Saturday, October 1, 2016

Prinsip-Prinsip Bank Islam Indonesia



Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai prinsip syariah. Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah misi utama perbankan Islam.

Dengan landasan falsafah dasar sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya dan dengan visi  misi tersebut di atas, maka setiap kelembagaan keuangan syariah akan menerapkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

 

Menjauhkan Diri dari Kemungkinan Adanya Unsur Riba


  • Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil usaha, seperti penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional. Mengapa? Dalam QS. Luqman (31): 34. Intinya: Hanya Allah Subhanahu Wata’ala sajalah yang mengetahui apa yang akan terjadi esok. 
  • Menghindari penggunaan sistem presentasi biaya terhadap utang atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu. Mengapa? Dalam QS. Al Imran (3): 130. Intinya: Allah Subhanahu Wata’ala melarang memakan riba berlipat ganda.
  • Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya (barang yang sama dan sejenis, seperti uang rupiah dengan rupiah yang masih berlaku) dengan memperoleh, kelebihan baik kuantitas maupun kualitas. Mengapa? Dalam Hadits Shahih Muslim Bab Riba No. 1551 s/d 1567. Intinya: Memperdagangkan/menyewakan barang ribawi dengan imbalan barang yang sama dan sejenis dalam jumlah atau kualitas yang lebih adalah hukumnya riba.
  • Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela, seperti penetapan bunga pada bank konvensional. Mengapa? Dalam Hadits Shahih Muslim oleh Ma’mur Daud Bab Riba No. 1569-1572. Intinya: membayar utang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang dicontohkan dalam hadits, harus atas dasar sukarela dan prakarsanya harus datang dari yang punya utang pada saat jatuh tempo.

 

Menerapkan Prinsip Sistem Bagi Hasil dan Jual Beli

Dengan mengacu pada petunjuk Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2): 275 dan surat an-Nisa (4): 29 yang intinya. Allah SWT. Telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka, maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi islami harus selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang/jasa. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip “ada barang/jasa dulu baru ada uang”, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.

Dalam operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat lembaga ekonomi Islam menyediakan sarana investasi bagi penyimpanan dana dengan sistem bagi hasil, dan pada sisi penyaluran dana masyarakat menyediakan fasilitas pembiayaan investasi dengan system bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.
  • Investasi bagi penyimpan dana berarti nasabah yang menyimpan dananya pada bank ini (tabungan mudharabah atau simpanan mudharabah) dianggap sebagai penyedia dana (rabbul mal) akan memperoleh hak bagi hasil dari usaha bank sebagai pengelola dana (mudharib) yang sifat hasilnya tidak tetap dan tidak pasti sesuai dengan besar kecilnya hasil usaha bank. Bagi hasil yang diterima penyimpan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana tersebut mengendap dan dikelola oleh bank, bisa satu tahun, satu bulan, satu minggu, bahkan bisa satu hari.
Catatan: presentasi yang dipergunakan untuk menentukan nisbah/porsi bagi hasil tidak termasuk pengertian butir 2. Mengapa? Karena, presentasi ini dikenakan terhadap sesuatu yang tidak pasti besarnya, yaitu hasil usaha yang dari waktu ke waktu selalu berubah.
  • Pembiayaan investasi ialah pembiayaan baik sepenuhnya (al-mudharabah) atau sebagian (al-musyarakah) terhadap suatu usaha yang tidak berbentuk saham. Dana yang ditempatkan, yang sepenuhnya maupun yang sebagian itu tetap menjadi milik bank sehingga pada waktu berakhirnya kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai dengan kesepakatan.                
Catatan: Karena pembiayaan investasi yang dilakukan bank ini tidak berupa saham dan berjangka waktu terbatas, maka kegiatan ini tidak termasuk kategori penyertaan modal pada suatu perusahaan lain yang dilarang undang-undang di Indonesia dilakukan oleh bank.  
Dari semua bentuk pembiayaan itu, yang paling disukai sebenarnya adalah pembiayaan Mudharabah. Konon, dari Tarikh (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Dicontohkan adanya sistem al-mudharabah sebagi sistem penitipan modal yang dikelola Nabi tatkala beliau dipercaya membawa sebagian barang dagangan Siti Khadijah ra. Dari Mekah ke negeri Syam. Barang dagangan itu boleh dikatakan sebagai modal usaha, karena oleh Nabi dijual dan hasilnya dibelikan barang dagangan lainnya untuk dijual lagi di pasar Bushra di negeri Syam. Nabi melakukan perjalanan (dharb) untuk mencari sebagian karunia Allah.

Setelah beberapa lama, Nabi kembali ke Mekah membawa hasil usahanya  dan dilaporkan kepada  Siti Khadijah ra. Harta yang telah dikembangkan itu tentunya dihitung dan dibandingkan dengan harta semula. Harta semula dikembalikan pada empunya, sedang selisihnya antara yang empunya harta (rabbul mal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan kesepakatan semula.

Menurut buku Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW. Yang ditulis oleh H. M. H. Al Hamid Al Husaini, Penerbit Yayasan Al Hamidy, sebelum Nabi berangkat ke negeri Syam, Siti Khadijah ra. menjanjikan bagian keuntungan kepada beliau dua kali lebih banyak dari yang biasa diberikan kepada orang Quraisy lainnya.   
  

No comments:

Post a Comment