Mereka menatap tak percaya,
seolah apa yang kuucapkan datang dari dunia lain. Tapi terus saja ocehan itu
keluar dari mulutku. Bahkan rimanya semakin menantang mata melotot yang
jumlahnya tak sedikit. Orang harus bermimpi agar tahu cara mewujudkannya, orang
harus melangkah sejengkal agar tahu rasanya berlari, dan orang harus untuk tahu
rasanya sakit dan obatnya. Uffhhhh tarikan nafas panjang itu pertanda sedang
kuambil jeda untuk lanjut berkicau lagi.
“Stop, stop dulu Tasniah.”
Tersengal suamiku menahan diri dan menahan agar suaraku tidak membesar di
hadapan orang-orang ini. “Sayang…saya percaya pada semua yang kau katakana
barusan, tapi adakah kau bisa mengerti sedikit bahwa itu berat.”
“Maaf bila senyumku kali ini
padamu tidak ikhlas seperti biasanya.” Kembali kupotong pembicaraan orang yang
sangat kuhargai itu. Berat bukan berarti tidak ada kekuatan yang bias
mengangkatnya. Saya mengerti yang saya ucapkan susah untuk mewujudkannya,
sebenarnya di situlah letak tantangannya. “Kenapa orang harus sekolah, kata
harus itu karena apa? Karena sekolah itu berat! Semuanya akan terasa berat
kalau kita tidak berani melakukannya. Sekarang siapa yang berani diantara bapak
ibu saudara saudari sekalian?” Perkataanku kali ini sepertinya berat. Terbukti
jemari suamiku langsung mencari celah diantara jariku dan membawaku menjauh
dari kerumunan orang yang sedari tadi seperti mendengar khutbah tak berujung
dariku.
“Sayang….!” Aku tersenyum padanya
pada lelakiku yang kuyakini amat paham perempuan seperti apa yang dipilihnya menjadi
pendamping hidupnya. Kuremas jarinya sebuah kalimat kubisikkan di telinganya.
“Sayang kemustahilan yang masuk akal niscaya lebih baik dari kemungkinan yang
tak meyakinkan”. Bola matanya membesar sedetik dua detik, tiga detik sebelum
dia tersenyum penuh kesungguhan ke arahku.
Siang yang basah mereda berganti
rintik halus dan sepoi bayu yang seolah takut membuat bunga markisa sepanjang
koridor sekolah yang baru mekar luruh ke bumi karena hempasannya. Bahkan alam
pun bias melunak member harapan bunga-bunga kecil itu untuk mekar sempurna
member warna pada hari.
Permintaanku cukup sederhana
sebenarnya meminta rapat dewan guru kali ini untuk kembali menghidupkan kelas
bahasa kelas budaya orang dulu mengenalnya. Tapi terdengar aneh karena kelas
bahasa telah beberapa tahun di non aktifkan di kabupaten tanah tumpah darahku
ini. Konon kelas bahasa hanyalah kelas dengan kumpulan siswa yang “tidak
diharap” hadir dan eksis di sekolah tersebut. Kelas bahasa hanya akan menjadi
momok yang menakutkan. Hal yang akan membuat prestise sekolah mengalami
pendangkalan mutu di mata orang sedaerah. Sudah terlalu banyak kisah pilu yang
dihasilkan alumni-alumni kelas bahasa di SMA tidak pandang negeri atau milik
yayasan swasta sekalipun. Mereka menghindari pembentukan kembali kelas bahasa
dengan pertimbangan nama baik sekolah harus diselamatkan dengan mengorbankan
kelas bahasa.
Dan apa aku salah bila semua itu
membuatku heran bercampur aduk dengan kesal kenapa kelasnya yang dipersalahkan
diberi vonis mematikan. Kejam!
Mengapa bukan orang dengan status
professional digaji karena keprofesionalannya itu mencari sebab yang lebih pada
pencegahan penyakit kronis kelas bahasa bukan malah tersenyum dan asyik saja
kelas-kelas lain dibuka bahkan ditambah meski tidak proporsional lagi asal bukan
menghadirkan kembali kelas bahasa.
Hatiku kembali teriris dan kini saatnya luka
teriris itu sembuh bukan dengan membalutnya membuatnya tampak sembuh tapi
tidak, bukan dengan mengolesinya dengan berbagai anti bakteri biar kuman lain
tidak hinggap tapi kutemukan cara mengobatinya dengan membuka lebar luka itu
memperlihatkannya ke muka orang ini lukaku, dan akan kunikmati setiap wajah
yang memandangnya di situlah ketemukan obatnya ya… mata orang yang memandangnya adalah
obatnya, sebab mata itu tak bias bohong, mana mata yang berpura-pura kasihan
dan mana mata yang memang peduli.
Suasana ruang guru kelihatan
sedikit tegang ketika kulangkahkan kaki kembali ke sana diapit lengan kekar
suamiku, mereka memandangku dengan sedikit menantang mungkin dipikirnya aku
sudah menyerah.
