Thursday, November 30, 2017

Biografi Singkat KH. Ahmad Dahlan



Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat alim, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (Puteri H. Ibrahim, Hoofd/penghulu Yogyakarta). Tak ada yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka  di antara Walisongo, serta dikenal pula sebagai pelopor pertama penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Silsilah KH. Ahmad Dahlan: Muhammad Darwisy adalah putra KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.

Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1838), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang stasis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis.

Pada usia 20 tahun (1888 M), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dai Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, Saudara sepupunya sendiri, anak Kiai penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kiai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendiri Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan tantangan dan perlawanan baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya, bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bias mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 27 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi.

Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri, telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah.

Sebagai seorang demokrat dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan wafat di Karang Kuncwn, Yogyakarta. Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan maka Negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961. Dasar-dasar penetapan itu adalah sebagai berikut:

  1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
  2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar Iman dan Islam.
  3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
  4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

Kisah hidup dan perjuangan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah diangkat ke layar lebar dengan judul “Sang Pencerah”. Tidak hanya  menceritakan tentang sejarah  kisah KH. Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotism anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman  agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional.
  

Wednesday, November 29, 2017

Biografi Singkat KH. Hasyim Asy'ary



Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Muhammad Hasyim itulah nama kecil beliau, lahir di Pondok Gedang Diwek Jombang, Jawa pada hari Selasa tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Ketika dalam kandungan dan kelahiran KH. M. Hasyim Asy’ari, telah tampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. Di antaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

Hasyim Asy’ari ketika berusia 15 tahun, mulai mengembara untuk menuntut ilmu, belajar kepondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan Tuban, kemudian Bangkalan Madura, di bawah bimbingan Kiai Muahammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhona Khalil).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M). akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, di bawah bimbingan K.H Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan sharafnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M, Kiai Hasyim yang saat itu berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putrid Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Di samping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis Rasulullah Saw yang telah menjadi kegemarannya sejak di tanah air.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih dating silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari ditanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. Empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai orang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Di samping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, di tempat ini, beliau berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah Saw di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau.

Ulama-ulama besar tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam Ilmu Bahasa dan Syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam Ilmu Hadis), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minangkabawi (dalam segala bidang keilmuan).

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Sepulang dari tanah suci sekitar tahun 1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri. Beliau pertama kali mengajar di Pesantren Gedang Diwek Jombang yang diasuh oleh mendiang kakeknya, sekaligus tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Di sinilah beliau sempat menikahi salah seorang putrid Kiai Sholeh Banjar Melati. Karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangannya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya. Segala kesulitan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat di atasi.

KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan Kitab Shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci Ramadhan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh Jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang. Pada awalnya, santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang. Banyak alumni Pondok Tebuireng yang sukse menjadi ulama besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi Negara. Kini Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

Di samping aktif mengajar, beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat yang lokal maupun nasional. Pada tanggal 16 Sya’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa didirikanlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama-ulama besar lainnya, dengan azas dan tujuannya: “ Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’I, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi Rais Akbar NU, sebuah gelar yang hingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun Qanun Asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan paham Ahli Sunnah wal-Jama’ah.

Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang social dan kebangsaan: Beliau terlibat  secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah Belanda. Pada tahun 1937, beliau didatangi pimpinan pemerintah Belanda dengan memberikan Bintang Mas dan Perak tanda kehormatan, tetapi beliau menolaknya.

Masa-masa Revolusi fisik di Tahun 1940, barangkali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisime Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau cacat. Tetapi, justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan “tinta emas” pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara Republik Indonesia, yaitu dengan menyerukan “Resolusi Jihad”, beliau memfatwakan “Jihad” Pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya, saat ini, peristiwa itu dikenal dengan “Hari Pahlawan Nasional”.

Jasa KH. Hasyim Asy’ari tentang resolusi jihad, yang dikenal dengan hari pahlawan ini, telah diangkat ke layar lebar denga judul “Sang Kiayi”

KH. M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03,00 pagi. Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H, dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.


Friday, November 24, 2017

Pengertian Gadai, Hukum, Rukun, Syarat dan Memanfaatkan Barang yang DIgadaikan.



Pengertian Gadai


Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan Rahn. Kata rahn itu sendiri secara bahasa berarti tanggung jawab, sebagaimana yang difirmankan Allah Swt:

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya” (QS Al-Mudatsir: 38)

Demikian juga sabda Rasulullah Saw, “Jiwa seorang mukmin itu tergantung pada hutangnya sehingga dilunasi.” HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, Hakim. Hakim mengatakan, dengan syarat Bukhari dan Muslim.

Sedangkan menurut syari’at. Rahn berarti menilai suatu barang dengan harta tertentu atas suatu hutang, yang dimungkinkan pembayaran hutang itu dengan mengambil sebagian dari barang tersebut.

