Thursday, August 25, 2016

Misteri Batu Akik ( Sidiq Aji Pamungkas)

"Ini yang membawa keberuntungan."
"Bukan itu."
"Memang ini."
"Bukan ya bukan."
"Aku tak mungkin bisa makan. Lihat saja!"
"Kata siapa tidak mungkin?"
"Batu ini."
"Memangnya bisa bicara?"
"Kau tak mengerti."
"Kau memang gila."
"Kata siapa?"
"Batu itu."
"Jangan katakan seperti itu!"
"Kenapa?"
"Pamali."
"Dia mati dan aku hidup!"

Tuan terdiam sejenak, matanya membelalak. Hatinya melilit, seolah mengembang laksana kue sedang dipanggang di dalam oven lantas diremas-remas. Di depan restorannya itu, ingin rasanya menampar mulut Jaka, lantas menonjok, dan bahkan menendang lantaran telah melecehkan batu akiknya. Ia sama sekali tak segan kendati aneh dilihat teman yang lain. Barangkali kalau memang bukan sahabat, sudah pasti dilakukan. "percuma bicara denganmu, kau benar tak tahu!"

"Aku tahu!"
"Batu akik ini bukan sembarang batu!"
"Iya, batu itu bukan sembarang batu, melainkan hanya seonggok batu."
Mau mengatakan apapun tetapi begini. Jaka tak percaya klenik. Sejak kecil berteman dan tiap kali bicara klenik selalu dikatakan omong kosong. Kendati pernah klenik itu nyata, dan ia tahu itu, tetap saja dikatakan omong kosong. Tak percaya.

Ternyata di depan teman-temannya pada malam itu, Tuan sampai menunjukkan batu akik yang melilit jari manis tangan kanan. Dikatakan bahwa berawal dari memakai batu akik itulah restorannya selalu tutup lebih awal lantaran kehabisan stok bahan makanan yang hendak disajikan.

Batu akik itu pula yang menggerakkan hatinya untuk lebih banyak menyetok bahan makanan. Tiap hari terus menambah jumlah stok bahan makanan. Dan sekarang bisa dilihat, restoran tak pernah tutup pukul sepuluh sesuai waktu tutup. Sudah pasti molor dua jam, tiga jam, dan bahkan pernah hampir seperempat malam baru tutup.

Lain dengan Jaka ketika dijelaskan Tuan perihal keberuntungan batu akik, ia melengos, lantas tampak sepercik suara guman dengan menggeleng kepala, dan sesekali berdalil untuk menyangkal. Mereka tampak tak sepemikiran perihal klenik kendati mereka berteman sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Suatu jam bergemelut lantaran akik, api sontak berkobar dari dapur restoran. Semakin besar, lebih semakin besar, teramat besar berkobar sampai-sampai dapur terbakar habis. Belum lagi jerami lima gubuk pendapat tempat makan restoran ikut tersulut api itu. Suara ledakan laksana mercon juga terdengar, entah dari bohlam lampu atau tabung gas atau dari apa. Semua pengunjung berlarian kesana-kemari. Ingin Tuan berlari mengambil air, namun tak jadi lantaran api teramat besar berkobar. Barangkali menelpon pemadam kebakaran yang bisa dilakukan.
***
Tuan memanggil beberapa tukang. Bangunan tetap dibuat sama seperti sebelumnya. Desain klasik dengan gubuk-gubuk yang tampak tua dan memesona. Letaknya tak berbeda, sama sekali tak berbeda. Dapur permanen di belakang, lima gubuk barang 36 meter persegi setiap gubuk didirikan di tengah, dan tampak depan untuk teras beserta taman bagi pelanggan yang mengantri.

Sembari menggosok batu akik, ia terus berdoa semoga restorannya ramai seperti dulu.

Satu bulan berselang, tiap hari Tuan selalu menggelengkan kepala. Stok bahan makanan busuk dan bahkan banyak yang dibuang. Terlalu berlebih menyetok dan sepi pengunjung. Alhasil stok barang semakin berkurang setiap harinya.

Lantaran pengunjung yang semakin menyusut, lantas ia mencari batu akik sebanyak-banyaknya. Pergi ke wilayah A, lantas ke wilayah B, C, D, E, dan seterusnya hanya demi menguras batu-batu akik yang ada di wilayah itu. Entah berapa ratus juta yang telah terbang dari dompetnya.

Barangkali rumahnya penuh dengan batu akik.

Memang terbelenggu kepercayaan dengan batu akik, pikir Jaka ketika tahu. Entah bagaimana jalan pikiran sahabatnya itu. Ingin sekali menasehati. Teramat ingin. Bahkan bila diminta memublikasikan restoran tanpa dibayar pun dilakukan.

