Sarekat Dagang Islam (SDI)
Tiga tahun setelah berdirinya
Budi Utomo, didirikan pula Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta. Pendirinya
adalah H. Samanhoedi. SDI memilki ciri keislaman dan ekonomis. Tujuannya adalah
melindungi dan menjamin kepentingan pedagang muslim terhadap ancaman dan
persaingan dengan pedagang Tiongkok.
Atas usul H. O. S Tjokroaminoto
pada 10 September 1912, kata dagang dalam SDI dihilangkan sehingga menjadi
Sarekat Islam. Seperti SDI, basis SI adalah keislaman. SI bertujuan mengembangkan
jiwa berdagang di kalangan kaum muslimin, melepas ketergantungan ekonomi dari
bangsa asing, member bantuan bagi pedagang muslim yang kurang modal, memajukan
pengajaran, dan berjuang mengangkat derajat rakyat bumiputera. Melalui tujuan
ini dapat terlihat bahwa mulanya SI bukan organisasi politik.
Lambat laun SI pun bergerak dalam
bidang politik. Dalam kongres SI tahun 1916, H.O. S. Tjokroaminoto mengatakan
perlu adanya pemerintahan sendiri bagi rakyat. Sejak itu, SI mulai memasuki
wilayah politik walaupun perjuangannya masih terbatas pada kepentingan politik
kaum muslim.
Dalam perkembangannya , Sarekat
Islam mengalami perpecahan. Tahun 1916. SI disusupi ideologi komunisme lewat
cabangnya di Semarang yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono. Kedua tokoh ini
juga menjadi anggota ISDV (Indische Social Democratische Vereeniging).
Akhirnya, SI pecah menjadi SI yang dipimpin Tjokroaminoto, H. Agus Salim, dan Abdoel
Moeis (sering disebut SI Putih) dan SI yang sosialis/komunis pimpinan Semaun
dan Darsono (sering disebut SI Merah). Dalam kongresnya di Madiun, SI berubah
menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pada tahun 1927, SI berubah lagi menjadi
Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). SI sosialis kemudian berganti nama
menjadi Sarekat Rakyat. Sarekat Rakyat ini kemudian menjadi pendukung kuat
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Muhammadiyah
K. H. Ahmad Dahlan melihat segi
lain yang harus diperbaharui dalam Islam, yaitu modernisasi serta pemurnian
agama Islam dari unsur-unsur non-Islam. K. H. Ahmad Dahlan melihat Islam di
Jawa telah bercampur dengan unsur-unsur non-Islam. Oleh karena itu, perlu
dimurnikan dan dimodernisasi agar tidak ketinggalan zaman. Hal-hal inilah yang
membuat K. H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912.
Modernisasi dan pemurnian agama oleh
Muhammadiyah ditempuh dengan mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah
tersebut bersifat modern agar tidak ketinggalan dari dunia Barat, tetapi masih
bersifat isalami. Artinya, ilmu pengetahuan modern harus dipadu dengan ajaran
Islam yang murni. Selain mendirikan sekolah-sekolah. Muhammadiyah juga
menyediakan pelayanan kepada umat, seperti membangun rumah sakit, rumah yatim
piatu, dan rumah bersalin. Karena lebih banyak bergerak dalam bidang
pendidikan, sosial, dan ekonomi, organisasi ini tidak menghadapi persoalan
dengan pihak pemerintah kolonial.
Nahdlatul Ulama (NU)
Gerakan modernisasi yang
dipelopori Muhammadiyah mendapat tantangan dari kelompok Islam lain yang lebih
bersifat konservatif dalam hal ilmu pengetahuan, tetapi lebih terbuka
(akulturatif) dalam hal budaya lokal. Kelompok terakhir ini kemudian mendirikan
Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kelompok ini dipimpin oleh K. H. Hasjim
Asjari. Tujuan pendirian organisasi ini adalah mempertahankan kepentingan kaum
muslim tradisional. Untuk itu, organisasi ini mendukung kemajuan
sekolah-sekolah Islam tradisional, pemeliharaan kaum fakir miskin, dan
usaha-usaha ekonomi. Organisasi ini dengan cepat mendapat sambutan dari rakyat
Indonesia, khususnya di Jawa dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 1942, organisasi
NU mempunyai 120 cabang di Jawa dan Kalimantan Selatan. Sebagian besar anggota
organisasi ini adalah para pedagang.
