Wednesday, January 17, 2018

Pengertian Dzawil Arham dan Beberapa Pendapat Serta Cara Pemberian Warisan Kepada Dzawil Arham.



Pengertian Dzawil Arham


Secara bahasa, dzawil arham berarti kaum kerabat secara umum, baik yang berasal dari ashabud furud, ashabah, maupun dari yang lainnya.

Menurut para fuqaha’ yang dimaksud dengan dzawil arham adalah kaum kerabat yang bukan dari ashabul furud dan bukan juga dari ashabah. Misalnya, putera-puteri dari anak perempuan, putera-puteri dari anak perempuannya anak laki-laki, ayahnya ibu, ibu dari ayahnya ibu, putera-puteri saudara perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, bibi dari pihak ayah seayah seibu atau seayah saja atau seibu saja, paman dari pihak ibu, putera dan puteri dari paman dari pihak ibu, dan anak perempuan dari paman seayah seibu atau seayah saja.

Perbedaan pendapat mengenai pemberian warisan kepada dzawil arham

Para sahabat dan tabi’in serta fuqaha yang dating setelah mereka, berbeda pendapat mengenai pemberian warisan kepada dzawil arham. Di antara sahabat Rasulullah yang berpendapat boleh memberikan warisan  kepada dzawil arham itu adalah Ali bin abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda’ dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Pendapat ini diikuti oleh beberapa orang dari para tabi’in, diantaranya adalah Syuraih, Husain, Ibnu Sirin, Atha’ dan Mujahid. Sedangkan kalangan fuqaha yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad Zafar, dan Ahmad Hanbal.

Zaid bin Tsabit berpendapat tidak memberikan warisan kepada mereka. Affan, tetapi ini tidak benar. Dikisahkan, bahwa Al-Mu’tadhah pernah bertanya kepada Abu Hazim Al-Qadhi mengenai masalah ini, dia menjawab, “Para sahabat Rasulullah telah mengadakan ijma’ dengan tidak diikuti Zaid bin Tsabit untuk memberikan warisan kepada dzawil arham.

Pendapat Zaid bin Tsabit tersebut diikuti oleh sebagian dari tabi’in di antaranya: Sa’id bin Musayyid, dan Sa’id bin Jubair.

Dan dari fuqaha di antaranya: Sufyan Tsauri, Imam Malik dan Imam Syafi’i.

Cara-cara pemberian warisan kepada dzawil arham

Orang-orang yang membolehkan memberikan warisan kepada dzawil arham berbeda pendapat mengenai cara pemberian warisan kepada mereka. Dalam hal ini mereka mempunyai tiga cara, yaitu:

Pertama: Cara Ahlur Rahim, yaitu suatu cara dalam membagikan seluruh harta warisan atau sisanya setelah bagian fardh salah seorang dari suami isteri diambil kepada seluruh ahli waris dzawil arham secara sama rata tanpa membedakan antara satu ahli waris atas ahli waris lainnya, baik dari segi kuat atau lemahnya kekerabatan, dekat atau jauhnya derajat hubungan dengan si mayit, baik laki-laki atau perempuan.

Kedua: Cara Ahlut Tanzil, yaitu suatu cara dalam membagikan harta warisan kepada dzawil arham dengan menempatkan mereka pada status ahli waris dari ashabul furud atau ashabah yang mempunyai pertalian dengan si mayit serta memberikan bagiannya. Dengan demikian, putera-puteri anak perempuan akan menempati kedudukan anak perempuan, putera-puteri saudara perempuan menempati kedudukan saudara perempuan, bibi dari pihak ayah menempati kedudukan ayah, paman dan bibi dari pihak ibu menempati kedudukan ibu.

Landasan mereka adalah apa yang diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah memberikan kepada seorang bibi dari pihak ayah dua pertiga bagian dan kepada bibi dari pihak ibu sepertiga. Selanjutnya mereka mengatakan: “Hal ini tidak mungkin bisa, kecuali dengan cara mendudukkan bibi dari pihak ayah pada kedudukan ayah, dan bibi dari pihak ibu pada kedudukan ibu.”

Demikian itu hujjah mereka yang bersandar pada sunnah. Sedangkan dalam hujjah aqli, mereka mengatakan: “Sesungguhnya tidak mungkin memberikan warisan kepada mereka kecuali dengan menempatkan mereka kepada kedudukan orang yang mempunyai pertalian nasab dengan si mayit. Mengenai hal itu tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah sesuatu yang menerangkan cara-cara membagikan warisan kepada mereka.”

Cara seperti ini dijadikan sandaran oleh Iqlimah, Sya’abi, Masruq, dan Ahmad, sebagaimana hal itu telah dipegang oleh para penganut Imam Maliki dan Imam Syafi’I, yaitu ketika mereka mengeluarkan fatwa untuk memberikan warisan kepada dzawil arham setelah sistem baitul maal tidak lagi berfungsi.
Ketiga: Cara Ahlul Qarabah. Cara ini dinasabkan kepada Ali bin Abi Thalib Ra, dan cara ini pula yang dijadikan pegangan oleh para penganut madzhab Hanafi. Teori ini mendahulukan hubungan  nasab dzawil arham yang lebih dekat dengan si mayit, yaitu dengan mengqiyaskan pembagian warisan dengan jalan rahim (kekerabatan) dengan pembagian warisan dengan jalan ta’shib, dimana keduanya didapatkan oleh kerabat yang tidak memiliki saham tertentu dalam harta warisan.

Berdasarkan hal itu, mereka membagi dzawil arham menjadi empat golongan, sebagaimana ashabah juga dibagi menjadi empat jihat. Mereka menyusun keempat golongan tersebut berdasarkan pada keutamaan dalam menerima warisan seperti penerbitan jihad ta’shib, yaitu dengan mendahulukan furu’us syakhsh (pribadi penerima) terlebih dahulu, lalu ushulihi (hubungan garis lurus ke atas), selanjutnya furu’ abawaihi (hubungan garis orang tua), dan setelah itu furu’ ajdadihi (hubungan garis kakek nenek).

Jika mereka dari satu golongan, maka masing-masing diutamkan berdasarkan pada kedekatan derajat. Dan jika mereka sama dalam golongan dan derajat, maka masing-masing mereka diutamakan berdasarkan pada pertalian, dimana orang yang mempunyai pertalian dengan seorang ahli waris, maka dia lebih diutamakan daripada orang yang tidak mempunyai  pertalian dengan orang yang bukan ahli waris. Dan jika mereka mempunyai kesamaan dalam jihat, derajat dan pertalian, pengutamaan dilakukan melalui kuatnya kekerabatan, jika mereka semua dari pihak ibu.

Dan apabila sebagian diantara mereka berasal dari pihak ayah dan sebagian lainnya berasal dari pihak ibu, maka dua pertiga diberikan kepada kerabat dari pihak ayah, dan sepertiga diberikan kepada kerabat dari pihak ibu. Kalau mereka semua laki-laki atau semuanya perempuan, maka harta warisan dibagikan secara sama rata.

No comments:

Post a Comment