Saturday, July 16, 2016

Klasifikasi Fiksi, Berdasarkan Bentuk, Isi dan Kritik Sastra, Serta Pendapat Beberapa Ahli.



Klasifikasi Fiksi

Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan atau melakukan pembagian terhadap fiksi, bergantung dari sudut pandang kita. Kita dapat mengadakan klasifikasi berdasarkan panjang-pendeknya fiksi, berdasarkan jumlah kata yang dikandungnya. Kitapun dapat pula mengadakan klasifikasi dari segi maksud dan tujuan sang pengarang menulis fakta itu. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa klasifikasi itu dapat dibuat:
1.      berdasarkan bentuk
2.      berdasarkan isi
3.      berdasarkan kritik sastra.
Dibawah ini akan diuraikan satu persatu.

Berdasarkan Bentuk

Berdasarkan bentuknya fiShort short storyksi dapat kita bedakan dalam lima golongan, yaitu:
  • Novel (istilah yang biasa kita kenal yakni roman, dari bahasa Belanda)
  • Novelette (istilah yang biasa kita gunakan novel, dari bahasa Belanda "novelle" yang pada gilirannya berasal dari bahasa Perancis "nouvelle" yang berarti hal yang baru).
  • Short story (cerita pendek)
  •  (cerita singkat)
  • Vignette (sangat singkat dan hanya menghabiskan tempat sangat sedikit; vignette dari bahasa Perancis berarti dalam gambar kecil untuk hiasan dalam bentuk mula-mula berupa cabang anggur), (Notosusanto: 1957:29)
Adapula yang membuat klasifikasi yang lebih sederhana lagi yang membaginya dalam tiga jenis, yaitu:
  • Novel
  • Novelette
  • Short story
Berdasarkan Isi

Dalam sebuah fiksi sangatlah menentukan  sebuah identitas cerita, berdasarkan isi kemungkinan dilakukan apabila kita membaca sebuah fiksi, sehingga pembaca dapat memahaminya. Berdasarkan isinya maka fiksi dapat diklasifikasikan atas:

