Wednesday, July 27, 2016

Cerpen : Menetau, (Ahmad Ijazi H)


Subuh belum melepuh, sungguh. Tetapi Emak telah melipat daun juang-juang, beras basuh dan bertih, inggu serta setanggi ke dalam tengkalang yang hendak dibawa lakinya, Datok Pawang Musa ke kampung Teluk Lubuk, kampung pulau seberang.

Datok Pawang Musa melangkah ke sudut ruangan, hendak mengambil tanjak bermotif pucuk rebung kesayangannya. Tetapi, nihil. Sejenak ia sangsi, tertegun, lalu mengingat-ngingat kapan terakhir kali ia mengenakannya. Dan sungguh, ingatannya begitu payah. Ia akhirnya menyerah, beringsut menyambang bibir pintu, melenyapkan segala risau yang mulai kisruh dari ceruk sanubarinya.

Datok Pawang Musa mengecup pucuk perut Emak yang tengah mengandung hampir 9 bulan itu sebelum menuruni anak tangga rumah. Aku mengekor di belakangnya dengan langkah seekor anak rusa yang malas, sembari sesekali menguap karena menahan kantuk yang terlampau mengikat pelupuk mata.

Tiba di lokasi, kokok ayam masih hingar, sahut-menyahut menguak kabut yang begitu membeku. Sebagian orang masih nyenyak membalut badan dalam bantalan selimut. Tetapi tidak bagi Datok Pawang Musa.

Ia begitu terjaga, begitu buas. Matanya mengkilat, senada dengan nyala api lampu damar yang dikibar-kibarkan oleh hembusan angin.

"Wahai Datok Puake yang bersemayam dalam rimba ulayat. Sembah hormat tak kunjung genap kami haturkan. Dengan segala kerendahan hati, izinkan kami mematikan tanah ini." Datok Pawang Musa menabur tepung tawar di antara belukar yang terhampar. Di wilayah yang nantinya akan dibangun rumah itu telah diberi patok kayu beberapa hari sebelumnya sebagai penanda. Dengan begitu, segala makhluk halus yang bermukim dan beranak, pinak di sana dapat meninggalkan tempat itu dengan segera.

Subuh mulai singsing saat jarum-jarum mentari menyeburkan cahayanya yang tipis dari punggung bukit. Disisi sebelah barat, Batin Monti Raja Lamatoa membakar inggu dan setanggi. Aromanya yang wangi semerbak, menusuk penciuman.

Seluruh hadirin hening, mengkuduskan tatapan serta detak jantung yang tak kunjung jinak lantaran kehadiran kehadiran makhlu halus serta roh para leluhur mulai terasa, tetapi tak mengusik. Sebelumnya, Datok Pawang Musa memang telah mewanti-wanti, jika selama prosesi menetau dilaksanakan, dilarang meninggikan suara, tertawa dan berseloroh dengan kata-kata cabul 

Di antara obor dan sesaji yang dipersembahkan, beberapa ekor hewan sembelihan telah ditada darahnya. Tetes-tetesnya yang dianggap keramat menjadi penanda begitu sakralnya tanah itu akan dimatikan.

Wan Abdul Syarif, sang pemilik tanah, duduk bersila ditengah-tengah kerabat dekat dan jauh yang turut diundang sejak jauh-jauh hari. Teluk belange cekak musang yang ia kenakan tampak serasi dengan tanjak yang memahkotai kepalanya. Tengku Wardi Kusuman, abang iparnya yang duduk berimpitan dengannya tiba-tiba berseloroh dengan suara rendah.

"Datok Pawang Musa itu lancang sekali, melangkahi adat orang tempatan. Beliau bermukin di Teluk Sengerih, kampung pulau seberang. Berani-beraninya ia menilap untung Datok Pawang kampung kita, Teluk Lubuk." Tengku Wardi Kusuman menekan amarah yang mulai  bermukim di ceruk dadanya.

"Kabarnya Datok Pawang Derajat, yang biasanya mewangi kampung ini sedang sakit keras. Sementara, hari ini, senin terakhir bulan Maulud yang dianggap baik untuk membangun peraduan. Jika menunggu beliau sembuh, acara menetau terundur lagi sampai bulan Maulud tahun depan. Segala sesaji yang telah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari bisa mubazir terbuang sia-sia." Wan Abdul Syarif mencoba memaparkan alasannya yang memang masuk akal itu.

