Monday, May 2, 2016

Pelacuran Makassar


Sisi Gelap Makassar

Kita sering mendengar kata Pelacur. Dalam kamus bahasa Indonesia, "Lacur" punya makna; malang, celaka, sial, gagal, dan tidak jadi. Kesemua makna "Lacur adalah negatif atau tidak ada baiknya. Jadi pelacur punya makna orang yang selalu malang, sial, gagal, dan tidak pernah sukses, apapun yang dia kerjakan selagi dia masih melacur.

Pelacuran, dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Dalam sudut pandang agama, sosial dan budaya masyarakat. Dalam Islam mendekati zina saja dilarang, apalgi melakukan perbuatan zina. Jika melihat dampak sosialnya, pelacur tidak punya tempat di masyarakat, mereka digolongkan sebagai masyarakat rendahan, tak punya martabat dan sering diidentikkan sebagai pembawa sial di sebuah kampung atau desa. Saat orang melihatnya antara satu dengan yang lain saling main mata, dan berbisik "Ih, WTS (wanita tuna susila) lewat."

Apalagi jika kita melihat budaya Bugis dan Makassar, pelacur atau WTS jelas mengobrak abrik harkat dan derajat orang Bugis dan Makassar sebab tidak ada nenek moyang orang Bugis ataupun Makassar yang jadi pelacur. Dulu, sekedar menikah dengan mahar yang murah sudah menjadi siri', apalagi jika ada diantara keluarga mereka yang jadi pelacur, jelas ini siri, bisa saja mereka dilabuh di laut atau mereka dikucilkan sepanjang hidupnya.

Seiring dengan waktu, pergeseran budaya dalam masyarakat Bugis dan Makassar pun terjadi, 30 tahun yang lalu telah jauh berbeda sekarang. Sebutlah keberadaan cafe di Makassar tahun 80-an, di sebuah cafe hanya menghadirkan penyanyi laki-laki yang di ambil dari pengamen pinggir jalan, pakaiannyapun sopan. 
Sekarang, cafe jelas tidak memakai lagi penyanyi laki-laki, pengamen jalan, dengan pakaian sopan. Cafe jelas memilih penyanyi wanita muda, seksi, cantik, berpakain u can see, bahkan nyaris telanjang. Itu jelas ada hampir di setiap cafe, pub, karaoke dan tempat hiburan lainnya dimanapun.

Sekarang, bukan lagi sekedar cafe, wanita-wanita genit dan nakal dengan mudah akan kita jumpai di sepanjang jalan Nusantara pada waktu malam, antara jam 18 sore hingga jam 5 pagi. Mereka dengan "senang hati" menjual diri, menjajakkan kehormatan mereka, untuk dihargai dengan puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah oleh lelaki hidung belang, lelaki yang hanya ingin mencari kenikmatan sesaat.

Pelacuran di jalan Nusantara ini menjadi 'Kawasan Industri Maksiat' (KIMA) di Makassar. Mereka kadang memanfaatkan cafe, pub, karaoke, panti pijat, hotel-hotel, lorong-lorong sempit, gubuk hingga gerobak bakso. Konon dari tempat-tempat maksiat ini menjadi pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar bagi kota Makassar.
Tidak heran jika tempat-tempat maksiat tersebut terkesan 'dipelihara' baik oleh aparat polisi, TNI maupun pemerintah daerah. Baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Mereka terkesan setali tiga uang.
Polisi yang enggan menertibkan. TNI yang menjadi satpam atau bodyguardnya. Pemerintah yang tetap memberikan izin untuk usaha pelacuran atau sejenisnya. Agar pemerintah daerah tetap dapat memungut pajak dari hasil maksiat. Untuk dipakai membangun kota Makassar.

Secara teoritis, pelaku maksiat itu ada dua macam. Pertama orang yang melakukan perbuatan maksiat, kedua orang yang membiarkan kemaksiatan itu berlangsung terus menerus di depan matanya. Sementara mereka mengetahui, keduanya sama-sama berdosa. 

Pemerintah, dari presiden hingga lurah serta RT, sebaiknya ikut resah melihat maraknya pelacuran di Indonesia, terlebih saat kemaksiatan itu hadir di Sulawesi Selatan, di tengah gembar-gembor perjuangan syariat islam. Jika pemerintah daerah kita tetap membiarkan kemaksiatan itu ada, tanpa turun tangan membasminya, maka teori di atas mungkin berlaku bagi pemerintah kita. Pemerintah juga adalah pelaku maksiat. Kelak nanti, mereka sebagai pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah, akan apa yang mereka pimpin.

No comments:

Post a Comment