Friday, November 24, 2017

Pengertian Gadai, Hukum, Rukun, Syarat dan Memanfaatkan Barang yang DIgadaikan.



Pengertian Gadai


Gadai dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan Rahn. Kata rahn itu sendiri secara bahasa berarti tanggung jawab, sebagaimana yang difirmankan Allah Swt:

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya” (QS Al-Mudatsir: 38)

Demikian juga sabda Rasulullah Saw, “Jiwa seorang mukmin itu tergantung pada hutangnya sehingga dilunasi.” HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, Hakim. Hakim mengatakan, dengan syarat Bukhari dan Muslim.

Sedangkan menurut syari’at. Rahn berarti menilai suatu barang dengan harta tertentu atas suatu hutang, yang dimungkinkan pembayaran hutang itu dengan mengambil sebagian dari barang tersebut.

Hukum Gadai

Sebagaimana halnya dengan jual beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh juga digadaikan. Dalil yang melandasinya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Al-Sunnah dan Ijma’.
Allah Swt berfirman:

“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Baqarah: 283)

Ayat tersebut di atas bermakna bahwa Allah Swt memerintahkan orang yang melakukan suatu transaksi dengan orang lain, sedang bersamanya tidak ada juru tulis, maka hendaklah dia memberikan suatu barang sebagai jaminan (gadai) kepada orang yang memberikan hutang kepadanya supaya merasa tenang dalam melepaskan uangnya tersebut. Selanjutnya hendaklah peminjam menjaga uang atau barang-barang hutangan itu agar tidak hilang atau dihamburkan tanpa ada manfaat.

Sedangkan dalam hadits lain disebutkan:
“Nabi Saw pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi, (bernama Abu Syahm) dengan tiga puluh sha’ gandum untuk keluarganya.” HR. Bukhori dan Muslim
Dalam hadits di atas terdapat pengertian yang membolehkan mu’amalah dengan ahlul kitab. Dan para ulama telah melakukan ijma’ yang membolehkan gadai.

Rukun Gadai

Gadai mempunyai tiga rukun, yaitu:

Pertama, akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pemilik uang dengan orang yang berhutang yang menyerahkan suatu jaminan atas pinjamannya.

Kedua, ada objek (barang) yang digadai, yaitu pinjaman dan barang yang digadaikan.

Ketiga, shighat.

Menurut para penganut Imam Hanafi, suatu gadai mempunyai satu rukun, yaitu ijab dan qabul, karena keduanya itulah yang merupakan akad sebenarnya.

Syarat Gadai

Dalam gadai ada beberapa syarat, yaitu:
  1. Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai adalah orang yang boleh melakukan transaksi jual beli.
  2. Bukan orang gila dan anak-anak.
Menurut Imam Syafi’I, syarat-syarat gadai terbagi menjadi dua bagian:

Pertama, syarat yang menjadi keharusan, yaitu penyerahan barang yang digadaikan. Dengan demikian, jika seseorang menggadaikan sebuah rumah, lalu dia tidak menyerahkannya, maka akad tersebut batal karenanya.

Dan jika barang yang digadaikan itu sudah berada ditangan orang yang memberikan pinjaman sebelum akad dilaksanakan, baik karena disewa, dipinjam, ghashab, atau yang lainnya, berarti barang tersebut telah berada di tangannya setelah dilaksanakan akad.

Dengan demikian, syarat sahnya penarikan barang gadai adalah penggadai itu sendiri.

Kedua, syarat-syarat yang berkaitan dengan sahnya gadai, yaitu terdiri dari beberapa macam:
  1. Yang berkaitan dengan akad, yaitu tidak tergantung pada suatu syarat yang tidak diperlukan dalam akad ketika menyelesaikan hutang piutang, karena hal itu dapat membatalkan gadai. Dan jika disyaratkan sesuatu yang diperlukan dalam akad, maka yang demikian itu tidak membatalkan akad.
  2. Yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang melaksanakan akad, yaitu yang menyerahkan dan yang menerima gadai. Syarat bagi keduanya adalah baligh dan berakal. Dengan demikian suatu akad tidak boleh dilakukan oleh orang gila, anak-anak atau orang idiot.

 

Memanfaatkan Barang yang Digadaikan

Apakah penggadai atau yang menerima gadai dapat memanfaatkan atau mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan tersebut, baik barang gadai itu berupa tanah, pertanian, rumah maupun hewan.