a. Impresionisme
Secara garis besarnya dalam kesenian istilah Impresionisme ini berarti pemberian kesan-kesan panca indera dengan tidak merupakan sesuatu bentuk tertentu. Untuk sastra dapatlah dikatakan bahwa impresionisme adalah penjelmaan pikiran, perasaan dan bentuk-bentuk dengan cara sindiran (sugesti), dan bukan dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya.
Cerita pendek yang ditulis secara Impresionistis tidak secara langsung menerangkan sejelas-jelasnya isi dan maksud cerita itu, tetapi dari totalitas atau keseluruhan cerita itu, kita dapat mengambil kesimpulan yang dimaksud oleh pengarang. Karangan itu seakan-akan tidak selesai, kalimat-kalimatnya tidak selesai dialognya putus-putus, tetapi totalitas karangan itu hanya menyajikan suatu gambaran yang bulat dan penuh.
b.Romantik
Banyak pengarang tidak suka disebut-sebut pengarang romantik, karena dalam pengertian sementara, romantik itu diluar dari kenyataan hidup atau kasarnya lari dari kenyataan yang dialami, yang baik-baik saja dan enak-enak saja yang diceritakan, romantik cenderung bercerita pada kehidupan yang sedang jatuh cinta, bertunangan, kawin, hidup bahagia, dan lain-lain yang muluk-muluk.
Perlu dipahami bahwa romantik adalah cara pengarang mengidealisasikan penghidupan dan pengalaman manusia yang meletakkan tekanan yang lebih berat pada yang lebih baik, lebih enak, lebih enak dalam penghidupan dan pengalaman manusia.
c. Realisme
Realisme secara umum adalah cara menulis yang hanya memperhatikan manifestasi janmani (materi) dan yang kelihatan dari luar, dari penghidupan, hanya memperhatikan simpton dan bukan sebab-musabab penghidupan. Realisme menulis apa yang dilihat, menuliskan kenyataan-kenyataan yang kelihatan. Tidak boleh lebih, tidak boleh kurang. Dalam realisme ini manusia dilukiskan sebagai makhluk yang dikuasai oleh alam kebendaan, seolah-olah tidak punya hubungan apapun dengan kenyataan abadi ataupun realitas universal yang menjadi dasar alam sekitar manusia dan reaksi manusia terhadap alam.
d. Sosialist-Realisme
Istilah ini berasal dari ajaran Karl Marx, dengan maksud melukiskan penghidupan yang materialistis dan dangkal berdasar pada dogma Marxisme tentang sejarah dan masyarakat, manusia adalah satu kesatuan ekonomis yang dikuasai oleh alam sekitar. Manusia terikat pada alam jasmani dan benda materialistis dan tujuan kehidupan yang tertinggi adalah mencapai perubahan-perubahan kebendaan di atas dasar kepunyaan dan susunan masyarakat. Di sini kehidupan rohani tidak diacuhkan, dan intelek manusia diakui hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan kebendaan. Realisme yang menjadi dasar kebendaan ini didasarkan pada perhitungan bahwa alam dikuasai oleh undang-undang kebendaan dipinjam dari cara berpikir secara ilmu pengetahuan yang berlebih-lebihan dan dicampur dengan teori-teori metafisika dan teori yang non-materialistis tentang sejarah yang sebenarnya tidak dibenarkan mencampur adukkannya.
e. Realisme sebenarnya
Pengarang realis yang sejati adalah pengarang yang berusaha untuk menunjukkan dalam karyanya pemandangan kesatuan yang utuh, yang melukiskan gambaran bulat tentang manusia serta hubungannya dengan dunia tempatnya hidup dan bekerja. Yang jelasnya pengarang harus melukiskan kenyataan jasmani beserta kenyataan rohani secara harmonis dan logis.
Realisme Sebenarnya, haruslah berusaha untuk menggambarkan kehidupan sedemikian rupa sehingga mencakup segala segi penghidupan, baik dalam manifestasi jasmani, intelektual, maupun manifestasi rohaninya. Dengan kata lain realisme sebenarnya harus menyatakan sekuat daya dan kesanggupan pengarang, bagaimana gerak hidup manusia, serta kesatuan hukum-hukum alam yang berliku-liku itu menggerakkan dan menguasai gerak hidup manusia.
f. Naturalisme
Aliran naturalisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran romantik. Pengarang naturalis yang terkenal adalah Zola, yang terus-terang menggambarkan kehidupan seksual manusia. Bagi Zola, dunia yang nyata inilah satu-satunya dunia.
Sebenarnya batas antara realisme dan naturalisme amatlah kabur. Pengarang naturalis juga melukiskan dengan cermat dan teliti apa yang dapat dilihat. Umumnya orang memasukkan ke dalam golongan ini para pengarang yang terutama memusatkan perhatian pada alam benar, pada manifestasi kebendaan dari kehidupan manusia, manusia sebagai makhluk alam dengan hasrat-hasrat serta kekurangan-kekurangan kemanusiaannya.
g. Ekspresionisme
Dalam aliran ekspresionisme ini semua meluapkan dari dalam jiwa pengarang sendiri. Dalam ekspresionesme alam benda beserta bentuk-bentuk kebendaannya dikalahkan oleh alam jiwa dan manifestasi kejiwaan. Jadi, jelaslah perbedaannya dengan aliran natural dan realime, pengarang sedapat mungkin berdiri diluar tanpa mencampur adukkan perasaannya dengan para pelaku dalam karangannya.
h. Simbolisme
Simbolisme itu dijalin dan disusun dalam cerita, maka sering disebutkan berulang-ulang oleh sang pengarang, di dorongkan ke tengah-tengah perhatian para pembaca. Pun simbol tersebut dapat pula merupakan sesuatu yang dikandung oleh seluruh isi cerita. Cerita-cerita seperti ini biasa disebut cerita yang beraliran simbolisme. 
Dalam merangkai cerita dipergunakan simbol-simbol sebagai salah satu tanda bahwa manusia itu berpikir. Juga dalam fiksi dan dalam kesusastraan pada umunya banyak dipergunakan simbol-simbol. Sebuah simbol adalah sebuah benda, sesuatu yang kongkret. Warna, kejadian alam, dan lain-lain dapat dipergunakan dalam melambangkan kehidupan atau perasaan manusia.
Uraian diatas berdasarkan gagasan yang dikemukakan oleh Mohtar Lubis dalam "Teknik Mengarang (1960).

Berdasarkan Kritik Sastra

Robert Liddel membuat pengkategorian novel bagi karya fiksi yang umum, diantaranya :

1. Novel yang menuntut karya sastra yang serius.
  • Novel-novel yang baik
Walaupun sang kritikus akan menolak untuk mengadakan suatu jenis ukuran penilaian bagi para noveis, atau untuk memberi ciri-ciri pada karya mereka, namun sang kritikus sebenarnya dapat saja berbicara, misalnya mengenai "novel-novel agung" atau tentang "klasik-klasik minor". Istilah-istilah tersebut memang telah salah digunakan artinya; maka adalah tugas kritikus untuk mengembalikan nilai yang sebenarnya itu pada perbedaan-perbedaan serta penyimpangan-penyimpangan yang sedemikian rupa.
  • Novel-novel yang mungkin baik
Para penulis menaruh minat pada sensibilitas yang mendalam, dan memang ingin mencurahkan perhatian dan perasaannya dengan baik, tetapi karena beberapa hal buku-buku tersebut menjadi buruk karena tidak teratur ataupun kegagalan-kegagalan teknis, dan sebagainya.
2. Novel-novel yang berada di bawah taraf kritik sastra yang serius.
  • Taraf sedang
  • Taraf rendah
Dari sudut pandang sastra tentu saja tidak memadai pembedaan antara kedua kategori utama fiksi "yang dianggap sebagai yang berada di bawah kritik sastra yang serius". Tetapi dari sudut pandang sosiologi, perbedaan antara karya "taraf sedang" dan "taraf rendah" itu sangat besar. (Liddell;1962:20-22) 





No comments:

Post a Comment