Friday, August 5, 2016

Cerpen : Doe Panai' (Siti Tasniah)




Apa…sepuluh juta…!!!
Pammali ce’lanaji into ammakku Daeng. Saya ini bukan barang Daeng
Betul Maria tapi dimana lagi aku akan mencukupkan permintaan keluargamu yang rasanya mencekik leherku. Tak bisakah aku menikahimu denga diriku yang kujaminkan untuk kebahagiannmu, aku punya cinta untuk Maria, cinta yang  selalu akan mencukupkan kita bila kau dan keluargamu bisa melihatnya dari sisi kemanusiaan.

Daeng aku mencintaimu kau tahu itu tapi aku adalah anak dari bapakku anak dari ammakku, adik perempuan satu-satunya dari dua orang kakak laki-lakiku. Kalau kau berniat hendak melamarku menjadi istirimu dengan mengandalkan uang sepuluh juta itu. Demi Tuhan Daeng urungkanlah niatmu. 

Maria kenapa harus niat suciku yang kukorbankan? Dimana semua kata cintamu selama ini padaku?
Tampak putus asa, Maria tertunduk mencari kata yang paling tepat yang bias Nando terima, tapi kata-kata itupun raib di permukaan tanah seperti mengikuti jejak rasa yang mulai terkena gaya gravitasi bumi.

Baiklah Daeng tunaikan niatmu, tapi kau tentu tahu jawaban apa yang bakal kamu terima dari keluargaku. Maria pasrah. Ya…pasrah dalam banyak hal, pasrah ketika dia tahu tak mungkin cintanya bertaut bila sepuluh juta itulah yang dipatok pasti oleh Nando. Dan apakah mungkin dia akan memilih silariang, ooo….Tuhan jangan kau hadapkan aku pada pilihan itu pinta Kamaria nyaris setengah berteriak.
***
Entahlah keberanian dari mana yang Nando peroleh, suatu ketika ia kerumah Maria wanita cantik seorang sarjana dari kampus terkenal punya harapan masa depan yang cemerlang, dia bermaksud meminang gadis itu, gadis yang dicintainya dan pun dia yakin cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

Seperti terjatuh terkena pula durian runtuh tapi bedanya bukan rasa lezatnya yang menggiurkan tapi durinya tertusuk pula ke dalam hati bahkan terbenam di sana dengan gagahnya, nafasnya mungkin sesak tapi lebih para ingin rasanya nafas itu ditinggalkannya di ruang keluarga Maria, ketika mata melotot ekspresi wajah geram, murka dan sangat tersinggung orangtua dan saudara-saudara laki-lakinya menolak mentah-mentah niat tulusnya yang bermodal sepuluh juta.

Doe panai yang tak disanggupinya membuat Nando nyaris gila beberapa waktu, Maria yang diharapkan bias bertanggung jawab pada perasaannya pun hanya terdiam kaku di balik dinding batu kamarnya, seolah ikut memperjelas rasa sayangnya yang mulai membatu dan tak kenal lagi kelembutan.

Pagi buta yang basah di awal tahun yang basah, di atas kenangan cinta yang basah sebab airmata yang sekarang belajar mongering, ketika ketukan yang kedengaran terburu-buru mengganggu harapan mimpi Nando. Maria dating dengan seransel pakaian meminta Nando kawin lari bersamanya.

Silariang Maria…! Tidak Maria, kau sudah kecewakan aku, aku dating memintamu baik-baik, bukan dengan jalan seperti ini kau buktikan cintamu padaku. Tidak Maria tidak akan kupenuhi hasratmu bersatu denganku dengan jalan Silariang. Kemana kamu saat aku dating ke rumahmu memintamu dengan sepenuh hati meski yang kupunya hanya sepuluh juta, kau bersembunyi Maria seolah hanya aku yang memiliki rasa cinta ini. Pulanglah aku bukan laki-laki yang menyerah begitu saja pada cinta lupakan aku, masih banyak orang yang bisa memenuhi doe panai yang dipinta keluargamu.

Hujan telah luruh ke bumi seperti hujan yang telah jadi badai di hati Maria. Ia sudah nekad menemui kekasihnya untuk silariang, tapi Nando hanya memakinya bahkan melemparnya ke jurang rasa sakit yang tak terperi.
***
Di rumah Maria telah dipersiapkan banyak hal menyambut lamaran Maria dari laki-laki lain dan menurut kabar yang beredar menyanggupi berapapun permintaan keluarga Kamaria. Meski mereka belum tahu Kamaria sebenarnya pagi buta tadi hendak meninggalkan rumah silariang. Sayangnya niat itu tak bersambut. Sayangnya niat itu tak bersambut.

Bersama rasa malu yang melebihi gunung, Maria kembali pulang. Sekarang dia akan menantang congkaknya dunia dan congkaknya doe panai yang didewakan orang.

Ketika acara lamarannya usai dan sisa menunggu doe panai itu diantar beriringan dengan gaun mewah dan sorak kendaraan, orang-orang yang bangga telah mampu membelinya dengan sejumlah doe panai mengantarkan harga dirinya.

Ketika rombongan yang mengantarkan doe panai tiba lengkap dengan bosara yang berisi beragam jenis kue tradisional Maria pun telah siap.

Senyum orang-orang yang ada di ruangan ini mekar tak tertandingi mereka melirik Maria yang cantik dalam balutan kebaya modern seperti mawar yang mekar sempurna, tapi di mata Maria seperti menangkap taring pada senyum itu. Sebentar lagi pikirnya!

Doe panai itu telah ada di genggaman orangtuanya, tentu dalam hitungan menit akan berpindah ke tangannya sebagai harga dari dirinya. 60 ikat uang ratusan dalam balutan per sepuluhnya, itu lah doe panai’nya yang paling ditunggu bukan sepuluh tapi 60. Doe itu hanya akan dipegangnya dalam hitungan menit yang selanjutnya kembali akan berpindah tangan ke orang tuanya, hanya sekadar mensakralkan uang itu hingga bias dipegangnya pula.

Ketika uang itu sampai di tangannya, Maria pamit sebentar ke kamarnya, saya mau melihat dengan jelas doe panai ini hanya lima menit.

60 juta, 60 juta dalam hitungan detik telah menjadi ratusan kali lipat di tangan Maria bersama guntingnya doe panai itu diguntingnya dengan sangat puas hingga menjadi serpihan-serpihan tak jelas bersamaan dengan kesadaran totalitasnya yang sepertinya menjauh dari dirinya. Maria berlari keluar melempar ke udara semua doe panai’nya.

Ambil semua doe panai ini wahai alam, banyak yang lebih membutuhkannya dari pada aku khaak kh hah ha hah ii hh, khukhu hi hi khuu hhi. Maria telah kehilangan kesadaran sepenuhnya meski kini bukan lagi batinnya yang terluka tapi fisiknya pun memar, babak belur dan berdarah ketika nyaris semua orang yang tadi tersenyum kini berbalik mengahajarnya.


No comments:

Post a Comment