Apa…sepuluh juta…!!!
Pammali ce’lanaji into
ammakku Daeng. Saya ini bukan barang Daeng
Betul Maria tapi dimana lagi aku
akan mencukupkan permintaan keluargamu yang rasanya mencekik leherku. Tak
bisakah aku menikahimu denga diriku yang kujaminkan untuk kebahagiannmu, aku
punya cinta untuk Maria, cinta yang
selalu akan mencukupkan kita bila kau dan keluargamu bisa melihatnya
dari sisi kemanusiaan.
Daeng aku mencintaimu kau tahu
itu tapi aku adalah anak dari bapakku anak dari ammakku, adik perempuan satu-satunya
dari dua orang kakak laki-lakiku. Kalau kau berniat hendak melamarku menjadi
istirimu dengan mengandalkan uang sepuluh juta itu. Demi Tuhan Daeng
urungkanlah niatmu.
Maria kenapa harus niat suciku
yang kukorbankan? Dimana semua kata cintamu selama ini padaku?
Tampak putus asa, Maria tertunduk
mencari kata yang paling tepat yang bias Nando terima, tapi kata-kata itupun
raib di permukaan tanah seperti mengikuti jejak rasa yang mulai terkena gaya
gravitasi bumi.
Baiklah Daeng tunaikan niatmu,
tapi kau tentu tahu jawaban apa yang bakal kamu terima dari keluargaku. Maria
pasrah. Ya…pasrah dalam banyak hal, pasrah ketika dia tahu tak mungkin cintanya
bertaut bila sepuluh juta itulah yang dipatok pasti oleh Nando. Dan apakah
mungkin dia akan memilih silariang, ooo….Tuhan
jangan kau hadapkan aku pada pilihan itu pinta Kamaria nyaris setengah
berteriak.
***
Entahlah keberanian dari mana
yang Nando peroleh, suatu ketika ia kerumah Maria wanita cantik seorang sarjana
dari kampus terkenal punya harapan masa depan yang cemerlang, dia bermaksud
meminang gadis itu, gadis yang dicintainya dan pun dia yakin cintanya tak
bertepuk sebelah tangan.
Seperti terjatuh terkena pula
durian runtuh tapi bedanya bukan rasa lezatnya yang menggiurkan tapi durinya
tertusuk pula ke dalam hati bahkan terbenam di sana dengan gagahnya, nafasnya
mungkin sesak tapi lebih para ingin rasanya nafas itu ditinggalkannya di ruang
keluarga Maria, ketika mata melotot ekspresi wajah geram, murka dan sangat
tersinggung orangtua dan saudara-saudara laki-lakinya menolak mentah-mentah
niat tulusnya yang bermodal sepuluh juta.
Doe panai yang tak disanggupinya membuat Nando nyaris gila beberapa
waktu, Maria yang diharapkan bias bertanggung jawab pada perasaannya pun hanya
terdiam kaku di balik dinding batu kamarnya, seolah ikut memperjelas rasa
sayangnya yang mulai membatu dan tak kenal lagi kelembutan.
Pagi buta yang basah di awal
tahun yang basah, di atas kenangan cinta yang basah sebab airmata yang sekarang
belajar mongering, ketika ketukan yang kedengaran terburu-buru mengganggu
harapan mimpi Nando. Maria dating dengan seransel pakaian meminta Nando kawin
lari bersamanya.
Silariang Maria…! Tidak Maria, kau sudah kecewakan aku, aku dating
memintamu baik-baik, bukan dengan jalan seperti ini kau buktikan cintamu
padaku. Tidak Maria tidak akan kupenuhi hasratmu bersatu denganku dengan jalan Silariang. Kemana kamu saat aku dating
ke rumahmu memintamu dengan sepenuh hati meski yang kupunya hanya sepuluh juta,
kau bersembunyi Maria seolah hanya aku yang memiliki rasa cinta ini. Pulanglah
aku bukan laki-laki yang menyerah begitu saja pada cinta lupakan aku, masih
banyak orang yang bisa memenuhi doe panai
yang dipinta keluargamu.
Hujan telah luruh ke bumi seperti
hujan yang telah jadi badai di hati Maria. Ia sudah nekad menemui kekasihnya
untuk silariang, tapi Nando hanya memakinya bahkan melemparnya ke jurang rasa
sakit yang tak terperi.
***
Di rumah Maria telah dipersiapkan
banyak hal menyambut lamaran Maria dari laki-laki lain dan menurut kabar yang
beredar menyanggupi berapapun permintaan keluarga Kamaria. Meski mereka belum
tahu Kamaria sebenarnya pagi buta tadi hendak meninggalkan rumah silariang. Sayangnya niat itu tak
bersambut. Sayangnya niat itu tak bersambut.
Bersama rasa malu yang melebihi
gunung, Maria kembali pulang. Sekarang dia akan menantang congkaknya dunia dan
congkaknya doe panai yang didewakan
orang.
Ketika acara lamarannya usai dan
sisa menunggu doe panai itu diantar
beriringan dengan gaun mewah dan sorak kendaraan, orang-orang yang bangga telah
mampu membelinya dengan sejumlah doe
panai mengantarkan harga dirinya.
Ketika rombongan yang
mengantarkan doe panai tiba lengkap
dengan bosara yang berisi beragam
jenis kue tradisional Maria pun telah siap.
Senyum orang-orang yang ada di
ruangan ini mekar tak tertandingi mereka melirik Maria yang cantik dalam
balutan kebaya modern seperti mawar yang mekar sempurna, tapi di mata Maria
seperti menangkap taring pada senyum itu. Sebentar lagi pikirnya!
Doe panai itu telah ada di genggaman orangtuanya, tentu dalam
hitungan menit akan berpindah ke tangannya sebagai harga dari dirinya. 60 ikat
uang ratusan dalam balutan per sepuluhnya, itu lah doe panai’nya yang paling
ditunggu bukan sepuluh tapi 60. Doe itu hanya akan dipegangnya dalam hitungan
menit yang selanjutnya kembali akan berpindah tangan ke orang tuanya, hanya
sekadar mensakralkan uang itu hingga bias dipegangnya pula.
Ketika uang itu sampai di
tangannya, Maria pamit sebentar ke kamarnya, saya mau melihat dengan jelas doe panai ini hanya lima menit.
60 juta, 60 juta dalam hitungan
detik telah menjadi ratusan kali lipat di tangan Maria bersama guntingnya doe
panai itu diguntingnya dengan sangat puas hingga menjadi serpihan-serpihan tak
jelas bersamaan dengan kesadaran totalitasnya yang sepertinya menjauh dari
dirinya. Maria berlari keluar melempar ke udara semua doe panai’nya.
Ambil semua doe panai ini wahai alam, banyak yang lebih membutuhkannya dari
pada aku khaak kh hah ha hah ii hh,
khukhu hi hi khuu hhi. Maria telah kehilangan kesadaran sepenuhnya meski
kini bukan lagi batinnya yang terluka tapi fisiknya pun memar, babak belur dan
berdarah ketika nyaris semua orang yang tadi tersenyum kini berbalik
mengahajarnya.
No comments:
Post a Comment