keyakinan sebagai konklusi. 
Kemudian Kelley melengkapi lima taraf berfikir ilmiah Dewey dengan satu taraf lagi, yaitu : 
  • General value of the conclusion. Akhirnya, jika suatu pemecahan telah dipandang tepat, maka disimpulkan implikasi-implikasinya untuk masa depan. Ini biasa disebut refleksi yang bertujuan untuk menilai pemecahan-pemecahan baru dari segi-segi kebutuhan-kebutuhan masa mendatang. Pertanyaan yang ingin dijawab disini adalah "kemudian apa yang harus dilakukan". Ini kerapkali dikemukakan pada taraf yang terakhir dalam suatu pemecahan masalah.

Langkah-langkah Esensial dalam Research

Kini tidak disangsikan lagi bahwa langkah-langkah dalam suatu research ilmiah konfrom sepenuhnya dengan taraf-taraf atau langkah-langkah berfikir ilmiah, ditambah dengan perumusan-perumusan secara tertulis semua aktivita yang telah dikerjakan oleh seorang penyelidik. Memahami langkah-langkah pokok yang umum dipakai berarti mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa-apa yang harus disiapkan untuk menyelenggarakan suatu research. Langkah-langkah esensial dalam suatu research dapat dikemukakan sebagai berikut :
  1. Menetapkan obyek atau pokok persoalan. Tidak ada satu researchpun tanpa obyek. Sebab itu wajar sekali jika menetapkan obyek atau pokok persoalan menjadi langkah yang pertama. Penetapan obyek tidak hanya berarti memberi isi dan meletakkan arah untuk kegiatan-kegiatan dalam penyelenggaraan sesuatu research, tetapi yang tidak kurang pentingnya adalah dalam banyak hal obyek mendiktekan metodologi tertentu yang khususnya dipandang paling cocok untuk memecahkan masalah.
  2. Membatasi obyek atau pokok persoalan. Sekali suatu pokok persoalan telah ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah membatasi luasnya dan memberikan formulasi-formulasi yang tegas terhadap pokok persoalan itu. Bagi penyelidik sendiri penegasan batas-batas ini akan menjadi pedoman kerja, dan bagi orang lain kepada siapa laporan research itu hendak disajikan atau diserahkan, penegasan selalu berfungsi mencegah kemungkinan timbulnya kericuan pengertian dan kekaburan wilayah persoalannya.
  3. Mengumpulkan data atau informasi. Hanya data atau informasi yang sehubungan dengan segi-segi tertentu dari pokok persoalannya yang perlu dikumpulkan. Suatu research bukanlah aktivita yang insidental dan trial and error dengan jalan mengumpulkan apa saja yang dijumpai secara kebetulan, melainkan suatu kegiatan yang terarah (purposeful), dengan sengaja mencari bahan-bahan yang umumnya telah ditentukan lebih dahulu dalam program research. Dengan begitu semua aktivita dalam suatu research dapat berjalan dengan terpimpin dan terselenggara secara efektiv dan efisient.
  4. Mengolah data dan menarik kesimpulan. Mengolah berarti menyaring dan mengatur data atau informasi yang sudah masak. Jika maksudnya yang semula research akan dilanjutkan ketaraf inferensial, maka penganalisaan, penginterpretasian, dan penarikan kesimpulan harus melengkapi taraf pengolahan ini.
  5. Merumuskan dan melaporkan hasilnya. Merumuskan adalah suatu pekerjaan yang tersendiri yang meminta cukup curahan tenaga dan kecakapan. Karena ilmu pengetahuan pada umumnya adalah milik bersama, maka jika tidak ada ketentuan lain biasanya hasil-hasil penyelidikan dilaporkan kepada publik untuk mereka gunakan atau mereka uji kembali kebenarannya.
  6. Mengemukakan implikasi-implikasi penyelidikan. Jika suatu research dipersiapkan untuk suatu thesis, atau disertasi, suatu keharusan yang mutlak untuk mengetengahkan implikasi-implikasi hasil penyelidikan sam sekali tidak dapat dihindari. Dalam implikasi ini  disebutkan konsekwensi-konsekwensi terpenting dari hasil penyelidikan dan rekomendasi-rekomendasi untuk aktivita-aktivita di kemudian hari dalam hubungan dengan hasil-hasil itu. Ini khususnya sangat penting artinya bagi research terpakai yang hasilnya dalam waktu yang sangat dekat akan digunakan dalam praktek. Tentu keadaannya lain jika suatu research hanya diperuntukkan penulisan suatu termpaper atau field study, hal mana dapat kita fahami dari uraian-uraian berikut.