Menurut para penganut madzhab Imam Malik, hasil dan keuntungan yang diperoleh dari barang gadai merupakan hak penggadai, kecuali jika penerima gadai mensyaratkan lain.
Mengenai yang terakhir, ada tiga syarat, yaitu:

Pertama, hutang piutang itu disebabkan karena jual beli dan bukan karena qiradh. Misalnya, jika seseorang menjual rempah-rempah atau barang dagangan kepada orang lain denga pembayaran di belakang, kemudian karena sebab lain dia menggadaikan suatu barang yang menjadi jaminan pembayarannya.

Kedua, jika penerima gadai mensyaratkan agar keuntungan dari barang itu untuknya, jika penggadai menyetujuinya, maka si penggadai tidak boleh mengambil keuntungan tersebut.

Ketiga, pengambilan keuntungan dari barang gadai oleh si penerima gadai itu harus ditentukan batas waktunya.

Sedangkan menurut penganut madzhab Syafi’I, penggadai adalah pemilik hak untuk memanfaatkan barang gadai itu meskipun barang gadai itu berada di tangan penerima gadai, dan tidak boleh melepaskan diri menggarap barang gadai itu untuk selanjutnya menyerahkan keuntungannya kepada penggadai selama penggarapan tersebut.

Selain itu, penggadai juga boleh memanfaatkan secara keseluruhan barang gadai selama tidak mengurangi nilai barang gadai tersebut, misalnya menempati rumah atau menaiki hewan yang digadaikan tanpa meminta izin kepada pemegang barang gadai. Mengenai hal itu ada sebuah hadits shahih yang berbunyi:
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi lantaran member nafkah, jika ia tergadai.” HR. Abu Dawud.
Tetapi penggadai tidak diperbolehkan mendirikan bangunan di tanah yang digadaikan atau menanam pohon-pohon di dalamnya, jika ia melakukan demikian itu ia tidak boleh merusak atau memotong pohon tersebut sebelum adanya penyelesaian hutang piutang.

Dan setelah adanya penyelesaian hutang piutang, jika bangunan atau pohon itu memperkecil harga tanah itu, maka bangunan dan pohon-pohon tersebut harus dihilangkan.

Bangunan dan pohon-pohon tersebut tidak termasuk dalam barang yang digadaikan, karena keduanya ada setelah pelaksanaan akad.

Menurut para penganut madzhab Abu Hanifah, penggadai tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan tersebut dalam bentuk apapun, kecuali dengan seizing pemegang gadai tersebut.

Dengan demikian itu dia tidak dibenarkan menunggangi binatang tunggangan atau menempati rumah atau menyewakannya, tidak boleh juga mengenakan atau meminjamkan pakaian selama masih digadaikan kecuali dengan izin pemegang gadai. Tidak ada perbedaan dalam hal itu, baik pemanfaatan tersebut mengurangi nilainya atau tidak. Dan jika pemegang gadai telah memberikan izin, maka yang demikian itu dibenarkan. Sebenarnya, semua keuntungan dan apa yang dihasilkan  dari barang gadai tersebut merupakan hak penggadai. Dengan demikian, apa yang dihasilkan dari barang gadai tersebut yang berupa kurma, susu, telur, bulu dan lain sebagainya menjadi hak penggadai.

Sedangkan menurut para penganut madzhab Hambali, barang gadaian baik yang berupa binatang tunggangan atau binatang perahan maupun binatang bukan tunggangan atau perahan. Jika binatang tunggangan atau perahan, maka pemegang gadai boleh memanfaatkannya, baik dengan menungganginya maupun memeras susunya tanpa meminta izin kepada penggadai. Yang demikian itu karena berdasarkan pada kesepakatan di antara keduanya.

Dan jika binatang tersebut bukan tunggangan atau perahan, maka pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadaian kecuali seizin dari penggadai sedara gratis, selama penggadaian barang tersebut bukan karena qiradh. Jika karena qiradh, maka pemegang gadai tidak boleh memanfaatkannya meskipun seizin penggadai.

Demikian juga sebaliknya, tidak diperbolehkan bagi penggadai memanfaatkannya tanpa adanya izin dari pemegang gadai.

Sedangkan hasil dari barang yang digadaikan, baik yang melekat maupun yang terpisah darinya, seperti susu, telur, bulu dan pelepah maupun serabut yang terjatuh dari pohon atau kayu yang dihasilkan dari pohon itu sendiri. Semuanya itu menjadi barang gadaian yang berada di tangan pemegang gadai, wakil atau orang yang ditunjuk untuk memegangnya, maka semuanya ikut dijual bersama barang gadai yang asli. Dan jika hasil-hasil dari barang gadaian itu dapat bertahan lama, maka boleh dijual dan hasil dari penjualan tersebut dijadikan juga sebagai barang gadaian.

No comments:

Post a Comment