Tuesday, January 23, 2018

Pengertian Radd, Rukun dan Pendapat Para Ulama Serta Cara Penyelesaiannya.



Pengertian Radd

Radd berarti mengembalikan sisa harta warisan kepada ashabul furud menurut bagian yang ditentukan mereka ketika tidak adanya ashib nasabi.

Dari definisi diatas di atas dapat disimpulkan bahwa syarat dalam radd adalah tidak adanya  ashib nasabi, karena jika ada ashib nasabi, maka dia yang akan mendapatkan sisa dari warisan yang telah dibagikan kepada ashabul furud, dimana dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:

“Berikanlah bagian-bagian yang ditentukan (faraidh) kepada pemegang haknya, maka sisanya adalah untuk orang laki-laki yang lebih utama.” HR. Bukhori dan Muslim.

Menurut istilah para fuqaha, radd berarti memberikan sisa dari bagian-bagian yang ditentukan ashabul furud al-nasabiyah kepada mereka menurut furudh mereka ketika tidak ada ahli waris lain yang berhak menerimanya.

Rukun Radd

Ada tiga rukun radd, yaitu:

  1. Adanya ashabul furud.
  2. Adanya kelebihan dari harta warisan.
  3. Tidak adanya ahli waris ashabah (ashib).


Pendapat Para Ulama Mengenai Radd

Tidak ada nash yang dapat dijadikan sandaran dalam masalah radd ini. Oleh karena itu terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat tidak ada radd (pengembalian harta warisan yang tersisa) kepada ashabul furud, dimana harta warisan yang tersisa setelah diambil oleh ashabul furud menurut bagian yang ditentukan diperuntukkan bagi baitul mall, jika tidak ada ahli waris ashabah. Di antara yang mendapat demikian  adalah Zaid bin Tsabit dan diikuti oleh Urwah, Al-Zuhri, Malik dan Syafi’i.

Ada juga yang berpendapat sebaliknya, yaitu menyetujui adanya radd, dimana radd dapat diberikan kepada ashabul furud, sekalipun kepada suami isteri menurut bagian furud mereka. Inilah yang menjadi pendapat Utsman bin Affan.

Di sisi lain, ada juga yang menyetujui radd untuk dikembalikan kepada seluruh ashabul furud kecuali kepada suami isteri ayah, dan kakek. Dengan demikian, radd itu hanya diberikan kepada delapan golongan saja, yaitu:

  1. Anak perempuan.
  2. Anak perempuan dari anak laki-laki.
  3. Saudara perempuan kandung.
  4. Saudara perempuan seayah.
  5. Ibu.
  6. Nenek.
  7. Saudara laki-laki seibu.
  8. Saudara perempuan seibu.

Yang demikian itu merupakan pendapat Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, dan mayoritas sahabat dan tabi’in. Dan inilah pendapat yang terpilih, yang juga menjadi pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Syafi’iyah, dan sebagian penganut madzhab Maliki, yaitu ketika tidak berfungsinya baitul mall.

Mereka mengatakan: “Tidak diberikannya radd kepada suami isteri, karena radd itu merupakan hak para ahli waris yang mempunyai hubungan darah (rahim) dengan si mayit, sebagimana diketahui keduanya (suami isteri) tidak mempunyai hubungan darah dalam kehidupan rumah tangga mereka. Tidak juga diberikan kepada ayah dan kakek, karena radd itu tidak ada kecuali ketika ahli waris ashabah (ashib) tidak ada. Sedangkan ayah dan kakek merupakan ashib, dimana dia mendapatkan sisa harta warisan dengan jalan ta’shib dan bukan dengan cara radd.

Cara Menyelesaikan Permasalahan Radd

Terdapat cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah radd ini, sesuai dengan perbedaan yang terjadi jika jumlah ashabul furud berbeda, satu atau lebih. Juga sesuai dengan perbedaan yang terjadi jika bersama ashabul furud terdapat salah seorang dari suami isteri atau tidak.

  • Jika di antara ahli waris itu hanya terdapat salah seorang dari ashabul furud saja, maka dia mendapatkan seluruh harta warisan menurut hitungan yang ditentukan dan dengan jalan radd. Dengan demikian, jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan isteri saja, dan bersamanya tidak terdapat ashabul furud, ashabah, dan dzawil arham, maka isterinya itu memperoleh seluruh harta warisan dengan jalan fardh dan radd.

Dan apabila seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ibu saja, atau meninggalkan anak perempuan saja, atau saudara perempuan saja, dan bersama masing-masing tidak terdapat ashabul furud dan ashabah, maka isterinya itu memperoleh harta warisan dengan jalan fardh dan juga radd.

  • Jika dalam suatu pembagian harta waris terdapat lebih dari seorang ashabul furud, dan bersamanya tidak terdapat salah seorang dari suami isteri, maka harta warisan itu dibagikan kepada mereka dengan pembagian sama rata, jika mereka dari kedudukan yang sama, dan jika mereka dari kedudukan yang berbeda, maka harta warisan itu dibagikan sesuai dengan hitungan furud mereka masing-masing. Dengan demikian, jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan tiga orang anak perempuan saja, maka harta warisan tersebut dibagikan kepada mereka dengan pembagian sama rata, karena mereka mempunyai kedudukan yang sama.

Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan empat orang saudara perempuan kandung, atau seayah, atau seibu, atau jika dia meninggalkan lima orang anak perempuan dari anak laki-laki, maka harta warisan tersebut dibagikan dibagikan secara merata kepada mereka, karena mereka mampu mempunyai kedudukan yang sama dalam pembagian warisan.

Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan anak perempuan dari anak laki-laki dan ibu, maka harta warisannya dibagikan kepada keduanya menurut penerimaan fardh masing-masing, yaitu ½ banding 1/6. Yang demikian itu karena kedudukan hubungan keduanya dengan si mayit berbeda. Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan saudara perempuan seayah dan ibu, maka harta warisan dibagikan kepada mereka dengan perbandingan ½ dengan 1/3.

Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan saudara laki-laki seibu dan ibu, maka harta warisan dibagikan kepada keduanya dengan perbandingan 1/6 dengan 1/3.

  • Jika bersama ashabul furud terdapat salah seorang dari suami isteri, maka suami atau isteri mendapatkan bagiannya dari harta warisan terlebih dahulu, yaitu dengan mengalikan bagian fardh yang diterimanya dengan jumlah harta warisan. Kemudian sisanya dibagikan kepada ashabul furud an-nasabiyah secara merata, jika mereka berada pada kedudukan yang sama. Namun dibagikan sesuai dengan perbandingan saham mereka masing-masing, jika mereka mempunyai kedudukan yang berbeda dari si mayit.

Jika yang ada bersama salah seorang dari suami isteri itu hanya seorang saja dari ashabul furud an-nasabiyah, maka dia sendiri yang mendapatkan sisanya tersebut.

                                                                                                                                                       

No comments:

Post a Comment