Thursday, August 4, 2016

Cerpen : Seribu Wajah (Siti Tasniah)




Mereka menatap tak percaya, seolah apa yang kuucapkan datang dari dunia lain. Tapi terus saja ocehan itu keluar dari mulutku. Bahkan rimanya semakin menantang mata melotot yang jumlahnya tak sedikit. Orang harus bermimpi agar tahu cara mewujudkannya, orang harus melangkah sejengkal agar tahu rasanya berlari, dan orang harus untuk tahu rasanya sakit dan obatnya. Uffhhhh tarikan nafas panjang itu pertanda sedang kuambil jeda untuk lanjut berkicau lagi.

“Stop, stop dulu Tasniah.” Tersengal suamiku menahan diri dan menahan agar suaraku tidak membesar di hadapan orang-orang ini. “Sayang…saya percaya pada semua yang kau katakana barusan, tapi adakah kau bisa mengerti sedikit bahwa itu berat.”

“Maaf bila senyumku kali ini padamu tidak ikhlas seperti biasanya.” Kembali kupotong pembicaraan orang yang sangat kuhargai itu. Berat bukan berarti tidak ada kekuatan yang bias mengangkatnya. Saya mengerti yang saya ucapkan susah untuk mewujudkannya, sebenarnya di situlah letak tantangannya. “Kenapa orang harus sekolah, kata harus itu karena apa? Karena sekolah itu berat! Semuanya akan terasa berat kalau kita tidak berani melakukannya. Sekarang siapa yang berani diantara bapak ibu saudara saudari sekalian?” Perkataanku kali ini sepertinya berat. Terbukti jemari suamiku langsung mencari celah diantara jariku dan membawaku menjauh dari kerumunan orang yang sedari tadi seperti mendengar khutbah tak berujung dariku.

“Sayang….!” Aku tersenyum padanya pada lelakiku yang kuyakini amat paham perempuan seperti apa yang dipilihnya menjadi pendamping hidupnya. Kuremas jarinya sebuah kalimat kubisikkan di telinganya. “Sayang kemustahilan yang masuk akal niscaya lebih baik dari kemungkinan yang tak meyakinkan”. Bola matanya membesar sedetik dua detik, tiga detik sebelum dia tersenyum penuh kesungguhan ke arahku.

Siang yang basah mereda berganti rintik halus dan sepoi bayu yang seolah takut membuat bunga markisa sepanjang koridor sekolah yang baru mekar luruh ke bumi karena hempasannya. Bahkan alam pun bias melunak member harapan bunga-bunga kecil itu untuk mekar sempurna member warna pada hari.

Permintaanku cukup sederhana sebenarnya meminta rapat dewan guru kali ini untuk kembali menghidupkan kelas bahasa kelas budaya orang dulu mengenalnya. Tapi terdengar aneh karena kelas bahasa telah beberapa tahun di non aktifkan di kabupaten tanah tumpah darahku ini. Konon kelas bahasa hanyalah kelas dengan kumpulan siswa yang “tidak diharap” hadir dan eksis di sekolah tersebut. Kelas bahasa hanya akan menjadi momok yang menakutkan. Hal yang akan membuat prestise sekolah mengalami pendangkalan mutu di mata orang sedaerah. Sudah terlalu banyak kisah pilu yang dihasilkan alumni-alumni kelas bahasa di SMA tidak pandang negeri atau milik yayasan swasta sekalipun. Mereka menghindari pembentukan kembali kelas bahasa dengan pertimbangan nama baik sekolah harus diselamatkan dengan mengorbankan kelas bahasa.

Dan apa aku salah bila semua itu membuatku heran bercampur aduk dengan kesal kenapa kelasnya yang dipersalahkan diberi vonis mematikan. Kejam!

Mengapa bukan orang dengan status professional digaji karena keprofesionalannya itu mencari sebab yang lebih pada pencegahan penyakit kronis kelas bahasa bukan malah tersenyum dan asyik saja kelas-kelas lain dibuka bahkan ditambah meski tidak proporsional lagi asal bukan menghadirkan kembali kelas bahasa. 

Hatiku kembali teriris dan kini saatnya luka teriris itu sembuh bukan dengan membalutnya membuatnya tampak sembuh tapi tidak, bukan dengan mengolesinya dengan berbagai anti bakteri biar kuman lain tidak hinggap tapi kutemukan cara mengobatinya dengan membuka lebar luka itu memperlihatkannya ke muka orang ini lukaku, dan akan kunikmati setiap wajah yang memandangnya di situlah ketemukan obatnya  ya… mata orang yang memandangnya adalah obatnya, sebab mata itu tak bias bohong, mana mata yang berpura-pura kasihan dan mana mata yang memang peduli.

Suasana ruang guru kelihatan sedikit tegang ketika kulangkahkan kaki kembali ke sana diapit lengan kekar suamiku, mereka memandangku dengan sedikit menantang mungkin dipikirnya aku sudah menyerah.
Hmm… aku tak sedang melegakan tenggorokanku, tapi sekadar mengingatkan yang hadir di tempat ini bahwa suaraku masih tersisa 90% dari keraguan mereka mendengarku angkat bicara lagi.