Hukum Gadai

Sebagaimana halnya dengan jual beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh juga digadaikan. Dalil yang melandasinya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Al-Sunnah dan Ijma’.
Allah Swt berfirman:

“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Baqarah: 283)

Ayat tersebut di atas bermakna bahwa Allah Swt memerintahkan orang yang melakukan suatu transaksi dengan orang lain, sedang bersamanya tidak ada juru tulis, maka hendaklah dia memberikan suatu barang sebagai jaminan (gadai) kepada orang yang memberikan hutang kepadanya supaya merasa tenang dalam melepaskan uangnya tersebut. Selanjutnya hendaklah peminjam menjaga uang atau barang-barang hutangan itu agar tidak hilang atau dihamburkan tanpa ada manfaat.

Sedangkan dalam hadits lain disebutkan:
“Nabi Saw pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi, (bernama Abu Syahm) dengan tiga puluh sha’ gandum untuk keluarganya.” HR. Bukhori dan Muslim
Dalam hadits di atas terdapat pengertian yang membolehkan mu’amalah dengan ahlul kitab. Dan para ulama telah melakukan ijma’ yang membolehkan gadai.

Rukun Gadai

Gadai mempunyai tiga rukun, yaitu:

Pertama, akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pemilik uang dengan orang yang berhutang yang menyerahkan suatu jaminan atas pinjamannya.

Kedua, ada objek (barang) yang digadai, yaitu pinjaman dan barang yang digadaikan.

Ketiga, shighat.

Menurut para penganut Imam Hanafi, suatu gadai mempunyai satu rukun, yaitu ijab dan qabul, karena keduanya itulah yang merupakan akad sebenarnya.

Syarat Gadai

Dalam gadai ada beberapa syarat, yaitu:
  1. Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai adalah orang yang boleh melakukan transaksi jual beli.
  2. Bukan orang gila dan anak-anak.
Menurut Imam Syafi’I, syarat-syarat gadai terbagi menjadi dua bagian:

Pertama, syarat yang menjadi keharusan, yaitu penyerahan barang yang digadaikan. Dengan demikian, jika seseorang menggadaikan sebuah rumah, lalu dia tidak menyerahkannya, maka akad tersebut batal karenanya.

Dan jika barang yang digadaikan itu sudah berada ditangan orang yang memberikan pinjaman sebelum akad dilaksanakan, baik karena disewa, dipinjam, ghashab, atau yang lainnya, berarti barang tersebut telah berada di tangannya setelah dilaksanakan akad.

Dengan demikian, syarat sahnya penarikan barang gadai adalah penggadai itu sendiri.

Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan sahnya gadai, yaitu terdiri dari beberapa macam:
  1. Yang berkaitan dengan akad, yaitu tidak tergantung pada suatu syarat yang tidak diperlukan dalam akad ketika menyelesaikan hutang piutang, karena hal itu dapat membatalkan gadai. Dan jika disyaratkan sesuatu yang diperlukan dalam akad, maka yang demikian itu tidak membatalkan akad.
  2. Yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang melaksanakan akad, yaitu yang menyerahkan dan yang menerima gadai. Syarat bagi keduanya adalah baligh dan berakal. Dengan demikian suatu akad tidak boleh dilakukan oleh orang gila, anak-anak atau orang idiot.

 

Memanfaatkan Barang yang Digadaikan

Apakah penggadai atau yang menerima gadai dapat memanfaatkan atau mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan tersebut, baik barang gadai itu berupa tanah, pertanian, rumah maupun hewan.

Menurut para penganut madzhab Imam Malik, hasil dan keuntungan yang diperoleh dari barang gadai merupakan hak penggadai, kecuali jika penerima gadai mensyaratkan lain.
Mengenai yang terakhir, ada tiga syarat, yaitu:

Pertama, hutang piutang itu disebabkan karena jual beli dan bukan karena qiradh. Misalnya, jika seseorang menjual rempah-rempah atau barang dagangan kepada orang lain denga pembayaran di belakang, kemudian karena sebab lain dia menggadaikan suatu barang yang menjadi jaminan pembayarannya.

Kedua, jika penerima gadai mensyaratkan agar keuntungan dari barang itu untuknya, jika penggadai menyetujuinya, maka si penggadai tidak boleh mengambil keuntungan tersebut.

Ketiga, pengambilan keuntungan dari barang gadai oleh si penerima gadai itu harus ditentukan batas waktunya.

Sedangkan menurut penganut madzhab Syafi’I, penggadai adalah pemilik hak untuk memanfaatkan barang gadai itu meskipun barang gadai itu berada di tangan penerima gadai, dan tidak boleh melepaskan diri menggarap barang gadai itu untuk selanjutnya menyerahkan keuntungannya kepada penggadai selama penggarapan tersebut.

Selain itu, penggadai juga boleh memanfaatkan secara keseluruhan barang gadai selama tidak mengurangi nilai barang gadai tersebut, misalnya menempati rumah atau menaiki hewan yang digadaikan tanpa meminta izin kepada pemegang barang gadai. Mengenai hal itu ada sebuah hadits shahih yang berbunyi:
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi lantaran member nafkah, jika ia tergadai.” HR. Abu Dawud.
Tetapi penggadai tidak diperbolehkan mendirikan bangunan di tanah yang digadaikan atau menanam pohon-pohon di dalamnya, jika ia melakukan demikian itu ia tidak boleh merusak atau memotong pohon tersebut sebelum adanya penyelesaian hutang piutang.

