Dalam konteks pembinaan guru
menuju guru professional, berbagai upaya yang telah dilakukan dalam
pengembangan kemampuan menulis guru diantaranya adalah inovasi pembelajaran,
penulisan best practices bagi guru,
pelatihan guru, dan pemilihan guru berprestasi/guru teladan.
Menulis sering dipersepsi oleh
banyak orang khususnya guru sebagai suatu yang mustahil untuk dilakukan. Sering
muncul dalam percakapan keseharian, “saya mau menulis, tetapi bagaimana caranya?
Saya mau menulis tetapi waktu saya habis untuk mempersiapkan pembelajaran dan
memeriksa tugas anak-anak”, atau berbagai ungkapan lainnya yang menunjukkan
bahwa menulis dipersepsi sebagai sesuatu yang mustahil dilakukan. Betulkah
demikian?
Persepsi tersebut melekat pada
benak dan pikiran para guru. Mungkin kita tidak dipusingkan oleh fenomena/fakta
yang sedang menggejala, tetapi apakah penyebab guru-guru memiliki anggapan
bahwa menulis itu sebagai sesuatu yang mustahil bagi dirinya? Apakah mereka tidak
percaya diri? Apakah mereka tidak berpotensi menjadi penulis? Apakah…., apakah,
dan apakah….? Segudang pertanyaan dan dugaan muncul dalam pikiran kita akan hal
ini.
Penghambat yang sering
menghalangi seseorang untuk menulis adalah mitos-mitos negative dalam pikiran
penulis. Beberapa mitos yang dapat diidentifikasi sering muncul pada guru-guru
adalah sebagai berikut.
Menulis harus menghasilkan tulisan yang sangat bagus
Salah satu penyebab yang
menghambat guru untuk menulis adalah munculnya persepsi guru bahwa seorang
penulis harus menghasilkan suatu tulisan yang sangat bagus atau sempurna. Hal
ini sering muncul pada awal guru menulis sehingga mengakibatkan guru tidak
pernah jadi untuk menulis. Padahal menulis adalah suatu proses penyampaian
pikiran penulis kepada pembaca melalui media tulisan. Seharusnya apa yang ada
dalam pikiran penulis (guru) mengenai sebuah ide. Itulah yang dituangkan
sehingga dapat diuraikan dengan mudah.
Ketika muncul pada pikiran
penulis bahwa hasil dari tulisannya harus sangat bagus, persepsi tersebut pada
akhirnya membelenggu penulis untuk bergerak menuliskan kata-kata yang telah ada
di dalam pemikirannya.
Setiap orang dapat menjadi
penulis dan boleh menulis. Asumsi bahwa hasil tulisan itu harus sangat bagus
adalah ASUMSI YANG SALAH. Setiap tulisan memiliki karakter tersendiri,
sebagaimana setiap penulis memiliki karakter tersendiri pula. Mari kita tengok
Stepen R. Covey yang telah menulis “7 Habits of Highly Effective People”.
Sekarang ia menulis “The 8th Habit”. Apakah karyanya yang pertama
sebagai produk yang tidak bagus? Tidaklah demikian.
Perubahan tulisan dari waktu ke
waktu adalah suatu hal yang wajar. Karena pemikiran seseorang terus berkembang
sesuai dengan perkembangan informasi yang diterimanya. Bahkan perkembangan
pemikiran ini menunjukkan bahwa seseorang telah maju, bukan sebaliknya.
Untuk mengubah mitos ini maka
penulis harus meyakini bahwa hasil tulisan yang dibuatnya akan terus berkembang
sesuai dengan jam terbang penulis dalam membuat tulisannya. Penulis manapun dan
siapapun pasti akan mengalami apa yang disebut pertama kali menulis. Pada
saat-saat itulah tulisan tersebut dikategorikan sebagai tulisan pemula. Kedua,
penulis tidak boleh membandingkan tulisannya dengan tulisan lain yang sudah
lebih baik. Tentu akan tercengang, jika hasil tulisan kita dibandingkan dengan
hasil tulisan karya Renald Kasali misalnya. Seharusnya penulis melihat bahwa
banyak orang yang tidak mampu menyelesaikan tulisannya. Ketiga, penulis harus
menyadari bahwa penulis merupakan suatu proses. Artinya, ada tahapan untuk
sampai menjadi penulis ahli. Dan yang terakhir, penulis harus mampu menghargai
bahwa segala sesuatu yang diciptakan manusia tidak ada yang sempurna. Termasuk
tulisan tidak ada yang sempurna, pasti saja ada kekurangannya.
Jadi, jangan terlalu khawatir
tulisan kita akan memilki kekurangan di sana-sini. Yang harus kita lakukan
ialah terus berproses dalam menuangkan ide dan pikiran ke dalam bentuk tulisan.
Suatu saat pasti tulisan kita akan berubah menjadi baik.