Aneka Research di Perguruan Tinggi

Dalam studynya di perguruan tinggi seorang mahasiswa mungkin diminta menyelenggarakan suatu research untuk : Term paper. Field study. Thesis dan Disertasi.

Term Paper

Ada macam-macam nama yang digunakan untuk menyebut term paper, misalnya saja "report of  reading", "naskah semester", "naskah pembahasan", dan semacamnya. Adapun ciri-ciri paper atau naskah ini adalah :
  1. Ditulis untuk memenuhi sebagian dari sarat-sarat menyelesaikan satu mata pelajaran.
  2. Melaporkan apa yang sudah dan dapat diketahui oleh mahasiswa, tidak meminta penemuan-penemuan pengetahuan yang belum tersedia.
  3. Harus diselesaikan dalam waktu yang sangat terbatas dan ditulis menurut tata-tulis yang telah ditetapkan.
  4. Sungguhpun tidak diharapkan suatu pembahasan yang cukup mendalam, namun tidak boleh merupakan kumpulan dari serangkaian kutipan yang mentah dari artikel-artikel atau buku-buku yang ditunjukkan. 
Untuk menyelesaikan suatu term paper biasanya tidak diminta lebih dari suatu library research, suatu research kepustakaan. Judul atau pokok permasalahnnya mungkin diberikan oleh dosen, mungkin diminta memilih dari suatu daftar tofik, dan mugkin juga dapat dipilih sendiri oleh mahasiswa. Semuanya masih dalam lingkungan wilayah mata pelajaran yang bersangkutan. Maksud dari tugas membuat term paper pada umumnya ada empat macam yaitu :
  • Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menguasai lebih mendalam matapelajaran yang bersangkutan.
  • Memberi kesempatan untuk memperluas cakrawala pandangan mahasiswa tentang matapelajarannya.
  • Memberi kesempatan kepada dosen untuk menilai kemampuan mahasiswa dalam mengumpulkan, mengatur, dan melaporkan bahan-bahan study dalam tata-susunan yang logis.
  • Menjadi sebagian dari dasar-dasar pemberian nilai dalam matapelajaran yang bersangkutan.

Field Study

Field study berbeda dengan term paper dalam tiga hal yaitu :
  1. Field study tidak ditulis untuk memenuhi salah satu sarat dari sesuatu matapelajaran, melainkan jauh lebih luas, mengenai banyak hal tentang aspek-aspek spesialisasi, meliputi beberapa matapelajaran.
  2. Field study tidak didasarkan atas library research, melainkan atas field research, research yang dilakukan di kancah atau dimedan terjadinya gejala-gejala.
  3. Field study ditulis dalam bentuk laporan akademik.
Tujuan umum dari suatu field study adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mempersiapkan diri menghadapi persoalan-persoalan yang konkrit dalam lapangan studinya, hal mana sangat diperlukan bagi jabatannya dimasa mendatang. Persiapan ini lebih dititik-beratkan pada segi formal daripada segi materialnya. Sebab yang dipentingkan dalam field study bukanlah sumbangan penemuan baru dalam lapangannya, melainkan bagaimana mahasiswa meng-approach sesuatu persoalan konkrit. Sudah tentu diharapkan mahasiswa lebih banyak berdiri sendiri dalam pekerjaannya daripada meminta pertolongan dan nasehat-nasehat dari pembimbing, konsultan, atau sponsornya. Secara metodologik dia harus mampu mendemonstrasikan cara-cara yang tepat dalam pengumpulan data, penganalisaannya, dan penarikan kesimpulannya. Cara-cara mengutip pendapat dan mendokumentasikan kepustakaan, semuanya harus dilakukan dengan setertib-tertibnya.