Dan setelah adanya penyelesaian hutang piutang, jika bangunan atau pohon itu memperkecil harga tanah itu, maka bangunan dan pohon-pohon tersebut harus dihilangkan.

Bangunan dan pohon-pohon tersebut tidak termasuk dalam barang yang digadaikan, karena keduanya ada setelah pelaksanaan akad.

Menurut para penganut madzhab Abu Hanifah, penggadai tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan tersebut dalam bentuk apapun, kecuali dengan seizing pemegang gadai tersebut.

Dengan demikian itu dia tidak dibenarkan menunggangi binatang tunggangan atau menempati rumah atau menyewakannya, tidak boleh juga mengenakan atau meminjamkan pakaian selama masih digadaikan kecuali dengan izin pemegang gadai. Tidak ada perbedaan dalam hal itu, baik pemanfaatan tersebut mengurangi nilainya atau tidak. Dan jika pemegang gadai telah memberikan izin, maka yang demikian itu dibenarkan. Sebenarnya, semua keuntungan dan apa yang dihasilkan  dari barang gadai tersebut merupakan hak penggadai. Dengan demikian, apa yang dihasilkan dari barang gadai tersebut yang berupa kurma, susu, telur, bulu dan lain sebagainya menjadi hak penggadai.

Sedangkan menurut para penganut madzhab Hambali, barang gadaian baik yang berupa binatang tunggangan atau binatang perahan maupun binatang bukan tunggangan atau perahan. Jika binatang tunggangan atau perahan, maka pemegang gadai boleh memanfaatkannya, baik dengan menungganginya maupun memeras susunya tanpa meminta izin kepada penggadai. Yang demikian itu karena berdasarkan pada kesepakatan di antara keduanya.

Dan jika binatang tersebut bukan tunggangan atau perahan, maka pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadaian kecuali seizin dari penggadai sedara gratis, selama penggadaian barang tersebut bukan karena qiradh. Jika karena qiradh, maka pemegang gadai tidak boleh memanfaatkannya meskipun seizin penggadai.

Demikian juga sebaliknya, tidak diperbolehkan bagi penggadai memanfaatkannya tanpa adanya izin dari pemegang gadai.

Sedangkan hasil dari barang yang digadaikan, baik yang melekat maupun yang terpisah darinya, seperti susu, telur, bulu dan pelepah maupun serabut yang terjatuh dari pohon atau kayu yang dihasilkan dari pohon itu sendiri. Semuanya itu menjadi barang gadaian yang berada di tangan pemegang gadai, wakil atau orang yang ditunjuk untuk memegangnya, maka semuanya ikut dijual bersama barang gadai yang asli. Dan jika hasil-hasil dari barang gadaian itu dapat bertahan lama, maka boleh dijual dan hasil dari penjualan tersebut dijadikan juga sebagai barang gadaian.

Thursday, November 23, 2017

Kerajaan Islam di Sumatera dan Sulawesi



Samudera Pasai

Samudera Pasai diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai, diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya adalah seorang kepala gampong (sebuah system pembagian wilayah administrative di Provinsi Aceh berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati) Samudera bernama Meurah Silu. Setelah menganut agama Islam, ia  berganti nama menjadi  Malik as-Shaleh. Berikut ini merupakan urutan para Raja-Raja yang memerintah di Kesultanan Samudera Pasai: Sultan Malik as-Shaleh (696 H/129 M); Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326); Sultan Mahmud Malik Zahir (1346-1383); Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405); Sultanah Nahrisyah (1405-1412); Abu Zain Malik Zahir (1412); Mahmud Malik Zahir (1513-1524).

 

Kesultanan Aceh Darussalam

Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menantang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dating untuk meminta izin berdagang di Aceh.

Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda. Yang berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh. Tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Minangkabau, Perak, Pahang, dan Kedah (1615-1619).

Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Sultan Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya (Sultan Iskandar Muda), ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri dari pada ekspansi ke luar negeri. Dalam masa pemerintahannya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hokum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.

 

Kerajaan Islam di Sulawesi

Kerajaan-kerajaan Islam muncul di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan antar benua yang berlangsung ketika itu. Beberapa kerajaan Islam di Sulawesi, diantaranya adalah Gowa Tallo, Bone, Wajo, dan Soppeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa Tallo.

Kerajaan Gowa Tallo

Kesultanan Gowa, atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan terbesar dan paling sukse  yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Pada awalnya di daerah Gowa terdapat Sembilan komunitas yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan Kalili.

Sejak Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni  Baabullah mengajak Raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru pada masa Datu Ri Bandang dating ke Kerajaan Gowa Tallo. Agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini. Setahun kemudian, hamper seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk Islam.

Muballiq yang berjasa menyebarkan Islam adalah Abdul Qadir Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau. Kerajaan ini mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Daerah kekuasaan Makassar luas; seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai Raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasanuddin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya, kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian  Sultan hasanuddin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.