Ragam Puisi
Puisi adalah merupakan karya sastra yang dihasilkan seseorang untuk menyampaikan pesan-pesan yang indah kepada orang lain dengan imajinasi yang tinggi dan penuh makna. Dan dalam menyampaikan puisi tersebut tentunya dengan berbagai macam cara atau ragam.
Ragam puisi bermacam-macam, jika dilihat dari bentuk dan isinya. Ragam puisi itu dapat di kemukakan sebagai berikut :
Puisi Elegi
Puisi jenis ini hakekatnya merupakan puisi yang berisi tentang ratapan dan kepedihan penyair, puisi ini termasuk puisi lirik yang berisi ratapan kematian seseorang atau kematian beberapa orang. Seorang penyair yang menulis puisi kematiaannya sendiri sebelum mati disebut epitaph. Dua contoh berikut merupakan jenis puisi elegi. Yang pertama puisi Nisan karya Chairil Anwar yang berisi tentang kepedihannya atas kepergian nenek tercinta.
Nisan
Untuk NenekndaBuka kematian benar menusuk kalbuKeridhaanmu menerima segala tibaTak kutabu setinggi itu di atas denuDan duka maha tuan bertakhta
Sedangkan puisi Terbiar Belajar Mati dan Kakiku Berjalan, berikut merupakan puisi epitaph, karena dua puisi itu ditemukan pada ponsel penyair (Hamid Jabbar) di jelang kematiannya saat membacakan puisi di Universitas Islam Jakarta, kemudian dibukukan di dalam Indonesiaku (yayasan Indonesia, 2005), sebelumnya dikenal penyair Chairil Anwar dan Kriapur sebagai penyair yang mengenal "kematiannya" lewat puisi. Pengarang Ragil Suwarno Pragulopati hilang diparangtritis. Dengan demikian, seorang penyair seringkali sebagaimana dikatakan WS Rendra, mereka adalah agen Kontemplasi. Perjalanan meditasi yang mendalam yang melahirkan puisi-puisi yang dapat mencapai puncak relijiusitas seseorang. Berikut merupakan gambaran yang demikian yang ditulis oleh Hamid Jabbar.
Terbiar Belajar Kematian
Terbiar belajar kematianTersingkap perangkapHidup redup alangkah sia-siaJua diujung bingungkuMengeja segala tiba rasa ibaSegala ibadah begitu payah
Ketika Rumah Berjalan
Kakiku rumah berjalan mencari jalanNuju rumahku mencari jalan mencariRuh ditubuh yang menjagaku daguDalam tidur dan jagaku adalah kutahuTaktahu semakin tak tahu fikir rasakuBersambut rasa fikirku tersumber su-Ka lupa yang bertalu-talu dari entahSelalu nuju tak hanya ke entah aduhMalah mentah segala buah di kebunRumahku dijejak, kakiku membengkakOnak lebih tombak membrontak takSegala tak kedalam benak lelah melelahkanLuluh rasa tak tahuku.
Puisi Romance
Jenis puisi yang merupakan luapan batin penyair terhadap sang pujaan, kekasih. Puisi demikian seringkali dan banyak kita jumpai. Karena biasanya kepenyairan seseorang seringkali memang diawali dengan persoalan cinta.
Puisi romance demikian. Seringkali menawan karena nyaris dialami semua orang. Berikut contoh puisi WS. Rendra yang menulis puisi cintanya kepada sang pujaan bernama Narti.
Surat Cinta
Kutulis surat inikala hujan gerimisbagai bunyi tambur mainananak-anak pergi gaibDan angin mendesahmengeluh dan mendesahwahai, dik NartiAku cinta padamu!Kutilis surat inikala langit menangisdan dua ekor belibisbercintaan dalam kolambagai dua anak nakalJenaka dan manismengibaskan ekorserta menggetarkan bulu-bulunyaWahai, dik Nartikupinang kau menjadi istriku!Kaki-kaki hujan yang runjingmenjentuh ujungnya dibumikaki-kaki cinta yang tegasbagai logam berat gemerlapanmenempuh ke mukadan takkan kunjung diundurkanSolusi malikattelah turundi kala hujan gerimisdi Muka kaca jendelamereka berkaca dan mencuci rambutnyauntuk ke pesta.Wahai, dik Narti!dengan pakaian pengantin yang anggunbunga-bunga serta keris keramat aku ingin membimbingmu ke altaruntuk dikawinkanaku melamarmu,Kau tahu dari dulu;tiada lebih burukdan tiada lebih baikdari pada yang lain....penyair dari kehidupan sehari-hari,orang yang bermula dari katakata yang bermula darikehidupan pikir dan rasa.Semangat kehidupan yang kuatbagai berjuta-juta jarum alitmenusuki kulit langit:kantong rezeki dan restu wingit,Lalu tumpahlah gerimisAngin dan cinta
mendesah dalam gerimis
Semangat cintaku yang kuat
bagai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring menyergap
hatimu yang selalu tersenyum padaku
Engkaulah putri duyung
tawananku
putri duynug dengan
suara merdu lembut bagai angin laut,
mendesahkan bagiku!