Thesis

Thesis merupakan hasil resereach yang lebih tinggi lagi tarafnya. Sama halnya dengan field study, thesis harus diselenggarakan secara tertib dan cermat dalam segi metodologik. Akan tetapi lebih daripada field study, thesis meminta sumbangan material, yaitu penemuan-penemuan baru dalam segi tata-kerja, dalil-dalil, atau tata-tata hukum tertentu tentang salah satu aspek (atau lebih) dalam lapangan spesialisasinya.

Albaugh dalam bukunya Thesis Writing masih melihat beberapa perbedaan lagi antara thesis dengan field study dan term paper.
  1. Term paper dan field study biasanya hanya terbaca oleh beberapa orang saja, dia sendiri, dosen atau dosen-dosennya, dan beberapa temannya. Umumnya term paper dan field study menjadi milik mahasiswa setelah diperiksa oleh dosen. Karena itu sekali sudah selesai, naskahnya segera dilupakan orang. Sebaliknya suatu thesis sekali sudah disiapkan, diketik, dan diserahkan kepada Fakultas (Departemen atau Akademi) akan tetap menjadi milik daripada perpustakaan Fakultas atau Universitas. Sebagai perbendaharaan Fakultas atau Universitas maka thesis dapat dilihat dan dibaca oleh tiap-tiap orang yang memerlukannya. Sepanjang belum ada kenyataan-kenyataan atau bukti-bukti lain yang menyangkal kebenaran penemuan-penemuan yang dikemukakan dalam thesis, maka pendapat-pendapat itu masih dipandang benar. Karena itu penulis suatu thesis harus sangat berhati-hati, bukan saja oleh karena thesa-thesa yang dikemukakan olehnya dipandang sebagai kebenaran dan dijadikan dasar-dasar deduksi, tetapi juga karena thesis merupakan monument abadi dari segi mana penyusunnya dapat menunjukkan kecakapannya atau ketidak-mampuannya.
  2. Dari suatu thesis biasanya dibuat abstracts. Tidak demikian halnya dengan paper. Abstracts ini ditertibkan oleh Fakultas atau Universitas yang memberikan gelar, dan disebarkan secara luas. Dengan begitu penemuan-penemuan dari suatu thesis akan menjadi milik umum dan bersamaan dengan itu tersebar juga nama baik atau nama buruk dari penulisnya keluar kampusnya. 

Desertasi

Thesis dipersiapkan untuk memenuhi sebahagian dari sarat-sarat untuk memperoleh gelar Sarjana, Doctorandus, Master of Arts, Master of Science, atau gelar-gelar lain yang sederajat. Disertasi dipersiapkan untuk mencapai puncak dari suatu gelar perguruan tinggi: Doktor (DR) atau Phylosophical Doctor (Ph.D).

Tidak banyak perbedaan antara thesis dan disertasi, kecuali dalam intensita dan ekstensi pokok persoalan yang dijadikan titik pusat resereachnya. Disertasi sudah terang harus lebih luas, lebih mendalam dan terperas (exhausted). Konklusinya harus mempunyai kemungkinan generalisasi yang lebih luas daripada thesis. Atas dasar pengetahuan-pengetahuan spesialisasinya seorang penyusun desertasi (disebut promovendus) harus mampu bekerja sendiri sepenuhnya.

Research dan Tujuannya, Jenis-jenis Research dan Perkembangan Metodologi Research.

Suatu research, khususnya dalam ilmu-ilmu pengetahuan empirik, pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam apa yang sudah ada; sedang menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih atau menjadi diragu-ragukan kebenarannya. Research yang bertujuan menemukan problematik-problematik baru biasa disebut research eksplorativ. Research yang khususnya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan yang sudah  ada dinamakan research perkembangan (developmental research). Sedang research yang ditujukan untuk menguji kebenaran suatu pengetahuan disebut research vervikativ.