"Tuju yang Datok Pawang Musa lepaskan rupanya teramat ampuh. Hampir genap 13 pekan Datok Pawang Derajat terbaring lemah sebagai pesakitan di pembaringan, riwayat sembuhnya belum terembus juga hingga hari ini."

"Dari mana Abang tahu kalau Datok Pawang Musa telah bermain teluh di wilayah pacuan hitam seperti itu? memasang tuju? Picik sekali."

"Penghormatan sebagai Pawang paling andal, paling sepuh, paling sakti. Kesejahteraan hidup akan terjamin jika Batin Monti Rajo sampai menyematkan predikat mulia  itu di pundak Pawang terpilih. Siapapun pawangnya, pasti tergiur pada hal yang demikian. Tak peduli bagaimana pun caranya, pasti akan ditebus."

Batin Monti Rajo yang berpendengaran tajam itu menoleh, menatap penuh curiga ke sumber suara yang mulai menabur kisruh. Hawa yang memancar dari tatapannya begitu panas, mengandung api. Itu sebuah isyarat agar seluruh hadirin bergeming.

"Hati-hati berseloroh yang tak patut. Segala bala dan bermacam sengkala bisa berbalik pada pemilik lidah yang melepas fitnah." Wan Abdul Syarif berbisik.

Jeda waktu terasa semakin menyusut di sini. Dan kata-kata yang sebelumnya begitu ditabukan  itu telah meluncur dari mulut yang berbisa. Aku sungguh perih mendengarnya.

Betapa, abahku. Datok Pawang Musa itu, hanya melaksanakan tugasnya sebagaimana petue, tak ada cara hitam, tak ada teluh. Pacuan yang ia lalui adalah pematang yang lurus, tiada kecurangan setitik pun, dan bahkan pamrih. Jikalaupun ada, hanya sekadar penampal kebutuhan hidup sehari-hari, tak pernah berlebih. Kenyataannya, keluarga kami tetap saja miskin. Sungguh jauh dari predikat sejahtera yang digunjingkan orang-orang sekampung.

"Kekayaan dan pangkat bukanlah tolak ukur kebahagiaan, Nak. Menjadi pawang bukan materi yang dikejar, tetapi kepatuhan pada aturan adat, lelihur Sang pencipta. Upacara menetau adalah salah satu cara manusia bersyukur, menjaga keseimbangan  alam agar tetap terpelihara, sehingga segala malapetaka dijauhkan dari badan." Abah pernah mengatakan hal itu dengan begitu haru. Hingga kini, aku tetap memaknainya sebagai petuah yang sakral, karena benar-benar tulus keluar dari hatinya.

Batin Monti Rajo Lomatoa bertuma'ninah di hadapan hadirin. Merentang tangan, bersiap untuk memimpin doa.

Mata elangku menangkap warna sinis dari garis wajah  Tengku Wardi Kusuman. Tabiat lelaki itu memang tidak pernah berubah. Dari dulu hingga kini, kicauan mulutnya semakin terdengar membusuk di telinga. Semakin lekat memandangnya, dendamku kian kesumat. Betapa tidak, setahun lalu, aku ingat sekali, ia pernah bersekongkol  dengan investor asing untuk mengusir kami dari tanah leluhur melalui sengketa lahan. Pemukiman kami akhirnya berhasil dieksekusi. Barisan tentara yang mereka bayar waktu itu benar-benar membuat tenaga kami lumpuh saat melakukan perlawanan.

Tetapi kini, di pemukiman yang baru, kami tak akan sudi lagi dipecundangi. Tanah ulayat yang kami miliki telah diberi sertifikat hak milik, dan dilindungi pemerintah sepenuhnya.

Doa dari Batin Monti Rajo Lamatoa telah smpai ke pucuk langit. Desir angin menyambut, mengarak awan putih yang menaungi. Tiba-tiba seorang bujang yang sepertinya penduduk tempatan itu menyeruak keheningan upacara dengan tergopoh-gopoh. Usaia merunduk hormat terlebih dahlu, sepatah bisiknya bercebis di telinga Batin Monti Rajo Lamatoa. Agaknya kabar, yang dibawanya teramat penting sehingga tak seorang pun boleh mencuri dengar.

