Thursday, February 15, 2018

Organisasi Pergerakan yang Bersifat Keagamaan dan Bersifat Nasional



Sarekat Dagang Islam (SDI)

Tiga tahun setelah berdirinya Budi Utomo, didirikan pula Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta. Pendirinya adalah H. Samanhoedi. SDI memilki ciri keislaman dan ekonomis. Tujuannya adalah melindungi dan menjamin kepentingan pedagang muslim terhadap ancaman dan persaingan dengan pedagang Tiongkok.

Atas usul H. O. S Tjokroaminoto pada 10 September 1912, kata dagang dalam SDI dihilangkan sehingga menjadi Sarekat Islam. Seperti SDI, basis SI adalah keislaman. SI bertujuan mengembangkan jiwa berdagang di kalangan kaum muslimin, melepas ketergantungan ekonomi dari bangsa asing, member bantuan bagi pedagang muslim yang kurang modal, memajukan pengajaran, dan berjuang mengangkat derajat rakyat bumiputera. Melalui tujuan ini dapat terlihat bahwa mulanya SI bukan organisasi politik.

Lambat laun SI pun bergerak dalam bidang politik. Dalam kongres SI tahun 1916, H.O. S. Tjokroaminoto mengatakan perlu adanya pemerintahan sendiri bagi rakyat. Sejak itu, SI mulai memasuki wilayah politik walaupun perjuangannya masih terbatas pada kepentingan politik kaum muslim.

Dalam perkembangannya , Sarekat Islam mengalami perpecahan. Tahun 1916. SI disusupi ideologi komunisme lewat cabangnya di Semarang yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono. Kedua tokoh ini juga menjadi anggota ISDV (Indische Social Democratische Vereeniging). Akhirnya, SI pecah menjadi SI yang dipimpin Tjokroaminoto, H. Agus Salim, dan Abdoel Moeis (sering disebut SI Putih) dan SI yang sosialis/komunis pimpinan Semaun dan Darsono (sering disebut SI Merah). Dalam kongresnya di Madiun, SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pada tahun 1927, SI berubah lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). SI sosialis kemudian berganti nama menjadi Sarekat Rakyat. Sarekat Rakyat ini kemudian menjadi pendukung kuat Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Muhammadiyah

K. H. Ahmad Dahlan melihat segi lain yang harus diperbaharui dalam Islam, yaitu modernisasi serta pemurnian agama Islam dari unsur-unsur non-Islam. K. H. Ahmad Dahlan melihat Islam di Jawa telah bercampur dengan unsur-unsur non-Islam. Oleh karena itu, perlu dimurnikan dan dimodernisasi agar tidak ketinggalan zaman. Hal-hal inilah yang membuat K. H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912.

Modernisasi dan pemurnian agama oleh Muhammadiyah ditempuh dengan mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah tersebut bersifat modern agar tidak ketinggalan dari dunia Barat, tetapi masih bersifat isalami. Artinya, ilmu pengetahuan modern harus dipadu dengan ajaran Islam yang murni. Selain mendirikan sekolah-sekolah. Muhammadiyah juga menyediakan pelayanan kepada umat, seperti membangun rumah sakit, rumah yatim piatu, dan rumah bersalin. Karena lebih banyak bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi, organisasi ini tidak menghadapi persoalan dengan pihak pemerintah kolonial.

Nahdlatul Ulama (NU)

Gerakan modernisasi yang dipelopori Muhammadiyah mendapat tantangan dari kelompok Islam lain yang lebih bersifat konservatif dalam hal ilmu pengetahuan, tetapi lebih terbuka (akulturatif) dalam hal budaya lokal. Kelompok terakhir ini kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kelompok ini dipimpin oleh K. H. Hasjim Asjari. Tujuan pendirian organisasi ini adalah mempertahankan kepentingan kaum muslim tradisional. Untuk itu, organisasi ini mendukung kemajuan sekolah-sekolah Islam tradisional, pemeliharaan kaum fakir miskin, dan usaha-usaha ekonomi. Organisasi ini dengan cepat mendapat sambutan dari rakyat Indonesia, khususnya di Jawa dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 1942, organisasi NU mempunyai 120 cabang di Jawa dan Kalimantan Selatan. Sebagian besar anggota organisasi ini adalah para pedagang.