Suatu research mungkin dilakukan hanya sampai pada taraf deskriptiv, mungkin juga sampai pada taraf inferensial. Pada taraf deskriptiv orang hanya semata-mata melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya tanpa suatu maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum. Sebaliknya dalam research yang dilakukan sampai taraf inferensial yang tidak hanya berhenti pada taraf melukiskan, melainkan dengan keyakinan tertentu mengambil kesimpulan-kesimpulan umum dari bahan-bahan tentang obyek persoalannya. Kesimpulan-kesimpulan senacam inilah yang nantinya diharapkan dapat dijadikan dasar-dasar deduksi untuk menghadapi persoalan-persoalan khusus atau tindakan-tindakan praktis tentang kejadian-kejadian tertentu.

Jenis-jenis Research

Penggolongan jenis-jenis research sangat tergantung kepada pedoman dari segi mana penggolongan itu ditinjau. keseragaman dasar tinjauan penggolongan belumlah tercapai. Namun secara umum dapatlah dicatat jenis-jenis penggolongan sebagai berikut :
  • Penggolongan menurut bidangnya: research pendidikan, research sejarah, research bahasa, research ilmu teknik, research biologi, research ekonomi, dsb.
  • Penggolongan menurut tempatnya: research laboratorium, research perpustakaan, dan research kancah.
  • Penggolongan menurut pemakaiannya : research murni (pure research) dan research terpakai (appiled research).
  • Penggolongan menurut tujuan umumnya: research eksplorativ, research develomental, dan research verivikativ.
  • Penggolongan menurut tarafnya: research deskriptiv dan research inferensial.
  • Penggolongan menurut approachnya: research longitudinal dan research cross-sectional.
Kecuali yang disebutkan itu masih ada beberapa jenis penggolongan lainnya yang tidak sangat perlu untuk disebutkan satu demi satu. Hanya satu catatan perlu dikemukakan, yaitu bahwa oleh karena banyak sekali overlapping antara penggolongan yang satu dengan penggolongan lainnya, maka dasar-dasar penggolongan seperti disebutkan diatas tidak selalu dapat diikuti oleh semua orang. Misalnya saja deskriptiv dan inferensial, oleh beberapa orang mungkin disebut tujuan, bukan taraf. Hal semacam itu hendaknya tidak dipandang sebagai suatu kesalahan, melainkan sebagai suatu kewajaran karena dasar-dasar pengertian penggolongan yang memang lain.

Perkembangan Metodologi Research

Sesuai dengan tujuannya, research dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Pelajaran yang memperbincangkan metode-metode ilmiah untuk research disebut metodologi research.

Metodologi research sebagaimana kita kenal sekarang memberikan garis-garis yang sangat cermat dan mengajukan sarat-sarat yang sangat keras. Maksudnya adalah untuk menjaga agar pengetahuan yang dicapai dari sesuatu research dapat mempunyai harga ilmiah yang setinggi-tingginya. 

Proses untuk mencapai taraf seperti sekarang ini telah memakan waktu yang sangat panjang dan melewati beberapa tingkatan. Rummel menggolong-golongkan taraf-taraf perkembangan metodologi research kedalam empat periode yaitu:
  1. Periode trial and error,
  2. Periode authority and tradition,
  3. Periode speculation and argumentation,
  4. Periode hypothesis and experimentation.
Dalam periode trial and error, dalam mana ilmu pengetahuan masih dalam keadaan embrional, orang tidak menggunakan dalil-dalil deduksi yang logis sebagaimana diperlukan untuk menyusun suatu ilmu pengetahuan. Sebaliknya, orang mencoba sekali lagi sampai dijumpai suatu pemecahan yang dipandang memuaskan.

Kebanyakan problematikanya sendiri tidak dibatasi dengan jelas. Tata kerja dan cara-cara pemecahannya masih dicari-cari sambil berjalan. Dan observasi-observasi yang dilakukan sifatnya sangat sederhana dan kwalitativ. Kemajuan setapak demi setapak secara pasti belum ditentukan sebelumnya. Jika ada rencana yang pasti, rencana itu adalah mencoba dan mencoba lagi.

