Monday, February 26, 2018

Beberapa Mitos Yang Menghalangi Seseorang/Guru Dalam Menulis

Dalam konteks pembinaan guru menuju guru professional, berbagai upaya yang telah dilakukan dalam pengembangan kemampuan menulis guru diantaranya adalah inovasi pembelajaran, penulisan best practices bagi guru, pelatihan guru, dan pemilihan guru berprestasi/guru teladan.

Menulis sering dipersepsi oleh banyak orang khususnya guru sebagai suatu yang mustahil untuk dilakukan. Sering muncul dalam percakapan keseharian, “saya mau menulis, tetapi bagaimana caranya? Saya mau menulis tetapi waktu saya habis untuk mempersiapkan pembelajaran dan memeriksa tugas anak-anak”, atau berbagai ungkapan lainnya yang menunjukkan bahwa menulis dipersepsi sebagai sesuatu yang mustahil dilakukan. Betulkah demikian?

Persepsi tersebut melekat pada benak dan pikiran para guru. Mungkin kita tidak dipusingkan oleh fenomena/fakta yang sedang menggejala, tetapi apakah penyebab guru-guru memiliki anggapan bahwa menulis itu sebagai sesuatu yang mustahil bagi dirinya? Apakah mereka tidak percaya diri? Apakah mereka tidak berpotensi menjadi penulis? Apakah…., apakah, dan apakah….? Segudang pertanyaan dan dugaan muncul dalam pikiran kita akan hal ini.

Penghambat yang sering menghalangi seseorang untuk menulis adalah mitos-mitos negative dalam pikiran penulis. Beberapa mitos yang dapat diidentifikasi sering muncul pada guru-guru adalah sebagai berikut.

Menulis harus menghasilkan tulisan yang sangat bagus

Salah satu penyebab yang menghambat guru untuk menulis adalah munculnya persepsi guru bahwa seorang penulis harus menghasilkan suatu tulisan yang sangat bagus atau sempurna. Hal ini sering muncul pada awal guru menulis sehingga mengakibatkan guru tidak pernah jadi untuk menulis. Padahal menulis adalah suatu proses penyampaian pikiran penulis kepada pembaca melalui media tulisan. Seharusnya apa yang ada dalam pikiran penulis (guru) mengenai sebuah ide. Itulah yang dituangkan sehingga dapat diuraikan dengan mudah.

Ketika muncul pada pikiran penulis bahwa hasil dari tulisannya harus sangat bagus, persepsi tersebut pada akhirnya membelenggu penulis untuk bergerak menuliskan kata-kata yang telah ada di dalam pemikirannya.

Setiap orang dapat menjadi penulis dan boleh menulis. Asumsi bahwa hasil tulisan itu harus sangat bagus adalah ASUMSI YANG SALAH. Setiap tulisan memiliki karakter tersendiri, sebagaimana setiap penulis memiliki karakter tersendiri pula. Mari kita tengok Stepen R. Covey yang telah menulis “7 Habits of Highly Effective People”. Sekarang ia menulis “The 8th Habit”. Apakah karyanya yang pertama sebagai produk yang tidak bagus? Tidaklah demikian.

Perubahan tulisan dari waktu ke waktu adalah suatu hal yang wajar. Karena pemikiran seseorang terus berkembang sesuai dengan perkembangan informasi yang diterimanya. Bahkan perkembangan pemikiran ini menunjukkan bahwa seseorang telah maju, bukan sebaliknya.

Untuk mengubah mitos ini maka penulis harus meyakini bahwa hasil tulisan yang dibuatnya akan terus berkembang sesuai dengan jam terbang penulis dalam membuat tulisannya. Penulis manapun dan siapapun pasti akan mengalami apa yang disebut pertama kali menulis. Pada saat-saat itulah tulisan tersebut dikategorikan sebagai tulisan pemula. Kedua, penulis tidak boleh membandingkan tulisannya dengan tulisan lain yang sudah lebih baik. Tentu akan tercengang, jika hasil tulisan kita dibandingkan dengan hasil tulisan karya Renald Kasali misalnya. Seharusnya penulis melihat bahwa banyak orang yang tidak mampu menyelesaikan tulisannya. Ketiga, penulis harus menyadari bahwa penulis merupakan suatu proses. Artinya, ada tahapan untuk sampai menjadi penulis ahli. Dan yang terakhir, penulis harus mampu menghargai bahwa segala sesuatu yang diciptakan manusia tidak ada yang sempurna. Termasuk tulisan tidak ada yang sempurna, pasti saja ada kekurangannya.

Jadi, jangan terlalu khawatir tulisan kita akan memilki kekurangan di sana-sini. Yang harus kita lakukan ialah terus berproses dalam menuangkan ide dan pikiran ke dalam bentuk tulisan. Suatu saat pasti tulisan kita akan berubah menjadi baik.  

