Karya dan jasa Kiai Hasyim
Asy’ari tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin
pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada
di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim
Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu
Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari
Jaka Tingkir).
Muhammad Hasyim itulah nama kecil
beliau, lahir di Pondok Gedang Diwek Jombang, Jawa pada hari Selasa tanggal 24
Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Ketika dalam
kandungan dan kelahiran KH. M. Hasyim Asy’ari, telah tampak adanya sebuah
isyarat yang menunjukkan kebesarannya. Di antaranya, ketika dalam kandungan
Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam kandungannya,
begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa
yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Hasyim Asy’ari ketika berusia 15
tahun, mulai mengembara untuk menuntut ilmu, belajar kepondok-pondok pesantren
yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa. Di antaranya adalah Pondok
Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya,
dan Langitan Tuban, kemudian Bangkalan Madura, di bawah bimbingan Kiai
Muahammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhona Khalil).
Setelah sekitar lima tahun
menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M). akhirnya
beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, di
bawah bimbingan K.H Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan sharafnya. Selang
beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin
menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M, Kiai
Hasyim yang saat itu berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putrid Kiai
Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah
suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Di samping
menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang
telah dimilikinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh
disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hadis Rasulullah Saw yang telah menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit
diduga, gembira dan sedih dating silih berganti. Demikian juga yang dialami
Kiai Hasyim Asy’ari ditanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah,
beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan
memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian
meninggal dunia. Empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga
menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu
sudah mulai dikenal sebagai orang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya
penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang
nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Di samping itu, beliau juga memiliki
teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai
akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama
mertuanya.
Kerinduan akan tanah suci rupanya
memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893
M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama
Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali
menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru
untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat
bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, di tempat ini, beliau
berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim,
dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah Saw di Madinah pun selalu menjadi
tempat ziarah beliau.
Ulama-ulama besar tersohor pada
saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya
adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam Ilmu
Bahasa dan Syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam Ilmu Hadis),
Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minangkabawi (dalam segala bidang
keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak
sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air
dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, sebagai bekal untuk beramal dan
mengajar di kampung halaman.
Sepulang dari tanah suci sekitar
tahun 1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri. Beliau pertama kali
mengajar di Pesantren Gedang Diwek Jombang yang diasuh oleh mendiang kakeknya,
sekaligus tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau
mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Di sinilah beliau sempat menikahi
salah seorang putrid Kiai Sholeh Banjar Melati. Karena berbagai hal, pernikahan
tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317
H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan
seperjuangannya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai
Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya. Segala kesulitan dan ancaman
pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat
di atasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai
sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu
menghatamkan Kitab Shakhihaini
“Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci Ramadhan yang konon
diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh Jawa.
Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang. Pada awalnya, santri Pondok Tebuireng
yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang,
bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang. Banyak alumni Pondok
Tebuireng yang sukse menjadi ulama besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi
Negara. Kini Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
Di samping aktif mengajar, beliau
juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat yang lokal maupun
nasional. Pada tanggal 16 Sya’ban
1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa didirikanlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama
(kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan
ulama-ulama besar lainnya, dengan azas dan tujuannya: “ Memegang dengan teguh
pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’I, Imam
Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga
mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim
Asy’ari terpilih menjadi Rais Akbar
NU, sebuah gelar yang hingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga
menyusun Qanun Asasi (peraturan
dasar) NU yang mengembangkan paham Ahli
Sunnah wal-Jama’ah.
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak
hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang
social dan kebangsaan: Beliau terlibat
secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah Belanda.
Pada tahun 1937, beliau didatangi pimpinan pemerintah Belanda dengan memberikan
Bintang Mas dan Perak tanda kehormatan, tetapi beliau menolaknya.
Masa-masa Revolusi fisik di Tahun
1940, barangkali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa
penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisime Jepang. Dalam
tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan
beliau cacat. Tetapi, justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan “tinta
emas” pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara Republik Indonesia, yaitu
dengan menyerukan “Resolusi Jihad”,
beliau memfatwakan “Jihad” Pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya, saat ini,
peristiwa itu dikenal dengan “Hari
Pahlawan Nasional”.
Jasa KH. Hasyim Asy’ari tentang
resolusi jihad, yang dikenal dengan hari pahlawan ini, telah diangkat ke layar
lebar denga judul “Sang Kiayi”
KH. M. Hasyim Asy’ari wafat pada
pukul 03,00 pagi. Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan
1366 H, dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa
Timur.
No comments:
Post a Comment