Sunday, August 28, 2016

Pemuda Yang Mencukur Jenggotnya (Syamsul Badri Islamy)


Mengikuti sunnah nabi, kupanjangkan jenggotku dan aku selalu heran mengapa banyak orang yang berpandangan sinis padaku atau jenggotku yang panjang ini. Aku suka memakai wewangian dan Syekh pernah berkata padaku, jangan kau panjangkan srung atau celanamu, karena itu tanda-tanda kesombongan.

Aku percaya pada Syekh meski tak hafal rentetan dalil yang diucapkan dan, kita tahu, percaya adalah hal termudah bagi orang yang tidak memiliki ingatan yang baik untuk menghafal kata-kata berbahasa arab sepertiku. Aku kira perkataan Syekh baik. Lagi pula, jika aku memanjangkannya, celanaku akan mudah kotor terkena tanah dimusim hujan ini.

"Panjang celana harus di atas mata kaki. Bagamana kalau celanamu terkena cipratan air sedang kau menggunakannya untuk shalat," kata Syekh pada suatu hari.

Syekh Abu, demikian nama lengkapnya, adalah panutan kami. Jidatnya menghitam karena rajin berciuman dengan lantai masjid. Konon, semenjak beberapa tahun belakangan atau sejak ia dipanggil Syekh, tak pernah sekalipun ia meninggalkan shalat malam. Subhanallah.

Syekh masih lajang dan tampaknya begitu sholeh. Ia tidak mau bersalaman dengan lawan jenis. Pernah sekali ada Bu Wali Kota yang melakukan kunjungan ke kampung kami dan mengajak  bersalaman warga. Tiba giliran urutan Syekh bersalaman, sang syekh hanya menangkupkan tangannya seperti amitaba ke arah bu Wali Kota yang sudah kadung menyodorkan tangan.

Bu Wali Kota terlihat sedikit kik-kuk karena ditolak bersalaman di depan kamera wartawan, namun wajah wibawanya mampu menyembunyikan kegugupan itu, dan Syekh yang mendapat teguran dari pak lurah tampak santai saja dengan jawaban: "Kami bukan muhrim dan bersalaman menyentuh tangan hukumnya haram."

"Tapi, kau telah membuat Bu Wali Kota malu?"
"Kau melihatnya begitu?"
"Harusnya kau meraih tangannya!"
"Lebih baik aku dicambuk daripada harus bersalaman dengan perempuan bukan muhrim."
"Hanya sekadar untuk kepantasan saja, agar beliau tak sakit hati."
"Kau tak mengerti agama?! Apa pula urusanku dengan hatinya yang sakit."
Begitulah. Kami para murid menghormati Syekh karena pendiriannya yang teguh. Ia ibarat karang yang kokoh diterpa gelombang dan topan. Ia mewajibkan seluruh perempuan di kampung kami mengenakan jilbab yang menjuntai hingga ke lulut dan sangat menganjurkan mereka untuk mengenakan cadar. "Semua bagian tubuh perempuan adalah aurat," katanya.

Beberapa mengikuti anjuran Syekh dan bagi yang tidak mengikuti, secara otomatis akan dikucilkan dari pergaulan. Salah satu kegemaran Syekh Abu sering kudengar belakangan ini, ia suka sekali mengumandangkan takbir. Seperti ketika perayaan tahun baru Masehi atau ketika merazia miras oplosan.

"Menjelang Natal dan Tahun Baru kita harus waspada. Bisa jadi perayaan Natal dan Tahun Baru adalah strategi kaum kafir untuk memusyrikkan kita semua. Maka itu, saya fatwakan bahwa merayakan Natal dan Tahun Baru hukumnya haram!" tegas sang Syekh dalam kesempatan ceramah di masjid kampung.

Syekh yang alim tersebut meminta agar umat Islam kampung kami memperlakukan malam Tahun Baru seperti malam-malam yang lain. "Kalau kalian merayakan tahun baru, dikhawatirkan kalian tidak bisa bangun pagi dan melaksanakan shalat malam dan shalat subuh. Padahal, shalat subuh adalah bagian dari shalat wajib yang harus dikerjakan!" Katanya dengan getir keprihatinan yang menggetarkan.

Warga kampung manggut-manggut dan aku membatin, kadang saat ada pertandingan bola, aku juga sering begadang dan bangun kesiangan. Apakah kemudian karena itu nonton bola menjadi sesuatu yang haram? Tapi tentu, aku tidak akan berani menanyakan itu secara langsung. Tidak sopan. Aku masih sangat menghormati Syekh.

"Merayakan Tahun Baru itu mengganggu orang yang sedang beristrahat dan orang yang sedang sakit," kata Syekh melanjutkan, yang kususul sebuah pertanyaan, tapi lagi-lagi dalam hati: merayakan malam Tahun Baru di pinggir rumah sakit tentu tindakan yang dungu. Dan kukira orang yang tidur di dalam rumah jika ada akan memaklumi suara kembang api. Mereka cukup tahu bahwa malam itu adalah malam Tahun Baru.

Tapi, kemudian Syekh membacakan dalil-dalil tentang tindakan mengganggu adalah bagian dari kemungkaran, dan kemungkaran perlu dibasmi dari muka bumi. Syekh mengucapkan dalil dengan begitu cepat sehingga aku tak sempat mencatatnya di ponselku. Ia lantas menyebutkan bahwa merayakan Tahun Baru adalah pemborosan.