Menulis itu membutuhkan banyak waktu

Mitos kedua yang sering menghantui seseorang untuk menulis adalah asumsi bahwa menulis akan menghabiskan waktu yang banyak, sementara guru memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Entah itu memeriksa tugas-tugas siswa, menyiapkan materi bahan ajar atau membuat persiapan pembelajaran. “Dengan semua kesibukan yang ada, masih mungkinkah saya menulis?

Pertanyaan tersebut sering muncul dan dijadikan alasan oleh sebagaian orang untuk tidak memulai menulis. Padahal semua orang sudah tahu tidak ada pekerjaan yang tidak membutuhkan waktu. Asumsi ini sering muncul karena dalam bayangan penulis, menulis itu harus sedemikian tebalnya sehingga membutuhkan banyak waktu. Mengingat hal tersebut, seorang guru yang akan menjadi penulis berpikir dua kali untuk memulai menulis. Jangan-jangan saya tidak akan dapat menyelesaikan sebuah tulisan.

Hal ini bukanlah sebagai suatu masalah. Untuk memecahkan mitos ini, penulis dapat membagi waktu yang ada secara berkesinambungan. Asalkan menulis itu dilakukan secara terus menerus walaupun dalam durasi waktu yang sangat singkat, pada akhirnya tulisan akan dapat diselesaikan pula. Hal ini dapat didukung oleh keapikan penulis dalam mengorganisasi tulisan. Penulis akan menjadi lebih bagus manakala folder khusus untuk menyimpan tulisannya sehingga mudah untuk mengklasifikasinya berdasarkan waktu. Mana tulisan yang pertama, kedua, dan yang terakhir ditulis.

Menulis harus mengenai hal yang spektakuler

Mitos yang ketiga yang sering menghambat seseorang untuk menulis adalah persepsi bahwa menulis harus mengenai hal yang spektakuler.

Banyak guru enggan menulis buku karena beranggapan mereka harus menulis sesuatu yang sensasional dan tidak kacangan. “Mana mungkin saya (guru) dapat menulis sebuah yang spektakuler? Kalau hanya akan mempermalukan diri saja.” Mungkin ini ada kaitannya dengan gengsi. Pada dasarnya, setiap orang bebas menulis apa saja, tidak perlu harus hal yang rumit. Menuliskan sesuatu yang sederhana pun tak menjadi masalah asalkan ia dapat mengemasnya dengan apik dan menarik sehingga menjadi bahan bacaan yang banya disukai orang.

Hal ini lebih memungkinkan apabila kita lihat bahwa guru selalu berinteraksi dengan peserta didik. Pengalamannya di sekolah dapat dijadikan sebagai tulisan yang berharga dan dapat dijadikan contoh bagi orang lain.

Pemecahan mitos ini dapat dilakukan dengan memosisikan bahwa hal yang sederhana atau keseharian yang dilakukan oleh guru dapat dijadikan sebagai bahan tulisan yang bermakna melalui kemasan tulisan menarik. Manfaatnnya tidak saja bagi guru yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang lain.

Menulis akan berhasil ketika penulis sudah jadi pakar dalam bidangnya

Mitos ini sering muncul karena guru kurang percaya diri terhadap potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pada hakikatnya semua orang memiliki potensi untuk menulis.

Jika kita berpikiran bahwa seorang penulis haruslah seorang pakar dalam bidangnya, tentunya seorang guru adalah seorang pakar dalam mendidik. Pakar bukan berarti ahli dalam berbagai teori, tetapi lebih pada menggeluti suatu perkara secara terus menerus dengan serius. Kenyataannya berapa banyak orang yang dikategorikan sebagai pakar (ahli dalam berbagai teori) dengan segudang gelar kesarjanaan, tetapi tak pernahm memiliki karya tulisan. Hal ini karena mereka pun berpikir bahwa tulisan seorang profesor haruslah sempurna.

Tentu saja pemikiran seperti ini salah. Setiap orang berhak dan dapat menulis buku. Kita tidak harus menjadi seorang ahli terlebih dahulu untuk menulis buku. Anggapan kalau menulis buku nanti kalau sudah jadi profesor baru menulis adalah anggapan yang salah. Menulislah bahkan sewaktu kita masih belajar.

Bagi guru, Upaya-upaya dalam menggeluti permasalahan yang dihadapi setiap hari akan mengantarkan dirinya menjadi orang yang paling tahu mengenai seluk beluk proses pendidikan secara nyata. Jadi, tidak ada yang lebih ahli dalam suatu profesi kecuali mereka yang menggelutinya setiap hari dan dibarengi dengan keseriusan.

No comments:

Post a Comment