Kita harus membuka kelas bahasa meskipun status sekolah kita adalah sekolah baru, ya….baru angkatan pertama justru dengan mereka adalah angkatan perdana selayaknya kita memberi ruang kepada mereka untuk bisa berbangga pada dunia bahwa merekalah generasi pertama. Kita tidak perlu khawatir kelas bahasa akan mencoreng muka kita sebagai gurunya karena mereka adalah anak kita  yang bias melahirkan mereka kembali menjadi manusia yang besar dengan laku prestasi dan akhlaqnya. Mendidik mereka menjadi manusia terdidik, melatih mereka menjadi manusia terlatih, mendampingi mereka menjadi manusia pendamping yang sempurna dan mari kita tunjukkan pada mereka yang menasbihkan kelas bahasa bahwa kelas bahasa yang ada di sini adalah kelas yang siap tumbuh, membesar, merindangi dan menghangatkan. Pemberi oksigen, pemberi nafas baru bukan buatan tapi menyejukkan. Kututup pidato persuasifku dengan salam yang ramah. Bahkan aku sendiri pun heran suara murni itu bisa keluar dari relung hatiku tanpa terbias emosi dan kedongkolan.    
Prok….prok….prokkk prokk prokk

Satu tepuk tangan oh bukan dua tepuk tangan bergelora dalam ruangan ini, satu kudapat dari suamiku orang yang telah banyak belajar memahami setiap keinginanku dan yang kedua tepuk tangan itu bukan tanganku, tapi tangan penentu kebijakan di sekolah ini. Mataku takjub dengan pemandangan ini seperti baru bertemu oase setelah perjalanan panjang nan melelahkan. Semua mata tertuju kepada tepuk tangan kedua itu mata yang menyiratkan keheranan bersama beribu tanda Tanya yang kuyakini terpental saat tepuk tangan itu bergelora.

Kita wajib mengapresiasi sesuatu yang diyakini mampu membawa pada kemaslahatan yang besar dan saya kira memang ini adalah peluang besar bagi kita untuk pembukaan kelas bahasa. Kalau sekolah lain meniadakan, kita justru membuka pintu selebar-lebarnya. Sebuah kalimat paresiasi yang singkat tapi sangat sarat perintah.

Mataku beralih pada mata lain yang tentu akan bergejolak. Benar saja hamper semua tangan kecuali tangan kami bertiga tentunya mengacungkan jari. Silakan pak dengan suara merendah pimpinan rapat sekaligus penentu kebijakan mempersilahkan salah seorang dari mereka.

“Aduh pak sepertinya keputusan tadi bias ditinjau kembali, bagaimana dengan peminat kelas bahasa itu sendiri pak? Kalau angkatan pertama ini tidak memilih berarti percuma kelas bahasa dibuka. “Suaranya meski dipaksa ringan tetap saja kedengaran memilukan di telingaku. Tapi ini bukan kewajiban dan hakku untuk menjawabnya.

“Ya seperti yang bapak katakan ini sudah menjadi keputusan, dan mengenai peminatnya yah bagaimana kita tahu ada peminatnya kalau kelasnya tidak dibuka. Dengan senyum, kalimat itu terlontar dari penentu kebijakan. Sangat arif dan membuatku nyaris meledak tertawa.

Ketika kau berani bermimpi
Maka beranilah untuk bangun
Bukan untuk melanjutkan mimpi
Dengan khayal yang tak selesai
Tapi bangunlah untuk menyelesaikan mimpi itu bersama yakinmu
(5 larik puisi tercipta begitu saja di kertas catatan rapatku hari ini)

Seperti calon legislatif kampanye dan kampanye. Itulah yang kulakukan berdua dengan suami. Bedanya tak kutaburi mereka janji-janji politik yang bohongnya di atas 50%, tapi kupompa semangat mereka untuk belajar memacu diri meski dengan status siswa desa yang terbiasa jadi penonton. Dan andai Bung Karno masih hidup entah senyum apa yang diberikannya pada usahaku mencari peminat kelas bahasa. Ketika kalian memilih kelas bahasa, kita bersama akan membuat sebuah catatan perjalanan dalam sebuah buku tentang “Seribu Wajah” tentang cinta kita pada hidup tentang mimpi yang perlu diselesaikan. Sebab hidup adalah pilihan anakku !!!

Dengarkanlah…
Pada seribu wajah
Biarkan mimpi itu menemanimu
Memberi ruang mengambil nafas
Mencintaimu dengan tak bosan
Kau tak lantas jadi lain
Tidak membesar pun tidak mengecil
Kau tetap anak-anakku yang kulahirkan kembali
Untuk meyelesaikan mimpimu…..
Bantaeng, 15 Januari 2004

No comments:

Post a Comment