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkaulah putri duyung
Tergeletak lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku.
Wahai putri duyung
aku menjaringmu
aku melamarmu.
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersendau gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya.
Wahai Dik Narti,
Kuingin dikau menjadi ibu dari anak-anakku!
(dari empat kumpulan Sajak, 13-16)
Puisi Dramatik
Puisi ini merupakan penggambaran dari prilaku seseorang, baik lewat lakon, dialog, maupun mololog sehingga mengandung suatu gambaran tentang kisah tertentu, puisi dramatik sering kita jumpai, ketika sang penyair ingin mengekspresikan sebagai bentuk pemanggungan sebuah puisi yang demikian seringkali memanfaatkan aspek-aspek (unsur) drama sebagai penajaman pengucapan. Contoh puisi jenis ini sebagaimana tampak dalam puisi Joko Pinurbo berikut.Kisah Seorang Nyumin
Demonstrasi telah bubar
juga gerak, teriak, gegap dan gejolak
Tak ada lagi karnaval
Bahkan pawai dan gelombang massa
telah mengiring diri
Ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
Masih bisa bertahan dari sebuah beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera spanduk, pamflet.
Telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya
Tak ada lagi karnaval
Dipelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
Koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
Dinjak-injak sepi
Tapi diatas mimbar, dipusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima pleton pasukan mengepungnya
sebutkan nama partaimu.
Saya tak punya partai dan tak butuh partai
Lalu apa yang masih ingin kamu lakukan?
Mengamuk mengancam, menggebrak, melawan?
Diam itu yang saya inginkan
Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
Mengemasi kata-kata. Pulang kerumah yang teduh
tenang Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus
bicara, menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara
Dan para demonstran bersorak, "Hidup Nyumin"
Suasana serasa senyap sesungguhnya.
Dari celana (Magelang, Indonesia Tera,1999)
Puisi Satirik
Puisi ini merupakan puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan yang terjadi. Puisi banyak kita jumpai dalam kehidupan ini, sebab kepincangan dan ketimpangan sosial masyarakat kita sangat luar biasa, jenis puisi ini, biasanya dipergunakan penyair untuk melakukan sindiran terhadap fenomena sosial yang dinilainya timpang. Puisi-puisi banyak dan sering ditulis penyair karena memang budaya sosial masyarakat memang luar biasa. Dalam bahasa Gunawan Mohammad, masyarakat kita masih memilih "budaya Pasemon". Puisi Amin Aminuddin Surabaya Ajari aku Tentang Benar, yang dapat dilihat pada kutipan berikut:Surabaya Ajari Aku Tentang Benar
Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apalagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh.
Surabaya, ajari aku apa adanya
Jangan ajari aku gampang lupa gamang dusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
Seperti orang-orang Dewan di Jakarta
Surabaya, Ajari Aku jadi wakil rakyat
Lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
Membuat kata putus benar-benar manusiawi
Menjalankan program dengan kendaraan nurani hati
Surabaya, ajari aku. Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabar
Tanpa harus berbuat, apalagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kiang sengsara
Menata hidup kian jumpalitan di ujung abad
Tanpa ada ujung, tanpa ada juntrung
Surabaya, memang boleh berdandan
Bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
Siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
Senja meremang, mentarinya seindah pagi
Di antara gedung tua dan tugu pahlawan kita
Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
Kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
Da suara rakyat adalah suata kebenaran
Tak terbantahkan. Tak terbantahkan!
Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar
Surabaya, 21 November 2005. Dari malsasa: Antologi Puisi dan Geguritan 2005
No comments:
Post a Comment