Kalau ada yang gembira menyambut
ramadhan di atas kegembiraan rata-rata, maka aku lah orangnya.
Bukan karena pahala dan ampunan,
yang seperti dikatakan ustads-ustads di setiap ceramahnya; ramadhan bulan penuh
pahala dan ampunan dilipat gandakan. Mana aku tahu soal itu, jangankan
mengenyam pendidikan agama, baca tulispun aku buta mati. Aku menyalahkan orang
tuaku karena itu, tidak!!! Kenapa harus menyalahkan mereka, sementara kenal
keduanya pun, tidak.
Aku besar di jalanan, orang-orang
bilang aku jatuh dari tangan pengemis satu ke pengemis yang lain. Hingga
sebesar sekarang punya istri yang kunikahi tanpa surat nikah, malah punya anak
lima. Tapi untunglah aku besar di dunia pengemis, yang membuatku ogah jadi
pengemis juga. Pekerjaan payah kalau dikerjakan oleh orang yang punya tenaga,
kaki, tangan, panca indra lengkap sepertiku, jadilah aku pemecah kerikil
merangkap pengeruk pasir tradisional.
Sekali lagi aku gembira kalau
ramadhan tiba, sebab pekerjaan sedikit berkurang karena hanya memberi makan dua kali sehari kepada
keluargaku. Andai itu berlangsung selama setahun penuh, barangkali aku juga
punya piyama sederhana yang bias kupakai ke mesjid, juga anak-anak dan istriku.
Sayang hanya sebulan.
Tidak tahu kenapa kalau ramadhan
tiba, perut-perut keroncongan yang mengisi rumah kardus beratap ilalang yang
merupakan istana bagiku sekeluarga cukup mampu bertahan dari pada biasanya.
“Daeng”….istriku mencegat
langkahku. “Sudah tidak ada lagi beras jagung daeng, bagaimana sebentar?”
“Limah…Limah…. Kau ini seperti
tidak pernah berada pada keadaan yang buruk dari ini.” Suaminya menanggapi
tenang. Terdiam sejenak dan berkata lagi.
“Ya…kalau sudah tidak ada lagi
sesuatu yang bias dimakan, pergilah ke mesjid bantu orang disana membersihka
sisa buka puasanya, kalau yang di atas menghendaki pasti ada sisa-sisa kue atau
makanan lain setelah orang berbuka.”
“Tapi daeng…malu-maluma daeng
sudah empat hari puasa saya seperti itu. Berpura-pura membersihkan
piring-piring makanan sisa kemudian memasukkan kekantung plastic untuk saya bawa
pulang dimakan kita sekeluarga”. Sahut istrinya dengan nada lirih.
“Ha…ha…aku benar-benar tertawa
lepas, kenapa malu Limah, kau tak mencuri dari pada makanan itu dibuang jadi
santapan kucing, kan masih lebih baik kalau masuk diperut kita yang memang sedari
tadi pagi hingga magrib keroncongan. Kau mau menyesal, hidup bersama saya
seorang pemecah batu kerikil yang dapat upah kalau kerikilnya dilirik orang
atau pasirnya diminati orang. Pas uangnya diberikan langsung ludes bayar
hutan”. Menutup bicaranya dengan tersenyum simpul.
No comments:
Post a Comment