Hmm… aku tak sedang melegakan
tenggorokanku, tapi sekadar mengingatkan yang hadir di tempat ini bahwa suaraku
masih tersisa 90% dari keraguan mereka mendengarku angkat bicara lagi.
Kita harus membuka kelas bahasa meskipun status sekolah kita adalah sekolah baru, ya….baru angkatan pertama justru dengan mereka adalah angkatan perdana selayaknya kita memberi ruang kepada mereka untuk bisa berbangga pada dunia bahwa merekalah generasi pertama. Kita tidak perlu khawatir kelas bahasa akan mencoreng muka kita sebagai gurunya karena mereka adalah anak kita yang bias melahirkan mereka kembali menjadi manusia yang besar dengan laku prestasi dan akhlaqnya. Mendidik mereka menjadi manusia terdidik, melatih mereka menjadi manusia terlatih, mendampingi mereka menjadi manusia pendamping yang sempurna dan mari kita tunjukkan pada mereka yang menasbihkan kelas bahasa bahwa kelas bahasa yang ada di sini adalah kelas yang siap tumbuh, membesar, merindangi dan menghangatkan. Pemberi oksigen, pemberi nafas baru bukan buatan tapi menyejukkan. Kututup pidato persuasifku dengan salam yang ramah. Bahkan aku sendiri pun heran suara murni itu bisa keluar dari relung hatiku tanpa terbias emosi dan kedongkolan.Prok….prok….prokkk prokk prokk
Satu tepuk tangan oh bukan dua
tepuk tangan bergelora dalam ruangan ini, satu kudapat dari suamiku orang yang
telah banyak belajar memahami setiap keinginanku dan yang kedua tepuk tangan
itu bukan tanganku, tapi tangan penentu kebijakan di sekolah ini. Mataku takjub
dengan pemandangan ini seperti baru bertemu oase setelah perjalanan panjang nan
melelahkan. Semua mata tertuju kepada tepuk tangan kedua itu mata yang
menyiratkan keheranan bersama beribu tanda Tanya yang kuyakini terpental saat
tepuk tangan itu bergelora.
Kita wajib mengapresiasi sesuatu
yang diyakini mampu membawa pada kemaslahatan yang besar dan saya kira memang
ini adalah peluang besar bagi kita untuk pembukaan kelas bahasa. Kalau sekolah
lain meniadakan, kita justru membuka pintu selebar-lebarnya. Sebuah kalimat paresiasi
yang singkat tapi sangat sarat perintah.
Mataku beralih pada mata lain
yang tentu akan bergejolak. Benar saja hamper semua tangan kecuali tangan kami
bertiga tentunya mengacungkan jari. Silakan pak dengan suara merendah pimpinan
rapat sekaligus penentu kebijakan mempersilahkan salah seorang dari mereka.
“Aduh pak sepertinya keputusan
tadi bias ditinjau kembali, bagaimana dengan peminat kelas bahasa itu sendiri
pak? Kalau angkatan pertama ini tidak memilih berarti percuma kelas bahasa
dibuka. “Suaranya meski dipaksa ringan tetap saja kedengaran memilukan di
telingaku. Tapi ini bukan kewajiban dan hakku untuk menjawabnya.
“Ya seperti yang bapak katakan
ini sudah menjadi keputusan, dan mengenai peminatnya yah bagaimana kita tahu
ada peminatnya kalau kelasnya tidak dibuka. Dengan senyum, kalimat itu
terlontar dari penentu kebijakan. Sangat arif dan membuatku nyaris meledak
tertawa.
Ketika kau berani bermimpiMaka beranilah untuk bangunBukan untuk melanjutkan mimpiDengan khayal yang tak selesaiTapi bangunlah untuk menyelesaikan mimpi itu bersama yakinmu(5 larik puisi tercipta begitu saja di kertas catatan rapatku hari ini)
Seperti calon legislatif kampanye
dan kampanye. Itulah yang kulakukan berdua dengan suami. Bedanya tak kutaburi
mereka janji-janji politik yang bohongnya di atas 50%, tapi kupompa semangat
mereka untuk belajar memacu diri meski dengan status siswa desa yang terbiasa
jadi penonton. Dan andai Bung Karno masih hidup entah senyum apa yang
diberikannya pada usahaku mencari peminat kelas bahasa. Ketika kalian memilih
kelas bahasa, kita bersama akan membuat sebuah catatan perjalanan dalam sebuah
buku tentang “Seribu Wajah” tentang cinta kita pada hidup tentang mimpi yang
perlu diselesaikan. Sebab hidup adalah pilihan anakku !!!
Dengarkanlah…Pada seribu wajahBiarkan mimpi itu menemanimuMemberi ruang mengambil nafasMencintaimu dengan tak bosanKau tak lantas jadi lainTidak membesar pun tidak mengecilKau tetap anak-anakku yang kulahirkan kembaliUntuk meyelesaikan mimpimu…..Bantaeng, 15 Januari 2004
No comments:
Post a Comment