Friday, August 5, 2016

Cerpen : Ramadhan Tiba-tiba Berakhir (Siti Tasniah)



Kalau ada yang gembira menyambut ramadhan di atas kegembiraan rata-rata, maka aku lah orangnya.

Bukan karena pahala dan ampunan, yang seperti dikatakan ustads-ustads di setiap ceramahnya; ramadhan bulan penuh pahala dan ampunan dilipat gandakan. Mana aku tahu soal itu, jangankan mengenyam pendidikan agama, baca tulispun aku buta mati. Aku menyalahkan orang tuaku karena itu, tidak!!! Kenapa harus menyalahkan mereka, sementara kenal keduanya pun, tidak.

Aku besar di jalanan, orang-orang bilang aku jatuh dari tangan pengemis satu ke pengemis yang lain. Hingga sebesar sekarang punya istri yang kunikahi tanpa surat nikah, malah punya anak lima. Tapi untunglah aku besar di dunia pengemis, yang membuatku ogah jadi pengemis juga. Pekerjaan payah kalau dikerjakan oleh orang yang punya tenaga, kaki, tangan, panca indra lengkap sepertiku, jadilah aku pemecah kerikil merangkap pengeruk pasir tradisional.

Sekali lagi aku gembira kalau ramadhan tiba, sebab pekerjaan sedikit berkurang karena  hanya memberi makan dua kali sehari kepada keluargaku. Andai itu berlangsung selama setahun penuh, barangkali aku juga punya piyama sederhana yang bias kupakai ke mesjid, juga anak-anak dan istriku. Sayang hanya sebulan.

Tidak tahu kenapa kalau ramadhan tiba, perut-perut keroncongan yang mengisi rumah kardus beratap ilalang yang merupakan istana bagiku sekeluarga cukup mampu bertahan dari pada biasanya.

“Daeng”….istriku mencegat langkahku. “Sudah tidak ada lagi beras jagung daeng, bagaimana sebentar?”

“Limah…Limah…. Kau ini seperti tidak pernah berada pada keadaan yang buruk dari ini.” Suaminya menanggapi tenang. Terdiam sejenak dan berkata lagi.

“Ya…kalau sudah tidak ada lagi sesuatu yang bias dimakan, pergilah ke mesjid bantu orang disana membersihka sisa buka puasanya, kalau yang di atas menghendaki pasti ada sisa-sisa kue atau makanan lain setelah orang berbuka.”

“Tapi daeng…malu-maluma daeng sudah empat hari puasa saya seperti itu. Berpura-pura membersihkan piring-piring makanan sisa kemudian memasukkan kekantung plastic untuk saya bawa pulang dimakan kita sekeluarga”. Sahut istrinya dengan nada lirih.

“Ha…ha…aku benar-benar tertawa lepas, kenapa malu Limah, kau tak mencuri dari pada makanan itu dibuang jadi santapan kucing, kan masih lebih baik kalau masuk diperut kita yang memang sedari tadi pagi hingga magrib keroncongan. Kau mau menyesal, hidup bersama saya seorang pemecah batu kerikil yang dapat upah kalau kerikilnya dilirik orang atau pasirnya diminati orang. Pas uangnya diberikan langsung ludes bayar hutan”. Menutup bicaranya dengan tersenyum simpul.

No comments:

Post a Comment