Dalam periode yang kedua, periode authority and tradition, pendapat-pendapat dari "pemimpin-pemimpin" dimasa yang lampau selalu dikutip kembali. Pendapat-pendapat itu dijadikan doktrin yang harus diikuti dengan tertib tanpa sesuatu kritik. Tidak jarang pendapat-pendapat itu tidak benar atau picik. Namun karena dikemukakan oleh pemimpin dan diucapkan dengan penuh keyakinan dan semangat maka orang "awam" harus menganggap pendapat itu sebagai kebenaran. "The Master always says the truth". Karena itu jika ada ketidakcocokan antara kenyataan atau fikiran seseorang dengan pendapat sang pemimpin, maka kenyataan itu harus disulap, dan fikiran itu harus difikirkan kembali. Salah satu contohnya adalah lahirnya Dunia COPERNICUS pada tahun 1543. Disekitar abad XVI kaum cerdik pandai di Eropa adalah orang-orang Yesuit, dan mereka itu tidak merasa senang dengan ilmu-ilmu pengetahuan baru yang tidak bersumber pada mereka. Ketika Dunia COPERNIUS yaitu teori bahwa dunia bukanlah pusat dari alam semesta, melainkan hanya suatu satelit saja dari matahari diterbitkan, dengan serta merta kaumYesuit yang menjadi penguasa (authority) pada waktu itu menolak dengan keras. Menurut ajaran kaum Yesuit, dunia adalah pusat dari alam semesta, Sorga dan disekitarnya, dan bintang-bintang adalah sinar-sinar kerokhanian. Namun dengan dipelopori oleh ketabahan dan keuletan dari GALILEO, dan dilanjutkan oleh KEPLER, DRAHE, NEWTON, LAPLACE, dan lain-lain ahli perbintangan maka akhirnya terputuslah belenggu rantai baja yang menahan kemajuan ilmu pengetahuan dalam berabad-abad. Para cerdik pandai menjadi percaya akan kebenaran dari sistim COPERNICUS.

Tradisi dalam kehidupan manusia memang memegang peranan yang sangat penting. Sampai-sampai pada saat sekarang pun masih banyak "kenyataan" yang bersumber pada tradisi. Para petani, yang menerangkan bahwa ia menggilir tanamannya secara teratur dari musim ke musim karena nenek moyang mereka berbuat begitu, menunjukkan betapa tradisi telah menguasai cara berfikir dan cara kerja orang sampai bilangan abad lamanya. Sudah tentu tidak semua tradisi adalah salah. Akan tetapi mempercayai tradisi karena tradisi dan mempercayai tradisi karena menyadari kebenarannya adalah tingkat kepercayaan yang berbeda secara kwalitativ.

Dalam periode ketiga, yaitu periode speculation and argumentation, doktrin-doktrin yang disodorkan dengan penuh semangat dan keyakinan oleh tokoh-tokoh penguasa mulai diragu-ragukan. Dengan senjata ketajaman dialektika dan ketangkasan bicara orang mulai berkelompok-kelompok mengadakan diskusi dan debat untuk mencari kebenaran. Spekulasi dilawan dengan spekulasi. Dan argumentasi dilawan dengan argumentasi. Kita catat misalnya betapa teori DARWIN tentang natural selection dan the survival of the fittest menimbulkan argumentasi yang sangat tajam dan berlarut-larut dengan masing-masing pihak mengajukan alasan-alasan yang berbeda-beda.

Perkembangan ilmu pengetahuan pada taraf ini sangat menderita karena orang terlalu mendewakan akal dan ketangkasan lidahnya, seolah-olah satu-satunya kebenaran adalah apa yang dapat dicapai oleh akal (fikir) dan ucapan semata-mata, sama sekali dapat dilepaskan dari kenyataannya. Ini sangat berbeda dengan periode berikutnya dalam mana orang mulai memberi tempat sepatutnya kepada empiri dan memadukan jalan-jalan berfikir yang deduktiv dan induktiv.

