Negara Republik Indonesia
tercinta ini ketika di bawah pemerintahan Orde Baru yang sangat lama
memerintah. Maka masalah-masalah bangsa ini dari yang ringan hingga yang berat
bertahun-tahun yang belum teratasi akhirnya menimbulkan kekecewaan masyarakat. Puncak
kekecewaan itu dilampiaskan dalam suatu aksi demonstrasi untuk menumbangkan
kekuasaan Orde Baru. Suatu kekuatan tersebut dimotori oleh para mahasiswa yang
menginginkan suatu perubahan atau reformasi dibidang politik, ekonomi dan
hukum.
Peristiwa-Peristiwa Politik
Penting Pada Masa Orde Baru
Tritura (Tri Tuntutan Rakyat)
Aksi yang dilakukan oleh Gerakan
30 September segera diketahui oleh masyarakat bahwa PKI terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi-demonstrasi
menuntut kepada pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Akan
tetapi pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PKI yang
telah melakukan penghianatan terhadap bangsa dan negara. Apalagi kondisi
ekonomi yang memburuk, harga-harga membumbung tinggi sehingga menambah
penderitaan rakyat. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya
kesatuan-kesatuan aksi.
Pada tanggal 25 Oktober 1965
terbentuklah Kesatuan Aksi Mahaiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh
kesatuan-kesatuan aksi yang lain. Misalnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh
Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita
Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI).
Ketika gelombang demonstrasi yang
menuntut pembubaran PKI semakin keras pemerintah tidak segera mengambil
tindakan. Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI
memelopori kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
mendatangi DPR- GR menuntut Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat yang terkenal
dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Adapun Tri Tuntutan Rakyat itu adalah
sebagai berikut.
- Pembubaran PKI.
- Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI.
- Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Ketiga tuntutan di atas
menginginkan perubahan di bidang politik, yakni pembubaran PKI beserta
ormas-ormasnya dan pembersihan kabinet dari unsur G 30 S/PKI. Selain itu juga
keinginan adanya perubahan ekonomi yakni penurunan harga.
Surat Perintah Sebelas Maret
Aksi untuk menentang terhadap G
30 S/PKI semakin meluas menyebabkan pemerintah merasa tertekan. Oleh karena itu
setelah melakukan pembicaraan dengan beberapa anggota cabinet dan perwira ABRI
di istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Presiden Sukarno akhirnya
menyetujui memberikan perintah kepada Letnan Jenderal Suharto sebagai Panglima
Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa
pemerintah. Surat mandate ini terkenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret
1966 (Supersemar).
Sidang Umum MPRS
Sidang Umum IV MPRS yang
diselenggarakan pada tanggal 17 Juni 1966 telah menghasilkan beberapa ketetapan
yang dapat memperkokoh tegaknya Orde Baru antara lain sebagai berikut.
- Ketetapan MPRS No. IX tentang Pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret.
- Ketetapan MPRS No. XXV tentang Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya serta larangan penyebaran ajaran Marxisme-Komunisme di Indonesia.
- Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan.
- Ketetapan MPRS No. XIII tentang Pembentukan Kabinet Ampera yang ditugaskan kepada Pengemban Tap MPRS No. IX.
Nawaksara
MPRS meminta pertanggungjawaban
terhadap Presiden Sukarno dalam siding umum MPRS 1966 atas terjadinya
pemberontakan G30 S/ PKI, kemerosotan ekonomi dan moral. Untuk memenuhi
permintaan MPRS tersebut maka Presiden Sukarno menyampaikan amanatnya pada
tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara
(Sembilan pasal). Amanat tersebut oleh MPRS dipandang tidak memenuhi harapan
rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijaksanaan Presiden/Mandataris MPRS
mengenai peristiwa G30 S/PKI serta kemerosotan ekonomi dan moral. Oleh karena
itu MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi Nawaksara tersebut.
Pada tanggal 10 Januari 1967
Presiden Sukarno memberikan pelengkap Nawaksara.
Akan tetapi isinya juga tidak memuaskan banyak pihak. Oleh karena itu DPRGR
mengajukan resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari menolak Nawaksara berikut pelengkapnya.