Organisasi Pergerakan yang Bersifat Nasional

 

Indesche Partij (IP)

Indische Partij (IP) didirikan di Bandung oleh tiga serangkai, yaitu E.F.E. Douwes Dekker (dikenal juga dengan nama Danoerdirjo Setyaboedhi), dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan R.M. Soerwadi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Tujuan IP adalah mewujudkan Hindia (Indonesia) yang merdeka. Cara-cara yang dipakai IP untuk mencapai tujuan organisasi adalah mengembangkan dan memelihara nasionalisme Hindia, mengembangkan dan menghidupkan kesadaran diri dan kepercayaan kepada diri sendiri, memberantas rasa kesombongan suku, fanatisme agama yang berlebihan, memperjuangkan persamaan hak untuk semua orang Hindia, serta mengadakan unifikasi pengetahuan budaya, politik, sosial, dan ekonomi bagi seluruh rakyat Hindia.

Perhimpunan Indonesia (PI)

Pada tahun 1908, sejumlah mahasiswa Hindia, seperti Soetan Kasayangan dan R.M. Noto Soeroto, mendirikan perkumpulan yang mereka beri nama Indische Vereening. Nama Indische ini dipakai sesuai dengan nama resmi untuk tanaha jajahan Belanda di Nusantara. Setelah Perang Dunia I berakhir dan kedatangan mantan pimpinan Indische Partij (Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo) kesadaran nasional para anggota PI tentang hak bangsa Hindia untuk menentukan nasibnya sendiri semakin kuat. Pada tahun 1922, di bawah pimpinan Moh. Hatta dan A. Soebardjo, mereka mengubah nama perkumpulan menjadi Perhimpunan Indonesia. Sejak tahun 1925, mereka memakai nama Indonesia, yaitu Indonesische Vereeniging dan juga nama Perhimpunan Indonesia. Dengan memakai nama Indonesia, organisasi ini makin tegas berjuang dalam bidang politik untuk kemerdekaan Indonesia.

Partai Nasional Indonesia (PNI)

Ir. Soekarno dengan sejumlah temannya mendirikan partai politik yang bernama Partai Nasional Indonesia. Berdirinya Partai Nasional Indonesia bermula dari Algemene Studie Club (Kelompok Studi Umum) di Bandung. Rapat pembentukan dihadiri oleh Ir. Soekarno, Soedjadi, Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo, Mr. Moediarto, dan Mr. Soenarjo (ketiganya eks PI). Tujuan pokoknya adalah mencapai Indonesia merdeka dan membebaskan para tahanan Digul. Caranya, memadukan semangat kebangsaan menjadi kekuatan nasional dengan meningkatkan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri. Oleh karena itu, PNI bersifat nonkooperatif. Artinya, PNI tidak mau bekerja sama dengan Belanda. PNI tidak mau duduk dalam dewan-dewan yang diadakan oleh pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda khawatir bahwa pengaruh Soekarno akan mendorong rakyat menuntut kemerdekaan. Oleh karena itu, berbagai ancaman disampaikan kepada PNI. Namun, ancaman Belanda tidak dihiraukan. Dalam rapat di Yogyakarta pada 29 Desember 1929, Soekarno dan teman-temannya ditangkap dan dibawa ke pengadilan Bandung. Dalam sidang pengadilan itu, Soekarno menyampaikan pidato pembelaan yang terkenal dengan sebutan “Indonesia Menggugat”. Namun demikian, pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman penjara selama empat tahun bagi Soekarno. Demikian pula bagi teman-temannya, seperti Maskoen, Soepriadinata, dan Gatot Mangoenpradja.

No comments:

Post a Comment