Organisasi Pergerakan yang Bersifat Nasional
Indesche Partij (IP)
Indische Partij (IP) didirikan di
Bandung oleh tiga serangkai, yaitu E.F.E. Douwes Dekker (dikenal juga dengan
nama Danoerdirjo Setyaboedhi), dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan R.M. Soerwadi
Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Tujuan IP adalah mewujudkan Hindia
(Indonesia) yang merdeka. Cara-cara yang dipakai IP untuk mencapai tujuan
organisasi adalah mengembangkan dan memelihara nasionalisme Hindia,
mengembangkan dan menghidupkan kesadaran diri dan kepercayaan kepada diri
sendiri, memberantas rasa kesombongan suku, fanatisme agama yang berlebihan,
memperjuangkan persamaan hak untuk semua orang Hindia, serta mengadakan
unifikasi pengetahuan budaya, politik, sosial, dan ekonomi bagi seluruh rakyat
Hindia.
Perhimpunan Indonesia (PI)
Pada tahun 1908, sejumlah
mahasiswa Hindia, seperti Soetan Kasayangan dan R.M. Noto Soeroto, mendirikan
perkumpulan yang mereka beri nama Indische Vereening. Nama Indische ini dipakai
sesuai dengan nama resmi untuk tanaha jajahan Belanda di Nusantara. Setelah
Perang Dunia I berakhir dan kedatangan mantan pimpinan Indische Partij (Ki
Hadjar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo) kesadaran nasional
para anggota PI tentang hak bangsa Hindia untuk menentukan nasibnya sendiri
semakin kuat. Pada tahun 1922, di bawah pimpinan Moh. Hatta dan A. Soebardjo,
mereka mengubah nama perkumpulan menjadi Perhimpunan Indonesia. Sejak tahun
1925, mereka memakai nama Indonesia, yaitu Indonesische Vereeniging dan juga
nama Perhimpunan Indonesia. Dengan memakai nama Indonesia, organisasi ini makin
tegas berjuang dalam bidang politik untuk kemerdekaan Indonesia.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
Ir. Soekarno dengan sejumlah
temannya mendirikan partai politik yang bernama Partai Nasional Indonesia.
Berdirinya Partai Nasional Indonesia bermula dari Algemene Studie Club
(Kelompok Studi Umum) di Bandung. Rapat pembentukan dihadiri oleh Ir. Soekarno,
Soedjadi, Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo, Mr. Moediarto, dan Mr. Soenarjo
(ketiganya eks PI). Tujuan pokoknya adalah mencapai Indonesia merdeka dan
membebaskan para tahanan Digul. Caranya, memadukan semangat kebangsaan menjadi
kekuatan nasional dengan meningkatkan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri.
Oleh karena itu, PNI bersifat nonkooperatif. Artinya, PNI tidak mau bekerja
sama dengan Belanda. PNI tidak mau duduk dalam dewan-dewan yang diadakan oleh
pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda khawatir bahwa
pengaruh Soekarno akan mendorong rakyat menuntut kemerdekaan. Oleh karena itu,
berbagai ancaman disampaikan kepada PNI. Namun, ancaman Belanda tidak
dihiraukan. Dalam rapat di Yogyakarta pada 29 Desember 1929, Soekarno dan
teman-temannya ditangkap dan dibawa ke pengadilan Bandung. Dalam sidang
pengadilan itu, Soekarno menyampaikan pidato pembelaan yang terkenal dengan
sebutan “Indonesia Menggugat”. Namun demikian, pengadilan akhirnya menjatuhkan
hukuman penjara selama empat tahun bagi Soekarno. Demikian pula bagi
teman-temannya, seperti Maskoen, Soepriadinata, dan Gatot Mangoenpradja.
No comments:
Post a Comment