Monday, July 25, 2016

Penciptaan Karya Sastra (Fiksi), Unsur Pembangun Fiksi dan Penjelasan Beberapa Ahli.

 

Penciptaan Fiksi

Hakikat masyarakat dan kebudayaan pada umunya adalah kenyataan, sedangkan hakikat karya sastra adalah rekaan, dengan sebutan yang lebih populer, yaitu imajinasi. Berbeda dengan kenyataan dalam ilmu kealaman, kenyataan dalam ilmu kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai fakta sosial. Berbeda dengan imajinasi dalam kehidupan sehari-hari, yang dianggap sebagai semata-mata khayalan, imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan, imajinasi yang juga diimajinasikan oleh orang lain.

Masalah ini perlu dijelaskan dengan pertimbangan bahwa sebagai karya seni karya sastra tidak secara keseluruhan merupakan imajinasi. Pertama, meskipun hakikat karya seni adalah rekaan, tetapi jelas karya seni, dikontruksi atas dasar kenyataan. Kedua, dalam setiap karya seni, khususnya sastra terkandung unsur-unsur tertentu yang merupakan faktor objektif, pada umumnya fakta-fakta tersebut merupakan nama-nama orang, (toponim), peristiwa-peristiwa bersejarah, monumen dan sebagainya. Ketiga, karya seni yang analisis, tidak dapat dipahami secara benar sebab tidak memiliki referensi sosial. Kutha Ratna (2007:307).

Selanjutnya Kutha Ratna menambahkan bahwa hakikat karya seni, sastra khusunya jelas merupakan sebuah imajinasi dan kreativitas. Dalam karya seni, ciri-ciri imajinasi lebih khas, lebih dominan dibandingkan dengan kreativitas, demikian juga sebaliknya kreativitas mengimplikasikan imajinasi. Perbedaannya sebagai daya bayang imajinasi seolah-olah memiliki kekuatan yang jauh lebih luas dan tidak terbatas. Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Kreativitas adalah hasil imajinasi. Imajinasi adalah cakrawala pada saat kekuatan-kekuatan yang berkaitan dengan proses kreatif yang dipertaruhkan.

Dengan pengertian bahwa imajinasi dan kreativitas adalah daya, energi dan kekuatan, maka imajinasi dan kreativitas, dan kreativitas jelas mengimplikasikan subyek manusia, lebih khusus lagi subyek kreator. Imajinasi dan kretivitas tidak semata-mata terkandung dalam karya seni. Kehidupan praktis sehari-hari dipenuhi bahkan dikendalikan oleh imajinasi dan kreativitas. Perbedaannya imajinasi dan kreativitas kehidupan sehari-hari didorong dengan demikian dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis. Semua aktivitas kehidupan merupakan kesadaran, bukan insting. Kesadaran pada gilirannya memberikan kemungkinan untuk berpikir, merasakan, merenungkan, sehingga bentuk-bentuk aktivitas tidak terjadi secara refleks, melainkan tertunda. Ruang-ruang kosong inilah yang memberikan kemungkinan untuk berimajinasi dan berkreativitas.

Apabila ciri-ciri tertunda dan ruang kosong seperti tersebut di atas dapat disebut sebagai mediator timbulnya imajinasi, maka karya seni inilah yang paling sarat mengandung unsur imajinasi dan kreativitas. Pada seniman jelas merupakan subyek yang paling banyak menyediakan diri untuk berkomtemplasi. Oleh sebab itu, biasanya mereka memilih tempat yang suci dan tenang sebab kontemplasi dan dialog pada dasarnya dilakukan dengan dirinya sendiri, sebagai dialog intersubjektif.

Kenyataan dan rekaan pada umumnya memiliki makna yang sejajar dengan fakta dan fiksi. Dalam ilmu sosial dan humaniora fakta yang sebenarnya tidak ada dapat menjadi ada, penafsiran menjadi awal dari munculnya sebuah fakta, dan inilah yang biasa dikenal dengan fakta-fakta sosial yang akhirnya memperoleh sumber aktivitas kreatif yang tidak pernah ada ujungnya. Secara etimologi fiksi dapat pula disepadankan atau disejajarkan dengan rekaan dan khayalan, namun, dalam aktivitas kreatif, untuk menghindari salah paham hanya rekaanlah yang dapat mewakili pengertian mengenai hakikat karya sastra secara umum, sementara khayalan dianggap semata-mata sebagai dongeng. Khayalan dalam kehidupan sehari-hari sama dengan angan-angan, lamunan, dan fantasi (fancy, fantasy, fictitious). Wellek dan Werren (1962:26-28) bahwa ciri utama karya sastra adalah fiksi, imajinasi dan invensi.

