Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm, sebagai bentuk verbal-noun
dari bahasa Arab dengan akar kata ‘alima
– ya’lamu – ‘ilman, yang berarti ‘mendapatkan atau mengetahui sesuatu
dengan jelas’ atau “menjangkau sesuatu dengan keadaannya yang sebenarnya. “Ia
berasal dari akar kata dengan huruf-huruf ‘a,
l, m, yang berarti “asarun bi
al-syai’ yatamayyazu bihi ‘an gairihi,” (keunggulan yang menjadikan sesuatu
berbeda dengan yang lainnya, atau sesuatu yang jelas”, bekas hati, pikiran,
pekerjaan, tingkah laku, dan karya-karya) sehingga sesuatu itu terlihat dan
diketahui sedemikian jelas, tanpa menimbulkan sedikit pun keraguan. Ilmu
diartikan sebagai sesuatu pengenalan yang sangat jelas terhadap sesuatu objek.
Allah dinamai ‘alim atau ‘Alim
karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap hal-hal yang sekecil
apapun (QS al-An’am [6]:59).
Kata tersebut digunakan dalam
arti “proses
pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan”. Ilmu adalah pengetahuan
yang jelas tentang sesuatu. Karena itu, kata ‘alim yang bentuk
jamaknya ‘ulama’ berarti orang yang memiliki ilmu yang mendalam, baik
agama maupun sains (QS al-Syu’ara’ [26]:197) dan QS Fatir [35]:28), dan
pengetahuannya mampu menghasilkan khasyyah (rasa takut yang disertai
penghormatan dan pengagungan kepada Allah), sehingga di mana pun mereka berada,
seharusnya selalu jelas, tampak berbeda (dalam hal kebajikan) dengan orang
kebanyakan. Meskipun demikian, kata ini berbeda dengan kata ‘arafa
(mengetahui dan naik [ke Tuhan] disertai kesadaran, pada saat ketemu terjadi
pengenalan), ‘arif (yang mengetahui), dan ma’rifah (pengetahuan
yang menuntun sampai kesadaran adanya Tuhan). Allah tidak dinamai ‘arif
tetapi ‘alim, yang berasal dari kata kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan biasa
al-Qur’an menggunakan kata itu “untuk Allah” dalam hal-hal yang diketahui-Nya,
walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan.
Ilmu bertahap mulai dari
pengetahuan, kemudian berkumpul dan bersistem hingga menjadi ilmu setelah
diolah lewat metode ilmiah. Pengetahuan diperoleh dengan coba-salah (trial and error), otoritas (diperoleh
dari ahlinya), spekulasi (merenung), empiris (pengalaman), berfikir
(reasoning), berfikir reflektif (metode ilmiah), intuisi (wahyu).
Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam al-Qur’an dapat diketahui melalui analisis wahyu pertama
yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. (QS al-‘Alaq [96]:1-5). Kata iqra’
pada ayat ini terambil dari akar kata yang berarti menghimpun (pengetahuan)”.
Tala’ (mengucapkan huruf-huruf). Rattala (membaca dengan betul-betul dalam
hubungannya dengan fungsi al-Qur’an sebagai syifa’). Darasa (mengikuti
ajaran-ajaran al-Qur’an). Dari makna “menghimpun” lahir aneka makna, seperti:
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui cirri sesuatu, dan
membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama tersebut tidak
menjelaskan yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa
saja selama bacaan tersebut bismi rabbik, berarti bermanfaat
untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, objek perintah iqra’ mencakup segala
sesuatu yang dapat dijangkaunya. Oleh karena itu, salah satu syarat membangun
peradaban suatu bangsa adalah “membaca.” Semakin mantap bacaan suatu masyarakat, semakin tinggi pula
peradaban itu. Dengan demikian, tugas kaum cendekia mencari kebenaran dan
membangun kualitas untuk mendekatkan diro kepada Allah dengan jalan
mensejahterakan dan membahagiakan masyarakat.
Dengan makna demikian, metode
ilmu adalah “cara kerja untuk memperoleh pengetahuan”. Dalam hal ini, filsafat
ilmu memperkenalkan tiga cara memperoleh pengetahuan, yaitu: dengan pengalaman
(empiris), perenungan (reasoning), dan metode ilmiah. Pada sisi
lain, pengetahuan terbagi menjadi tiga macam: syu’uri (rasa), yang
diperoleh melalui potensi rohani; kasbi (pengalaman), yang diperoleh
dari luar melalui penginderaannya; dan ladunni (limpahan), yang diperoleh
melalui wahyu atau ilham.
Pengetahuan terdiri atas:
pengetahuan bisa dan pengetahuan ilmiah. Yang pertama, diperoleh melalui penemuan secara kebetulan,
tradisional, otoritas, renungan, atau intuitif. Yang kedua, diperoleh dengan metode ilmiah. Metode ilmiah adalah
cara kerja menemukan, mengembangkan, atau menguji pengetahuan melalui suatu
proses dengan menerapkan prinsip-prinsip keilmuwan melalui langkah-langkah
sebagai berikut: menetapkan masalah; dan batasan masalah; mengajukan hipotesa
(bila diperlukan, menerangkan hipotesa yang telah diajukan, mengetes hipotesa
dengan fakta-fakta); pengumpulan data; dan penyusunan laporan.
Al-Qur’an menggunakan kata ‘ilm
dengan segala bentuk kata jadiannya sebanyak 854 kali. Antara lain, ia berarti
‘proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan’, (QS. al-Baqarah,
2:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang
sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya.
Dalam bahasa Indonesia, ilmu
berarti ‘pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu dalam bidang (pengetahuan) itu.
Sedang al-Qur’an dimaksudkan
disini adalah firman-firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Melalui malikat Jibril guna menjadi
peringatan, petunjuk, tuntunan, dan hokum dalam kehidupan umat manusia menuju
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dengan demikian, ‘Ulum
al-Qur’an sebagai suatu term ilmu pengetahuan yang terkandung dalam
al-Qur’an; berkenaan dengan keadaan al-Qur’an; dan yang digunakan untuk
menggali kandungan al-Qur’an. Dalam pada itu, ‘Ulum al-Qur’an berarti
‘suatu ilmu yang membahas dan menjelaskan keadaan-keadaan al-Qur’an dari segi
penafsiran ayat-ayatnya, segi penjelasan maksud-maksudnya, segi sebab nuzulnya,
segi nasikh mansukhnya, segi munasabahnya, segi uslub-uslubnya, segi rupa-rupa
qiraatnya, segi rasm kalimat-kalimatnya, dan lain-lain yang berhubungan dengan
keadaan al-Qur’an.