Sistem penyelesaian sengketa
menurut hukum Islam tidak jauh berbeda dari Hukum Nasional, yaitu melalui
perdamaian (Sulh/Ishlah), melalui
arbitrase (tahkim), dan melalui
pengadilan kekuasaan kehakiman (wilayat
al-Qadla).
Perdamaian (Sulh/Ishlah)
Ishlah secara harfiah mengandung pengertian “memutus pertengkaran
atau perselisihan”. Dalam pengertian syariah dirumuskan sebagai berikut: “suatu
jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan) antara dua
orang yang berlawanan”.
Dalam perdamaian ini terdapat dua
pihak yang sebelumnya di antara mereka ada suatu persengketaan, dan kemudian
para pihak sepakat untuk saling melepaskan semua atau sebagian dari
tuntutannya, hal ini di maksudkan agar persengketaan di antara mereka (pihak
yang bersengketa) dapat berakhir.
Masing-masing pihak yang
mengadakan perdamaian dalam syariah Islam diistilahkan dengan Mushalih, sedangkan objek yang
diperselisihkan oleh para pihak disebut dengan Mushalih ‘anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap pihak lain untuk mengakhiri pertengkaran dinamakan Mushalih ‘alaihi
Perdamaian dalam syariah Islam
sangat dianjurkan, sebab dengan adanya perdamaian di antara para pihak yang
bersengketa, maka akan terhindarlah kehancuran silaturrahmi (hubungan kasih sayang)
di antara para pihak, dan sekaligus permusuhan di antara para pihak akan dapat
diakhiri.
Dasar Hukum
Anjuran diadakannya perdamaian di
antara para pihak yang bersengketa dapat dilihat dalam ketentuan Al-Qura’an,
Sunnah Rasul, dan Ijma’.
- Dalam Al-Qura’an
QS. Al-Hujaraat (49) ayat (9), yang artinya sebagi berikut.“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
- Hadits
Dari Abu Daud, At Tirmizi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari ‘Amar bin Auf, bahwa Rasulullah SAW., bersabda sebagai berikut: “Perjanjian di antara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.
- Dasar hukum yang lain adalah ijma, yaitu para ahli hukum bersepakat bahwa penyelesaian pertikaian di antara para pihak yang bersengketa telah disyariatkan dalam ajaran Islam.
Rukun dan syarat sahnya perjanjian perdamaian
Rukun dari perjanjian perdamaian
adalah:
- adanya ijab;
- adanya Kabul; dan
- adanya lafal.
Ketiga rukun ini sangat penting
artinya dalam suatu perjanjian perdamaian, sebab tanpa adanya ijab, Kabul, dan
lafal tidak diketahui adanya perdamaian di antara mereka. Apabila rukun ini
telah terpenuhi, maka dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan
hukum, yaitu masing-masing pihak berkewajiban untuk menaati isi perjanjian.
Perjanjian itu dapat dipaksakan pelaksanaannya, tiddak dapat dibatalkan secara
sepihak dan kalaupun dibatalkan harus berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak.
Adapun yang menjadi syarat sahnya
suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada hal berikut ini.
- Perihal subjek. Orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum, dan juga harus mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian itu.
- Perihal Objek perdamaian. Harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
- Berbentuk harta (baik berwujud maupun tidak berwujud) yang dapat dinilai, diserahterimakan, dan bermanfaat.
- Dapat diketahui secara jelas, sehingga tidak menimbulkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang dapat menimbulkan pertikaian yang baru.
Sengketa yang boleh didamaikan
- Sengketa tersebut berbentuk harta yang dapat dinilai.
- Menyangkut hak manusia yang boleh diganti.
Dengan kata lain perjanjian perdamaian hanya sebatas pada persoalan-persoalan muamalah saja (hubungan keperdataan). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak Allah SWT. tidak dapat diadakan perdamaian.