Menulis itu membutuhkan banyak waktu
Mitos kedua yang sering
menghantui seseorang untuk menulis adalah asumsi bahwa menulis akan
menghabiskan waktu yang banyak, sementara guru memiliki banyak pekerjaan yang
harus diselesaikan. Entah itu memeriksa tugas-tugas siswa, menyiapkan materi
bahan ajar atau membuat persiapan pembelajaran. “Dengan semua kesibukan yang
ada, masih mungkinkah saya menulis?
Pertanyaan tersebut sering muncul
dan dijadikan alasan oleh sebagaian orang untuk tidak memulai menulis. Padahal
semua orang sudah tahu tidak ada pekerjaan yang tidak membutuhkan waktu. Asumsi
ini sering muncul karena dalam bayangan penulis, menulis itu harus sedemikian
tebalnya sehingga membutuhkan banyak waktu. Mengingat hal tersebut, seorang
guru yang akan menjadi penulis berpikir dua kali untuk memulai menulis.
Jangan-jangan saya tidak akan dapat menyelesaikan sebuah tulisan.
Hal ini bukanlah sebagai suatu
masalah. Untuk memecahkan mitos ini, penulis dapat membagi waktu yang ada
secara berkesinambungan. Asalkan menulis itu dilakukan secara terus menerus
walaupun dalam durasi waktu yang sangat singkat, pada akhirnya tulisan akan
dapat diselesaikan pula. Hal ini dapat didukung oleh keapikan penulis dalam
mengorganisasi tulisan. Penulis akan menjadi lebih bagus manakala folder khusus
untuk menyimpan tulisannya sehingga mudah untuk mengklasifikasinya berdasarkan
waktu. Mana tulisan yang pertama, kedua, dan yang terakhir ditulis.
Menulis harus mengenai hal yang spektakuler
Mitos yang ketiga yang sering
menghambat seseorang untuk menulis adalah persepsi bahwa menulis harus mengenai
hal yang spektakuler.
Banyak guru enggan menulis buku
karena beranggapan mereka harus menulis sesuatu yang sensasional dan tidak
kacangan. “Mana mungkin saya (guru) dapat menulis sebuah yang spektakuler?
Kalau hanya akan mempermalukan diri saja.” Mungkin ini ada kaitannya dengan
gengsi. Pada dasarnya, setiap orang bebas menulis apa saja, tidak perlu harus
hal yang rumit. Menuliskan sesuatu yang sederhana pun tak menjadi masalah
asalkan ia dapat mengemasnya dengan apik dan menarik sehingga menjadi bahan
bacaan yang banya disukai orang.
Hal ini lebih memungkinkan
apabila kita lihat bahwa guru selalu berinteraksi dengan peserta didik.
Pengalamannya di sekolah dapat dijadikan sebagai tulisan yang berharga dan
dapat dijadikan contoh bagi orang lain.
Pemecahan mitos ini dapat
dilakukan dengan memosisikan bahwa hal yang sederhana atau keseharian yang
dilakukan oleh guru dapat dijadikan sebagai bahan tulisan yang bermakna melalui
kemasan tulisan menarik. Manfaatnnya tidak saja bagi guru yang bersangkutan,
tetapi juga bagi orang lain.
Menulis akan berhasil ketika penulis sudah jadi pakar dalam bidangnya
Mitos ini sering muncul karena
guru kurang percaya diri terhadap potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pada
hakikatnya semua orang memiliki potensi untuk menulis.
Jika kita berpikiran bahwa
seorang penulis haruslah seorang pakar dalam bidangnya, tentunya seorang guru
adalah seorang pakar dalam mendidik. Pakar bukan berarti ahli dalam berbagai
teori, tetapi lebih pada menggeluti suatu perkara secara terus menerus dengan
serius. Kenyataannya berapa banyak orang yang dikategorikan sebagai pakar (ahli
dalam berbagai teori) dengan segudang gelar kesarjanaan, tetapi tak pernahm
memiliki karya tulisan. Hal ini karena mereka pun berpikir bahwa tulisan
seorang profesor haruslah sempurna.
Tentu saja pemikiran seperti ini
salah. Setiap orang berhak dan dapat menulis buku. Kita tidak harus menjadi
seorang ahli terlebih dahulu untuk menulis buku. Anggapan kalau menulis buku
nanti kalau sudah jadi profesor baru menulis adalah anggapan yang salah.
Menulislah bahkan sewaktu kita masih belajar.
Bagi guru, Upaya-upaya dalam
menggeluti permasalahan yang dihadapi setiap hari akan mengantarkan dirinya
menjadi orang yang paling tahu mengenai seluk beluk proses pendidikan secara
nyata. Jadi, tidak ada yang lebih ahli dalam suatu profesi kecuali mereka yang
menggelutinya setiap hari dan dibarengi dengan keseriusan.
No comments:
Post a Comment