Wednesday, November 29, 2017

Biografi Singkat KH. Hasyim Asy'ary



Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Muhammad Hasyim itulah nama kecil beliau, lahir di Pondok Gedang Diwek Jombang, Jawa pada hari Selasa tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Ketika dalam kandungan dan kelahiran KH. M. Hasyim Asy’ari, telah tampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. Di antaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

Hasyim Asy’ari ketika berusia 15 tahun, mulai mengembara untuk menuntut ilmu, belajar kepondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan Tuban, kemudian Bangkalan Madura, di bawah bimbingan Kiai Muahammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhona Khalil).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M). akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, di bawah bimbingan K.H Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan sharafnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M, Kiai Hasyim yang saat itu berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putrid Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Di samping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis Rasulullah Saw yang telah menjadi kegemarannya sejak di tanah air.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih dating silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari ditanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. Empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai orang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Di samping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, di tempat ini, beliau berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah Saw di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau.

Ulama-ulama besar tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam Ilmu Bahasa dan Syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam Ilmu Hadis), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minangkabawi (dalam segala bidang keilmuan).

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Sepulang dari tanah suci sekitar tahun 1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri. Beliau pertama kali mengajar di Pesantren Gedang Diwek Jombang yang diasuh oleh mendiang kakeknya, sekaligus tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Di sinilah beliau sempat menikahi salah seorang putrid Kiai Sholeh Banjar Melati. Karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangannya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya. Segala kesulitan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat di atasi.

KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan Kitab Shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci Ramadhan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh Jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang. Pada awalnya, santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang. Banyak alumni Pondok Tebuireng yang sukse menjadi ulama besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi Negara. Kini Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

Di samping aktif mengajar, beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat yang lokal maupun nasional. Pada tanggal 16 Sya’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa didirikanlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama-ulama besar lainnya, dengan azas dan tujuannya: “ Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’I, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi Rais Akbar NU, sebuah gelar yang hingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun Qanun Asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan paham Ahli Sunnah wal-Jama’ah.

Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang social dan kebangsaan: Beliau terlibat  secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah Belanda. Pada tahun 1937, beliau didatangi pimpinan pemerintah Belanda dengan memberikan Bintang Mas dan Perak tanda kehormatan, tetapi beliau menolaknya.

Masa-masa Revolusi fisik di Tahun 1940, barangkali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisime Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau cacat. Tetapi, justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan “tinta emas” pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara Republik Indonesia, yaitu dengan menyerukan “Resolusi Jihad”, beliau memfatwakan “Jihad” Pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya, saat ini, peristiwa itu dikenal dengan “Hari Pahlawan Nasional”.

Jasa KH. Hasyim Asy’ari tentang resolusi jihad, yang dikenal dengan hari pahlawan ini, telah diangkat ke layar lebar denga judul “Sang Kiayi”

KH. M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03,00 pagi. Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H, dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.


No comments:

Post a Comment