Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari
(w. 1812) adalah pengarang kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan
bagi pemeluk agama Islam di Asia Tenggara. Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang
pada hari Kamis dini hari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Beliau
adalah anak pertama dari Abdullah dan Siti Aminah (keluarga Muslim yang taat
beragama), yang nasabnya sampai pada Nabi melalui jalur Sultan Abdur Rasyid
Mindanao.
Sejak masa kecilnya, Allah Swt
telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang membedakannya dengan kawan
sebayanya. Di mana Dia sangat patuh dan ta’zim kepada kedua orang tuanya, serta
jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah swt. Juga
menganugerahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di
bidang lukis dank hat (kaligrafi).
Pada suatu hari, tatkala Sultan
Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung,
dan sampailah ke kampung Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan Manakala
melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa
pelukisnya, maka dijawab orang bahwa Muhammad Arsyadlah yang melukis.
Mengetahui kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati Sultan
keinginan untuk mengasuh dan mendidik Muh Arsyad kecil bersama dengan anak-anak
dan cucu Sultan di istana yang ketika itu baru berusia 7 tahun.
Sultanpun mengutarakan goresan
hatinya kepada kedua orang tua Muh. Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istirinya
merasa enggan melepas anaknya yang tercinta. Tapi, demi masa depan sang buah
hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, Negara dan orang
tua, maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad dalam
membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran
budi pekertinya menjadikan segenap warga istana saying dan hormat kepadanya.
Bahkan, sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.
Setelah dewasa beliau dinikahkan
dengan seorang perempuan yang solehah bernama tuan “Bajut”, seorang perempuan
yang taat lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling
pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih
ridha Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak pertama, terlintaslah
dihati Muh. Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci
Makkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati
mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya sang istripun
mengamini niat suci sang suami dan medukungnya dalam meraih cita-cita. Maka,
setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci
mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian do’a mengiringi
kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muh. Arsyad
mengaji kepada Syaikh-syaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau
adalah Syaikh ‘Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syaikh Muhammad bin
Sulaiman al Kurdi, dan al ‘Arif Billah Syaikh Muhammad bin Abd. Karim al Samman
al Hasani al Madani.
Syaikh yang disebutkan terakhir
adalah guru Muh. Arsyad di bidang tasawuf, di mana di bawah bimbingannyalah
Muh. Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya
dengan kedudukan sebagai khalifah.
Menurut riwayat, Khalifah al
Sayyid Muhammad al Samman di Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu
Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari, Syaikh Abd. Somad al palembani (Palembang),
Syaikh Abd. Wahab Bugis dan Syaikh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat
dikenal dengan “Empat Serangkai dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu
di al Haramain al Syarifain.
Setelah lebih kurang 35 tahun
menuntut ilmu, timbullah kerinduan pada kampong halaman. Terbayang di pelupuk
mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan pepohonan aren yang menjulang.
Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya
rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti
tanpa tahu sampai kapan penantiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H
bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura pusat
Kerajaan Banjar pada masa itu.
Terdapat kisah menarik ketika
Muh. Arsyad baru pulang dari tanah Arab. Ketika memasuki wilayah Nusantara,
daerah yang mereka lewati pertama kali di Sumatera yaitu Palembang, kampung
halaman Syaikh Abdus Samad Al Falimbani. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju
Betawi, yaitu kampung halaman Syaikh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi
Muhammad Arsyad diminta menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan
masyarakat Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika
Syaikh Muhammad Arsyad membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid
Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat
sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara Arab Melayu (tulisan
Jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar
25 derajat oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 safar 1186 H.
Sultan Tamjidillah (Raja Banjar)
menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun
mengelu-elukannya sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari
Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan sultanpun
termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi
wara’.
Setelah kurang lebih 40 tahun
mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada
hari selasa, 6 Syawal 1227 H (1812 M) Allah Swt. Memanggil Syaikh Muhammad
Arsyad kehadirat-Nya. Usia beliau 102 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan,
sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk.
No comments:
Post a Comment