Pengertian likuiditas pada
umumnya adalah mengenai posisi uang kas suatu perusahaan dan kemampuannya untuk
memenuhi kewajiban (membayar utang) yang jatuh tempo tepat pada waktunya.
Apabila dikaitkan dengan lembaga bank, berarti kemampuan bank setiap waktu
untuk membayar utang jangka pendeknya apabila tiba-tiba ditagih oleh nasabah
atau pihak-pihak terkait. Jadi, yang dimaksud likuiditas di sini adalah
kemudahan mengubah aset menjadi uang tunai dari masing-masing bank yang
bersangkutan.
Dalam pengelolaan dana, bank akan
mengalami salah satu dari tiga hal di bawah ini :
- Posisi seimbang (Squere), di mana persediaan dana sama dengan kebutuhan dana yang tersedia.
- Posisi lebih (Long), di mana persediaan dana lebih dari kebutuhan dana yang tersedia; dan
- Posisi kurang (short), di mana persediaan dana kurang dari kebutuhan dana.
Dalam kegiatan operasional, bank
dapat mengalami kelebihan atau kekurangan likuiditas. Bila terjadi kelebihan,
maka hal itu di anggap sebagai keuntungan bank. Sedangkan apabila terjadi kekurangan
likuiditas, maka bank memerlukan sarana untuk menutupi kekurangan tersebut.
Mekanisme Pengelolaan Likuiditas di Bank Syariah
Transaksi pembayaran dalam
aktifitas perbankan dilakukan melalui mekanisme kliring, dengan membebankan
rekening giro bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia (BI). Apabila dalam
pelaksanaan, saldo bank menjadi kurang dari Giro Wajib Minimum (GWM), maka bank
atau kantor cabangnya dikenakan kewajiban membayar. Untuk ketentuan mengenai
besarnya, mata uang dan mekanisme GWM bagi bank umum syariah, kini telah ada
pengaturannya tersendiri, yaitu PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib
Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah.
Bagi bank syariah yang mengalami
kekurangan dana dapat menerbitkan sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) yang merupakan sarana penanaman modal
bagi bank syariah maupun bank konvensional. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 PBI
No. 2/8/PBI/2000. Sertifikat IMA adalah satu-satunya peranti yang digunakan
dalam operasional Pasar Uang Antarbank berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS).
Dalam aktivitas PUAS, transaksi
pembayaran juga dilakukan melalui mekanisme kliring dengan membebankan rekening
giro bank syariah yang bersangkutan di Bi. Ketentuan mengenai kliring ini
diatur dalam PBI No. 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari 2000, tentang kliring
bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah bank umum konvensional.
Kliring bagi Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah Bank Umum Konvensional (UUS BUK) dan GWM intinya
mengatur teknis pendukung mekanisme PUAS, misalnya memgenai jumlah rekening
yang harus ada di BI bagi masing-masing BUS maupun UUS BUK dan penanganan saldo
giro negatif untuk kegiatan usaha konvensional dan usaha syariah. Sedangkan
untuk menjaga kestabilan moneter bank syariah peserta PUAS, BI menyerap
kelebihan likuiditas bank-bank syariah melalui penertiban Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang
didasari pada prinsip wadiah (titipan). Untuk mengatasi mismatch (kekurangan arus dana masuk dari arus dana keluar) pada
aktivitas bank syariah kesehariaannya dapat di atasi dengan melalui Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek bagi bank syariah (FPJPS).
No comments:
Post a Comment