"Mubadzir! Dan tahukah kalian, sikap mubazir itu disenangi setan. Kalian mau berteman dengan setan?" katanya "Merayakan Tahun Baru adalah kegiatan yang buang-buang waktu, muslim sebaiknya meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Kecuali jika pikiran kalian sudah teracuni pemahaman kaum kafir,"

Puncaknya, Syekh mengatakan, merayakan Tahun Baru adalah bid'ah, tidak pernah dilakukan di zaman Nabi. Yang itu berarti sesat dan masuk neraka. Wih, mengerikan sekali hidup ini, batinku. Aku mulai tidak simpati pada Syekh. Ini hanya cerita tentang fatwa haram merayakan Tahun Baru, dan kukira lebih baik tak usah kusampaikan bagaimana Syekh mengeluarkan fatwa haram bila mengucapkan selamat Natal berikut dalil-dalilnya.

Maka aku yang tak hafal dalil-dalil berbahasa Arab ini tak tahan untuk segera bertanya kepada Syekh, dengan tindak-tanduk kesopanan yang kuupayakan dengan maksimum. "Wahai, ya Syekh. Aku ingin bertanya kepadamu," ucapku memirip-miripkan dengan kalimat dalam kitab-kitab yang pernah kubaca. Syekh mengangguk, menyilakan, "Anda orang Indonesia?"

"Ya!" Alisnya terangkat, tampaknya Syekh tersinggung bercampur penasaran apa yang selanjutnya akan kukatakan.

"Kalau begitu, mengapa tidak kita ikuti atau akui saja penanggalan umum yang berlaku di Indonesia yang menggunakan Masehi. Jika kita tidak menerima 1 Januari sebagai Tahun Baru kita, bukankah berarti kita termasuk munafik?"

"Munafik?"

Aku sedikit merasa menang astagfirullah karena sepertinya Syekh belum menangkap maksud perkataanku. "Ya, munafik. Anda mengharamkan Tahun Baru 1 Januari tapi ikut libur Natal dan Tahun Baru, ikut libur hari minggu. Mengapa Anda tidak membangun negara atau perusahaan sendiri yang meliburkan warga atau karyawannya hari jum'at? Jadi inilah Indonesia, ya Syekh."

Aku tak sadar dari mana asal-muasal kalimat itu sehingga meluncur begitu mudahnya dari lisanku (atau mulutku). Wajah Syekh Abu menjadi merah padam. Mungkin ia malu kalau saja argumentasinya berhasil dipatahkan oleh bocah tengik macam aku. Maka ia mencari jawaban. Dan, sayangnya, tak ketemu.

Dalil naqli-aqli apapun yang ia lontarkan tentu akan kembali menghantamnya, kecuali jika ia membangun negara sendiri, pemerintahan sendiri, perusahaan sendiri, sekolah sendiri, tim sepak bola sendiri, menerapkan penanggalan di negara itu sendiri, dan kemudian mempresentasikan di hadapan kami, meski presentasi itu baiknya dijadikan bahan untuk menulis fiksi.

"Kamu muslim?" ganti, Syekh bertanya padaku. Tampaknya ia sudah menyiapkan argumentasi. Aku mengangguk, dan ia melanjutkan, "Coba sebutkan nama-nama bulan dalam penanggalan Islam!"

Aku nyaris tersedak. Memang dulu aku pernah diajarkan nama-nama bulan dalam penanggalan Islam. Tapi, aku lebih hafal bulan Islam dalam penyebutan Jawa. Seperti Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud. Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Selo, Besar.

Sial betul, batinku. Aku menunduk dan melirikkan mataku ke kanan-kiri, memberi isyarat pada teman-teman untuk membisikkan nama bulan dalam Islam. Mereka bungkam. Sepertinya mereka juga tidak tahu. Kulirik ponsel yang kubenamkam pada sarung. Ingin kubuka Google, dan pulsa yang tinggal 600 rupiah justru menambah rasa sebal dalam hati.

"Lihat, ini...ini contoh anak yang terlalu membanggakan produk Barat sementara dia tidak paham seluk beluk Islam," kata Syekh sambil melemparkan tudingan tepat ke mukaku. Aku ingin menjawab sekaligus bertanya, apabila ini ajaran Islam, memperlakukan ketidaktahuan seseorang sebagai bahan olok-olok. Tapi, Syekh terburu menimpali lagi dengan seruang takbir sebanyak tiga kali, atau lebih, aku lupa.

Sejak saat itu, kucukur jenggotku. "Kau tampak lebih fresh dan muda tanpa jenggot," kata seorang teman. Tak hanya itu, saat ini, entah bagaimana, ada rasa sinis yang menyembul-nyembul dalam benakku tiap kali melihat lelaki berjenggot, bersorban, berjubah, berjidat hitam, tetapi hemat senyum dan seperti berlagak sok alim.

"Kanjeng Nabi itu dijuluki bassam, wajahnya tersenyum. Kalau sekedar berjubah, berjenggot, Abu Jahal juga begitu, "kata seorang kiai saat aku menceritakan kisah ini. Kiai itu tidak berjenggot, tapi kulihat wajahnya tersenyum.       
 
 

No comments:

Post a Comment