Batin Monti Rajo Lamatoa berdiri di hadapan seluruh hadirin. Salamnya  di mukadimah terasa bergetar, lalu diikuti ucapan innalillah yang begitu serak dan berat. Degup dadaku  begitu berguncang, begitu juga kurasa yang di alami seluruh hadirin saat beliau kemudian mengabarkan bahwa Datok Pawang Drajat telah meninggal dunia.

"Usai acara menetau ini, baiknya kita semua melayat ke kediaman almarhum. Semoga dengan kedatangan kita, kedukaan keluarga yang ditinggalkan bisa sedikit terobatkan."

Langkah pelayat berduyun-duyun setelah itu. Mendung begitu hitam saat kami sampai di halaman anjung almarhum. Tak dinyana, seorang lelaki gempal menyeruak dari ambang pintu. Tapak kakinya berdebum saat menuruni anak tangga. Tiba-tiba, seperti dentam halilintar, kepalnya yang keras mendarat di rahang abahku!

Abahku terjungkal di atas tanah. Aku terenyak. Darah segar mengucur di sudut bibirnya yang pecah.

"Kau tak pantas menginjak tanah kami, bangsat!" dilemparkannya sobekan-sobekan kain bermotif pucuk rebung ke wajah abahku. Aku menelan ludah. Itukan kain tanjak milik abahku yang hilang?

"Potongan kain beracun itu kan yang dah kau kirim buat bunuh abahku?! Sungguh kau jembalang laknat! Kau pantas mati!!" Lelaki gempal itu mencabut belati dari pinggangnya. Batin Monti Rajo Lamatoa sigap mendekapnya dari belakang. Dengan suara serak, disuruhnya abahku pergi.

Lelaiki gempal itu mengamuk. Sumpah serapahnya begitu mengerikan, memekakkan telinga. Terpaksa orang-orang membantu Batin Monti Rajo Lamatoa menenangkannya.

Pemandangan langit kian suram. Petir dan guntur beradu, mengiring langkah kami yang telah ringkih menjejak tanah. Di perbatasan kampung, kami terduduk lumpuh. Di ujung sana tampak orang berduyun-duyun. Puluhan lelaki gempal, yang merupakan kerabat dekat dari almarhum Datok Pawang Derajat itu sedang mengamuk memporak-poramdakan peraduan kami dengan menggunakan balok kayu.

Aku dan abah berlari menghampiri rumah kami yang semakin puing itu, berteriak-teriak histeris meminta mereka berhenti. Tetapi mereka tak peduli.

"Jika sampai besok pagi kau masih menginjak tanah ini, kami tidak akan segan-segan membunuhmu!" seorang dari mereka menuding wajah abahku dengan murka yang teramat pitam. Mereka lalu melangkah pergi dengan gumpalan hati yang masih memanas.

Jarum hujan gugur tercurah. Dari kejauhan, kulihat Abah menggendong tubuh Emak dari reruntuhan rumah. Dari balik pakaiannya yang basah, menetes darah segar. Sementara Mak Osu Salmah, adik bungsu abahku, menggendong bayi yang masih merah. Dari dekat, kukenali wajah Emak dan bayi merah itu bergantian. Jasad keduanya sama-sama telah membeku.

"Kita harus meninggalkan tanah ulayat ini...." lirih Abah berucap.
Seketika, kurasakan nyawaku seperti ikut terbang ke langit.
***

Catatan: 

  • Menetau: upacara adat membuka lahan atau mendirikan bangunan.
  • Tengkalang: sejenis tas punggung yang terbuat dari anyaman pandan.
  • Datok Pawang: orang yang memimpin upacara menetau.
  • Tanjak: sejenis ikat kepala
  • Puake: makhluk halus
  • Batin Monti Rajo: pemimpin kepala suku yang sangat disegani dan dihormati.
  • Sesaji: sesajen yang diberikan kepada makhluk halus penunggu hutan.
  • Mematikan tanah: sama dengan menetau.
  • Teluk belange cekak musang: pakaian adat khas melayu Riau
  • Tuju: teluh yang dikirim seseorang dari jarak jauh.
  • Petue: petua, orang yang dituakan.
  • Jembalang: setan atau makhluk halus yang sangat jahat.


       

      



  

   




No comments:

Post a Comment