Samudera Pasai
Samudera Pasai diperkirakan
tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan abad ke-13.
Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe, Nanggroe
Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan Malik as-Shaleh (wafat
tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja
Pasai, diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya adalah seorang
kepala gampong (sebuah system pembagian wilayah administrative di Provinsi Aceh
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati)
Samudera bernama Meurah Silu. Setelah menganut agama Islam, ia berganti nama menjadi Malik as-Shaleh. Berikut ini merupakan urutan
para Raja-Raja yang memerintah di Kesultanan Samudera Pasai: Sultan Malik
as-Shaleh (696 H/129 M); Sultan Muhammad Malik Zahir (1297-1326); Sultan Mahmud
Malik Zahir (1346-1383); Sultan Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405); Sultanah
Nahrisyah (1405-1412); Abu Zain Malik Zahir (1412); Mahmud Malik Zahir (1513-1524).
Kesultanan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh didirikan Sultan
Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan diri dari kekuasaan
Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin
al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan
berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan
menantang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah,
pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dating untuk meminta
izin berdagang di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan Ali
Riayat dengan panggilan Sultan Muda. Yang berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada
masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli
perdagangan di Aceh. Tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda
digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh
mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang
berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Minangkabau,
Perak, Pahang, dan Kedah (1615-1619).
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh
muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan
Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu
Sultan Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya (Sultan Iskandar Muda), ia lebih
mementingkan pembangunan dalam negeri dari pada ekspansi ke luar negeri. Dalam
masa pemerintahannya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai
dan sejahtera, hokum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan
kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Kerajaan Islam di Sulawesi
Kerajaan-kerajaan Islam muncul di
Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan antar benua yang berlangsung ketika
itu. Beberapa kerajaan Islam di Sulawesi, diantaranya adalah Gowa Tallo, Bone,
Wajo, dan Soppeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan
itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa Tallo.
Kerajaan Gowa Tallo
Kesultanan Gowa, atau kadang
ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan terbesar dan paling sukse yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan.
Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung
selatan dan pesisir barat Sulawesi. Pada awalnya di daerah Gowa terdapat
Sembilan komunitas yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera),
yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang,
Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan Kalili.
Sejak Gowa Tallo sebagai pusat
perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Ternate yang sudah
menerima Islam dari Gresik. Raja Ternate yakni
Baabullah mengajak Raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi gagal. Baru
pada masa Datu Ri Bandang dating ke Kerajaan Gowa Tallo. Agama Islam mulai
masuk ke kerajaan ini. Setahun kemudian, hamper seluruh penduduk Gowa Tallo
memeluk Islam.
Muballiq yang berjasa menyebarkan
Islam adalah Abdul Qadir Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau. Kerajaan
ini mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669).
Daerah kekuasaan Makassar luas; seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur
dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai Raja yang sangat anti
kepada dominasi asing. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasanuddin memimpin
sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku.
Akibatnya, kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan hasanuddin tersebut maka Belanda
memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.
No comments:
Post a Comment