Arbitrase
Arbitrase yang dalam Islam
dikenal dengan istilah al-tahkim merupakan bagian dari al-qadla (peradilan). Seperti yang dikemukakan oleh para sarjana
muslim, yakni: Ibnu Farhun mengatakan: “Wilayah tahkim adalah wilayah yang didapatkan dari perseorangan. Ini
merupakan bagian dari al-qadla yang
berhubungan dengan harta benda, bukan dengan al-hudud dan al-qishas. Juga Ibnu Nu’jaim pernah berkata: “Al-tahkim adalah bagian dari al-qadla”.
Landasan hukum untuk
memperbolehkan arbitrase, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, maupun ijma, bila ditelaah dengan seksama, pada
prinsipnya berisi anjuran untuk menyelesaikan perselisihan dengan jalan damai.
Jalan damai adalah cara yang paling utama menurut ajaran Islam. Namun bila
jalan damai telah ditempuh dan tidak berhasil untuk menemukan jalan keluarnya
atau masing-masing pihak masih tetap pada pendiriannya, maka mereka bias
meminta kepada pihak ketiga yang untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka
(Hakam)
- Kekuatan Keputusan Hakam
Ahli hukum Islam dari kalangan pengikut Abu Hanifah, Ibnu Hambal, dan Imam Malik menyimpulkan bahwa karena kedua belah pihak telah setuju untuk memilih hakam itu untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka, maka apa yang menjadi keputusan dari hakam itu langsung mengikat tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan kalangan pengikut Imam Syafi’I berpendapat bahwa putusan hakam sama halnya dengan fatwa yang tidak mengikat kecuali jika ada ketegasan persetujuan dari kedua belah pihak yang bersengketa.
- Eksekusi Putusan Hakam
Pada dasarnya putusan hakam itu pelaksanaannya adalah suka sama suka antara dua orang yang bersengketa. Hakam tidak mempunyai kekuatan untuk memaksa masing-masing pihak yang ternyata di kemudian hari tidak bersedia melaksanakan keputusan itu. Oleh sebab itu seperti ditegaskan oleh Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya Nidzamul Qadla Fil-Islam, bilamana salah satu pihak tidak bersedia menepati putusan hakam itu, maka untuk eksekusinya diserahkan kepada Pengadilan Negeri untuk Al-qadla membantu pelaksanaan putusan itu. Menurutnya lagi, hakim tidak berhak untuk membatalkan putusan itu, selama putusan itu sejalan dengan hukum yang berlaku atau dipakai pada badan arbitrase yang memutuskannya.
Pengadilan Biasa (Al-Qadla)
secara harfiah berarti antara
lain memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah fikih kata ini berarti
menetapkan hukum syara’ pada suatu
peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil adan mengikat.
Lembaga peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara perdata
dan pidana. Orang yang berwenang untuk menyelesaikan perkara pada pengadilan
semacam ini dikenal dengan qadli
(hakim). Kekuasaan qadli tidak dapat dibatasi oleh persetujuan pihak yang
bertikai dan keputusan dari qadli ini mengikat kedua belah pihak.
Dasar hukum dari al-qadla:
Dalam QS. an-Nisa (4): 35 dinyatakan:“Dan jika kamu mengkhawatirkan ada persengketaan di antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”.
Hadits Riwayat Bukhari dalam al
Adab Al Mufrad atau Daud, dan An Nasa’I dari Syuraih bin Hani dari ayahnya yang
berisikan:
“Ada rombongan yang datang kepada Rasul SAW. dan diantaranya ada yang bergelar Abu Al Hakam, lalu Rasul mengatakan kepadanya: Sesungguhnya Allah adalah Al Hakam dan kepada-Nya-lah Al Hukum, kenapa engkau bergelar Abu Al Hakam? Jawabnya sesungguhnya kaumku, apabila terjadi perselisihan di antara mereka selalu mendatangi aku, maka tetapkanlah hukum di antara mereka, maka kelompok yang bertikai dapat menerima keputusan hukum itu, lalu Rasul berkata: alangkah bagusnya hal itu.
No comments:
Post a Comment