Dengan dasar fikiran bahwa semua peristiwa dalam alam semesta ini dikuasai oleh tata-tata dan mengikuti pola-pola tertentu, dalam periode yang keempat, yaitu periode hypothesis and experimentation, orang mulai berusaha sekeras-kerasnya untuk mencari rangkaian tata-tata itu untuk menerangkan sesuatu kejadian. Mula-mula orang menggunakan ketajaman fikirannya untuk membuat dugaan-dugaan (hipotesa-hipotesa). Kemudian ia mengumpulkan fakta-fakta. Dan dari fakta-fakta itu ditariknya kesimpulan-kesimpulan umum yang menguasai fakta-fakta itu. Sudah dapat dipastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan itu tidak selalu cocok dengan dugaan-dugaan semula. Analisa dilakukan dengan sangat hati-hati, cermat, dan tajam terhadap fakta-fakta yang diperoleh dari eksperimentasi, dokumen-dokumen sejarah, observasi-observasi biasa, dsb. Umumnya orang menggunakan alat-alat pengukuran yang teliti, mempermainkan simbol-simbol yang dapat diperlakukan secara matematik. Dan dengan konsepsi-konsepsi yang matang dicobanya menginterpertasi dan menarik konklusi-konklusi yang cermat. Sarat-sarat yang biasanya diajukan adalah :
  1. Penyelidik harus kompoten dalam arti secara teknik menguasai dan mampu menyelenggarakan research secara ilmiah.
  2. Penyelidik harus obyektif dalam arti tidak mencampuradukkan antara pendapat sendiri dan kenyataan.
  3. Penyelidik harus jujur dalam arti mengendalikan diri untuk tidak menyelundupkan keinginan-keinginan sendiri kedalam fakta-fakta.
  4. Penyelidik harus factual dalam arti tidak bekerja tanpa fakta-fakta.
  5. Dan penyelidik harus terbuka dalam arti bersedia memberikan bukti-bukti atau memberi kesempatan kepada orang lain untuk menguji kebenaran daripada proses dan atau hasil penyelidikannya. 
Periodisasi perkembangan  metodologi seperti yang dikemukakan diatas belumlah merata di semua negara. Bahkan di satu negarapun perkembangan yang tegas terpisah taraf-tarafnya tanpa overlapping tidak dengan mudah dapat diamati. Keadaan semacam itu dapat difahami karena perkembangan tidak selalu berjalan secara serempak di semua tempat.
  


  

Saturday, April 6, 2019

Manusia dan Masalahnya


Dalam hidupnya manusia selalu menghadapi masalah-masalah. Jarang sekali orang dapat melewatkan waktunya barang sehari tanpa menghadapi sesuatu masalah, besar atau kecil. Banyak masalah-masalah yang dihadapi di waktu-waktu yang silam timbul lagi pada waktu sekarang dan masalah yang sejenis dapat diharapkan akan muncul kembali di masa-masa mendatang.

Orang yang mempunyai banyak pengalaman umumnya dapat memecahkan masalahnya lebih gampang dari pada orang yang sedikit pengalamannya. Pengalaman memang merupakan pengetahuan yang sangat berharga bagi hidup manusia sehari-hari, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya, baik dalam lapangan social, politik, maupun ekonomi, dan lain-lainnya.

Pengalaman orang pada galibnya sangatlah terbatas, baik jenisnya maupun banyaknya. Sungguhpun begitu orang dapat mengisi kekurangannya, dapat memperluas cakrawala pengalamnnya dengan pengalaman-pengalaman orang lain sehingga pengetahuannya menjadi makin luas adanya.

