Pengertian Dzawil Arham
Secara bahasa, dzawil arham
berarti kaum kerabat secara umum, baik yang berasal dari ashabud furud,
ashabah, maupun dari yang lainnya.
Menurut para fuqaha’ yang
dimaksud dengan dzawil arham adalah kaum kerabat yang bukan dari ashabul furud
dan bukan juga dari ashabah. Misalnya, putera-puteri dari anak perempuan,
putera-puteri dari anak perempuannya anak laki-laki, ayahnya ibu, ibu dari
ayahnya ibu, putera-puteri saudara perempuan, anak perempuan dari saudara
laki-laki, bibi dari pihak ayah seayah seibu atau seayah saja atau seibu saja,
paman dari pihak ibu, putera dan puteri dari paman dari pihak ibu, dan anak
perempuan dari paman seayah seibu atau seayah saja.
Perbedaan pendapat mengenai pemberian warisan kepada dzawil arham
Para sahabat dan tabi’in serta fuqaha
yang dating setelah mereka, berbeda pendapat mengenai pemberian warisan kepada
dzawil arham. Di antara sahabat Rasulullah yang berpendapat boleh memberikan
warisan kepada dzawil arham itu adalah
Ali bin abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda’ dan
Abu Ubaidah bin Jarrah. Pendapat ini diikuti oleh beberapa orang dari para
tabi’in, diantaranya adalah Syuraih, Husain, Ibnu Sirin, Atha’ dan Mujahid.
Sedangkan kalangan fuqaha yang berpendapat demikian adalah Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Muhammad Zafar, dan Ahmad Hanbal.
Zaid bin Tsabit berpendapat tidak
memberikan warisan kepada mereka. Affan, tetapi ini tidak benar. Dikisahkan,
bahwa Al-Mu’tadhah pernah bertanya kepada Abu Hazim Al-Qadhi mengenai masalah
ini, dia menjawab, “Para sahabat Rasulullah telah mengadakan ijma’ dengan tidak
diikuti Zaid bin Tsabit untuk memberikan warisan kepada dzawil arham.
Pendapat Zaid bin Tsabit tersebut
diikuti oleh sebagian dari tabi’in di antaranya: Sa’id bin Musayyid, dan Sa’id
bin Jubair.
Dan dari fuqaha di antaranya:
Sufyan Tsauri, Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Cara-cara pemberian warisan kepada dzawil arham
Orang-orang yang membolehkan
memberikan warisan kepada dzawil arham berbeda pendapat mengenai cara pemberian
warisan kepada mereka. Dalam hal ini mereka mempunyai tiga cara, yaitu:
Pertama: Cara Ahlur Rahim, yaitu
suatu cara dalam membagikan seluruh harta warisan atau sisanya setelah bagian
fardh salah seorang dari suami isteri diambil kepada seluruh ahli waris dzawil
arham secara sama rata tanpa membedakan antara satu ahli waris atas ahli waris
lainnya, baik dari segi kuat atau lemahnya kekerabatan, dekat atau jauhnya
derajat hubungan dengan si mayit, baik laki-laki atau perempuan.
Kedua: Cara Ahlut Tanzil, yaitu
suatu cara dalam membagikan harta warisan kepada dzawil arham dengan
menempatkan mereka pada status ahli waris dari ashabul furud atau ashabah yang
mempunyai pertalian dengan si mayit serta memberikan bagiannya. Dengan
demikian, putera-puteri anak perempuan akan menempati kedudukan anak perempuan,
putera-puteri saudara perempuan menempati kedudukan saudara perempuan, bibi
dari pihak ayah menempati kedudukan ayah, paman dan bibi dari pihak ibu
menempati kedudukan ibu.
Landasan mereka adalah apa yang
diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah memberikan kepada seorang bibi dari
pihak ayah dua pertiga bagian dan kepada bibi dari pihak ibu sepertiga.
Selanjutnya mereka mengatakan: “Hal ini tidak mungkin bisa, kecuali dengan cara
mendudukkan bibi dari pihak ayah pada kedudukan ayah, dan bibi dari pihak ibu
pada kedudukan ibu.”
Demikian itu hujjah mereka yang
bersandar pada sunnah. Sedangkan dalam hujjah aqli, mereka mengatakan:
“Sesungguhnya tidak mungkin memberikan warisan kepada mereka kecuali dengan
menempatkan mereka kepada kedudukan orang yang mempunyai pertalian nasab dengan
si mayit. Mengenai hal itu tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun
As-Sunnah sesuatu yang menerangkan cara-cara membagikan warisan kepada mereka.”
Cara seperti ini dijadikan
sandaran oleh Iqlimah, Sya’abi, Masruq, dan Ahmad, sebagaimana hal itu telah
dipegang oleh para penganut Imam Maliki dan Imam Syafi’I, yaitu ketika mereka
mengeluarkan fatwa untuk memberikan warisan kepada dzawil arham setelah sistem
baitul maal tidak lagi berfungsi.
Ketiga: Cara Ahlul Qarabah. Cara
ini dinasabkan kepada Ali bin Abi Thalib Ra, dan cara ini pula yang dijadikan
pegangan oleh para penganut madzhab Hanafi. Teori ini mendahulukan
hubungan nasab dzawil arham yang lebih
dekat dengan si mayit, yaitu dengan mengqiyaskan pembagian warisan dengan jalan
rahim (kekerabatan) dengan pembagian warisan dengan jalan ta’shib, dimana
keduanya didapatkan oleh kerabat yang tidak memiliki saham tertentu dalam harta
warisan.
Berdasarkan hal itu, mereka
membagi dzawil arham menjadi empat golongan, sebagaimana ashabah juga dibagi
menjadi empat jihat. Mereka menyusun keempat golongan tersebut berdasarkan pada
keutamaan dalam menerima warisan seperti penerbitan jihad ta’shib, yaitu dengan
mendahulukan furu’us syakhsh (pribadi penerima) terlebih dahulu, lalu ushulihi
(hubungan garis lurus ke atas), selanjutnya furu’ abawaihi (hubungan garis
orang tua), dan setelah itu furu’ ajdadihi (hubungan garis kakek nenek).
Jika mereka dari satu golongan,
maka masing-masing diutamkan berdasarkan pada kedekatan derajat. Dan jika
mereka sama dalam golongan dan derajat, maka masing-masing mereka diutamakan
berdasarkan pada pertalian, dimana orang yang mempunyai pertalian dengan
seorang ahli waris, maka dia lebih diutamakan daripada orang yang tidak
mempunyai pertalian dengan orang yang
bukan ahli waris. Dan jika mereka mempunyai kesamaan dalam jihat, derajat dan
pertalian, pengutamaan dilakukan melalui kuatnya kekerabatan, jika mereka semua
dari pihak ibu.
Dan apabila sebagian diantara
mereka berasal dari pihak ayah dan sebagian lainnya berasal dari pihak ibu,
maka dua pertiga diberikan kepada kerabat dari pihak ayah, dan sepertiga
diberikan kepada kerabat dari pihak ibu. Kalau mereka semua laki-laki atau
semuanya perempuan, maka harta warisan dibagikan secara sama rata.
No comments:
Post a Comment