Selama enam bulan berjelajah batu akik sampai ke polosok, restorannya kembali seperti dulu. seiring berjalannya waktu. Stok bahan makanan selalu lenyap sampai stok tiap hari selalu bertambah. Padat teramat padat sampai-sampai antri berpuluh-puluhan. Untung saja disediakan taman menunggu yang sama sekali tak membosankan. Barangkali itu juga ada dibenak Tuan dengan mendesain taman.

Sejak itu Tuan selalu duduk di restoran hampir setiap hari. Bukan hampir, namun memang setiap hari. Menunggu usaha sembari menggosok batu akik dengan kain kemeja bagian bawah yang dikenakan. Kerap kali dilakukan hampir setiap jam sudah diperlakukan seperti isteri yang sedang tidur, diseka dengan lembut lantas dipandangi, diseka lagi dan dipandangi lagi. Terus begitu.

Bukan hanya satu cincin, melainkan dua bahkan dua cincin sekaligus yang melekat di jari tangannya setiap jari berbeda pula.Yang mengherankan bukan hanya lantaran itu saja, ia juga meronce batu akik menjadi gelang.

Satu tahun berjalan dengan keseharian yang semakin mengherankan bersama batu-batu akiknya, restoran semakin ramai pula. Semua pelanggan tahu jika pemilik restoran teramat mengagumi batu akik, namun tak tahu kenapa mereka tetap tenang saja.Bukan hanya pelanggan saja, semua orang sampai berbagai pelosok juga tahu.

Sempat isu-isu berkata bahwa tuan memakai guna-guna batu akik.Sempat pula pelanggan-pelanggan menanyakan isu itu dan tuan hanya menyapanya dengan secuil kalimat sembari tersenyum. "Kalau-kalau mengagumi batu akik apakah sudah memakai guna-guna? lihatlah betapa uniknya batu  ini. Itu adalah alasan kenapa saya koleksi."

Sejalan dengan isu-isu itu, tuan masih saja mencari batu akik kendati nama baiknya telah tercoreng lantran batu akik. Yang teramat gila lagi,orang-orang justru ikut-ikut mencari batu akik .

Tujuh hari sebelum satu setengah tahun tepat,pamflet sekaligus iklan radio yang menyatakan bahwa pameran batu akik akan di adakan di restoran.Semua pelanggan sudah pasti hendak berdatangan,baik pelanggan luar kota maupun dalam kota,bahkan bukan pelanggan sekaligus.Ditambah lagi batu akik semakin langkah.Memang ada pelanggan yang hanya suka mengoleksi batu akik,namun ada pula yang mempercayai batu akik membawa keberuntungan,melindungi,dan sebagainya.

Berlainan dengan Jaka, ia justru ingin meneteskan air mata jika itu bisa menyadarkan sahabatnya yang sedang belenggu. Ingin rasanya menemui Tuan sebelum pameran berlangsung. Namun, tugas luar kota memenjarakannya sehingga tak dapat beranjak.

Kasian sahabatnya, benar-benar sudah terjerat klenik.

Sekarang pameran sedang berlangsung. Semua mata pengunjung tak dapat berkedip. Lampu sorot dipasang pada setiap muka batu akik. Tak ada penerang lain, hanya lampu sorot itu, sehingga suasana benar-benar remang-remang. Belum lagi cahaya berwarna merah, hijau, kuning, ungu, jingga, hijau, biru, coklat dan warna lainnya terpantul dari batu akik. Banyak sekali pantulan sinar laksana beribu laser berbeda warna saling menyorot ke segala penjuru. Sampai-sampai jatuh dimuka pengunjung saking berdesak-desakannya para pengunjung.

Jaka yang melihat itu hanya bisa bertanya-tanya. Matanya membelalak melihat orang-orang berdesak-desakan. Dan juga banyaknya pendar cahaya berwarna-warni itu tampak seolah pesta laser.

Bagaimana bisa seramai itu?

Barangkali Jaka telah terlambat menemui sahabatnya. Namun, ia tetap mencari sahabatnya. Berdesak-desakan di dalam pameran konyol itu.
"Kenapa kau semakin menjadi-jadi?"
"Apa sih temanku?"
"Kau membuat semua orang semakin percaya pada batu!"
"Setiap orang boleh dong berubah. Aku hanya mencari rezeki. Seperti kau katakan, semua karena usaha bukan? Salah siapa mereka suka dan bahkan percaya pada batu?"
Jaka pun hanya dapat terperanjat.

    



 

No comments:

Post a Comment