Apa yang disebut ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lain adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang yang dipadukan secara harmonik dalam suatu bangunan yang teratur. Orang dapat mengambil manfaat  sebesar-besarnya dari ilmu pengetahuan justru oleh karena ilmu pengetahuan disusun dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan yang sudah diuji kebenarannya. Dengan dilepaskannya unsur-unsur yang unik, yang sangat khusus, ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang mempunyai nilai yang umum, dan oleh karena persoalan-persoalan yang dihadapi manusia kerapkali mempunyai garis-garis yang umum, maka sumbangan ilmu pengetahuan untuk memecahkan persoalan-persoalan hidup sehari-hari tak dapat diperkirakan harganya.

Kesulitan-kesulitan dalam mengahadpi suatu masalah pada pokoknya bersumber pada dua sebab. Pertama, orang kurang tahu caranya memecahkan masalah itu. Kedua, orang kekurangan fakta-fakta yang sehubungan dengan masalah itu. Yang pertama disebut kekurangan formal atau metodologik, sedang yang kedua disebut kekurangan material.

Ada dua cara yang umum ditempuh untuk memikirkan pemecahan sesuatu masalah, yaitu :
  • Cara berfikir analitik,
  • Cara berfikir sintetik.

Dalam cara berfikir analitik orang berangkat dari dasar-dasar pengetahuan yang umum, dari proposisi-proposisi yang berlaku secara umum, dan meneliti persoalan-persoalan khusus dari segi dasar-dasar pengetahuan yang umum itu. Kesimpulan ditarik secara deduktiv. Pembuktian kebenarannya bersifat a priori. Dalam cara berfikir sintetik orang berlandasan pada pengetahuan-pengetahuan yang khusus, fakta-fakta yang unik, dan merangkaikan fakta-fakta yang khusus itu menjadi suatu pemecahan yang bersifat umum. Konklusi yang ditarik dari cara berfikir semacam ini menempuh jalan induktiv. Pembuktian kebenarannya bersifat a posteriori.

Salah satu sarat penting agar diperoleh kesimpulan yang benar dengan cara berfikir yang analitik adalah bahwa dasar deduksinya harus benar. Jika dasar deduksinya sendiri sudah salah, maka kesimpulannya pada umumnya akan salah juga. Oleh sebab itu penting sekali untuk memperoleh dasar-dasar deduksi yang benar sebelum menggunakannya sebagai landasan penarikan kesimpulan. Menyediakan dasar-dasar deduksi yang benar inilah salah satu tugas research ilmiah dalam segala bidang.

Menyusun dasar-dasar deduksi yang umumnya berwujud dalil-dalil, hukum-hukum, atau tata-tata (rules) bukanlah pekerjaan yang mudah. Orang tidak hanya perlu bersikap tekun, teliti, dan cermat dalam mengumpulkan fakta-fakta, tetapi harus juga cerdas, tajam, dan obyektif dalam menganalisa, menginterpertasi dan menarik kesimpulan dari fakta-fakta yang dikumpulkan itu. Kerapkali observasi yang berulang-ulang harus dilakukan sebelum suatu analisa dilakukan.

Tidak jarang observasi yang berulang-ulang sukar dilakukan, sehingga orang harus mengadakan observasi terhadap kejadian-kejadian sejenis yang cukup banyak jumlahnya. Semuanya dimaksudkan agar kesimpulan-kesimpulan tidak diambil secara gegabah. Kecuali itu perlu disadari juga bahwa terutama dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial apa yang disebut “kepastian” hamper-hampir tidak pernah dicapai, melainkan hanya dapat didekati. Gejala-gejala sosial, betapapun kita menyebutnya sejenis, sangat jarang menunjukkan titik-titik persamaan dalam keseluruhannya. Oleh sebab itu dalam suatu kesimpulan dari penyelidikan induktiv tentang gejala-gejala sosial pada umumnya dikemukakan juga besar-kecilnya (biasanya dinyatakan dalam prosentase) peristiwa atau kejadian yang tidak mengikuti garis-garis umum atau titik-titik persamaan itu. Maksudnya adalah agar setiap orang yang menggunakan kesimpulan yang umum itu dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang khusus dapat menentukan besar kecilnya kepercayaan yang dapat diletakkan pada kesimpulan itu sebagai dasar deduksi.