Selanjutnya DPR-GR mengusulkan kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa
untuk memberhentikan Presiden Sukarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan
mengangkat Pejabat Presiden.
Pada tanggal 22 Februari 1967
Presiden soekarno menyerahkan kekusaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX,
Jenderal Soeharto. Peristiwa penyerahan kekuasaan yang dilakukan atas prakarsa
Presiden Soekarno ini merupak peristiwa pentig dalam upaya mengatasi situasi
konflik pada waktu itu. Penyerahan kekuasaan ini ternyata mendapat tanggapan
yang positif dari masyarakat umum dan ABRI.
Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Indonesia
pada masa yang condong kepada salah satu blok pada masa demokrasi terpimpin
merupakan pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu Orde Baru
bertekad untuk mengoreksi bentuk-bentuk penyelewengan politik luar negeri
Indonesia pada masa Orde Lama. Politik luar negeri yang memihak kepada salah
satu blok dinyatakan salah oleh MPRS (kemudian MPR). Indonesia harus kembali ke
politik luar negeri yang bebas dan aktif serta tidak memencilkan diri.
Sebagai landasan kebijakan
politik luar negeri Orde Baru telah ditetapkan dalam Tap No. XII/ MPRS/1996.
Menurut rumusan yang telah ditetapkan MPRS, maka jelaslah bahwa politik luar
negeri RI secara keseluruhan mengabdikan diri kepada kepentingan nasional. Sesuai
dengan kepentingan nasional, maka politik luar negeri RI yang bebas dan aktif
tidak dibenarkan memihak kepada salah satu blok ideologi yang ada. Namun
bukanlah politik yang netral, tetapi suatu politik luar negeri yang tidak
mengikat diri pada salah satu blok ataupun pakta militer.
Sebagai wujud dari pelaksanaan
politik luar negeri bebas dan aktif pada masa Orde Baru melakukan
langkah-langkah sebagai berikut.
- Menghentikan politik konfrontasi dengan Malaysia setelah ditandatanganinya persetujuan untuk menormalisasi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966. Selanjutnya sejak 31 Agustus 1967 kedua pemerintah telah membuka hubungan diplomatik pada tingkat Kedutaan Besar.
- Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 28 September 1966 setelah meninggalkan PBB sejak 1 Januari 1965. Sebab selama menjadi anggota badan dunia, yakni sejak 1950-1964. Indonesia telah menarik banyak manfaatnya.
- Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya sebuah organisasi kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967.
Pemilihan Umum
Pemilihan Umum pada masa Orde
Baru pertama kali dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu pada waktu itu
berbeda dengan pemilu tahun1955 karena telah menggunakan sistem distrik bukan
sistem proporsional. Dalam sistem distrik ini partai-partai harus memperebutkan
perwakilan yang disediakan untuk sesuatu daerah. Suara yang terkumpul di suatu
daerah tidak dapat dijumlahkan dengan suatu partai itu yang terkumpul di daerah
lain.
Pemilu tahun 1977 diikuti oleh 10
kontestan, yakni PKRI, NU, Parmusi, Parkindo, Murba, PNI, Perti, IPKI, dan
Golkar. Dalam pemilu kali ini dimenangkan oleh Golkar.
Pemilu berikutnya dilaksanakan
pada tanggal 2 Mei 1977 yang kali ini diikuti oleh 3 organisasi peserta pemilu,
yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
Selanjutnya pemilu-pemilu di
Indonesia selama Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golongan Karya.
Sidang MPR Tahun 1973
Dengan Pemilu I 1971, maka untuk
pertama kali RI mempunyai MPR tetap, yakni bukan MPRS. Pimpinan MPR dan DPR
hasil Pemilu I adalah Idham Chalid. Selanjutnya MPR ini mengadakan siding pada
bulan Maret 1973 yang menghasilkan beberapa keputusan di antaranya sebagi
berikut.
- Tap IV /MPR/73 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai pengganti Manipol.
- Tap IX /MPR/73 tentang pemilihan Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI.
- Tap XI /MPR/73 tentang pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Wakil Presiden RI.
Dengan demikian RI telah memiliki
Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan amanat UUD 1945.
No comments:
Post a Comment