Imajinasi pada gilirannya adalah pengalaman sebagaimana juga yang dialami oleh orang lain. Imajinasi dalam karya seni hanya mengevokasi imajinasi pembaca yang secara laten sudah tersedia pada setiap orang. Dalam hubungan ini juga karya seni dikatakan memiliki fungsi-fungsi sosial sebab dalam masyarakat jelas terkandung berbagai energi yang tak terhitung jumlahnya, dan harus dihidupkan demi mencapai tujuan-tujuan yang positif. Benar, ilmu pengetahuan merupakan penelitian objektif, yang diperoleh melalui verifikasi ilmiah, namun, kerangka objektivitas tersebut pada dasarnya didahului oleh berbagai kemampuan imajiner, baik sebagai pengalaman langsung maupun sebagai kekuatan intuitif.

Karya sastra dengan demikian tidak secara keseluruhan merupakan rekaan. Seperti yang telah diuraikan di depan, karya sastra yang secara keseluruhan merupakan rekaan justru tidak mungkin untuk dipahami sebab pembaca tidak memiliki referensi-referensi untuk mengadakan identifikasi. Secara genetis karya sastra diciptakan sebagai tiruan masyarakat, sebagai dunia dalam kata, baik sebagian maupun seluruhnya, oleh karena itu dalam setiap karya sastra bahkan karya yang paling absurd, terkandung petunjuk-petunjuk yang secara hermeneutis tekstual dapat mengembalikan karya pada semesta tertentu. Dalam hubungan inilah fiksi dianggap lebih menarik, dengan alasan sebagai berikut:
  1. Dalam fiksi terjadi tumpang tindih, silang sengketa antara rekaan dan kenyataan, sehingga pembaca seolah-olah tidak mungkin untuk menangkapnya, bahkan selalu tertangkap ke dalam keingintahuan.
  2. Fiksi merupakan pelarian dari dunia nyata yang tidak bisa dijangkau secara keseluruhan, senantiasa terdapat sisa yang harus diselesaikan.
  3. Fiksi menampilkan berbagai masalah kehidupan manusia, dari kehidupan yang paling rendah hingga yang paling mewah. Dalam membaca fiksi para pembaca memperoleh kepuasan total, seluruh keinginannya terpenuhi secara fiksional.
  4. Pembaca dapat mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh, kejadian, dan latar belakang, pembaca seolah-olah menjadi hero dan raja.
  5. Fiksi menampilkan kualitas ekstetis, tujuan yang paling dirindukan manusia. Karya seni pada gilirannya membawa manusia pada dunia pencerahan, penyucian, disitulah setiap individu akan menemukan kedamaian. Kutha Ratna (2007:312)
Sebagai seni bahasa, sumbangan terpenting karya sastra dengan masalah-masalah kemasyarakatan adalah kemampuannya dalam mentransformasikan sekaligus mengabadikan kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari, sebagai interaksi sosial, ke dalam peristiwa-peristiwa sastra, sebagai perilaku fiksional. Sebuah fiksi memiliki keterkaitan unsur intrinsik yang seringkali yang sulit diurai perunsur, karena kebermaknaan estetika kefiksiannya justru terletak pada bangunan untuk menyampaikan message komunikasi estetik yang memikat atau tidak.

Unsur Pembangun Fiksi

Dalam pendekatan analitik, sebuah puisi dipandang memiliki unsur pembangun yang menarik untuk dipahami. Sebagai sebuah totalitas, Wellek membagi unsur pembangun puisi meliputi: (1) lapis bunyi (sound stratum), (2) lapis arti (unit of meaning), (3) lapis dunia (realitas dunia yang digambarkan penyair), (4) lapis dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu, dan (5) lapis dunia yang bersifat metafisis (Sutejo, 2008:47)

I.A. Ricard dalam memberi penjelasan terhadap metafisis, mengungkapkan bahwa puisi itu mengandung unsur (1) sence, (2) subject matter, (3) feeling, (4) tone, (5) total of meaning, dan (6) thema dan itention.
  • Sence, hakikatnya merupakan sesuatu yang diciptakan penyair lewat dunia yang puisi digambarkan, since ini menyarankan akan pentingnya pemahaman dari gambaran puisi secara umum.
  • Subject matter, sesungguhnya merupakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam bait-bait puisi atau pokok pikiran yang ditemukan dalam bangunan puisi.
  • Feeling, berkaitan dengan sikap penyair terhadap pokok-pokok yang ditampilkan di dalam puisi. Sikap-sikap penyair dapat ditelusuri terhadap tema dan persoalan puisi yang ada. Objektivitas penyair dalam puisi, seringkali memang sulit, sebaliknya subjektivitas inilah yang melatar belakangi sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran dalam puisi yang ditulisnya.
  • Tone, berkaitan dengan sikap dan perasaan penyair kepada pembaca. Keduanya saling melengkapi puisi yang utuh, kedua hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengetahui sikap penyair kepada pembaca, yang pertama-pertama tentu meski dipahami sikap penyair terhadap pokok masalah yang dikemukakannya.
  • Thema (tema), hal ini dapat diturunkan sebagai konsep ide dasar yang melatarbelakangi puisi itu dicipta, masalah apa yang melatar belakangi, hal apakah yang membingkai, tentu merupakan hal penting dalam menemukan tema puisi atau karangan.

No comments:

Post a Comment