Thursday, November 2, 2017

Biografi Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.



Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812) adalah pengarang kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi rujukan bagi pemeluk agama Islam di Asia Tenggara. Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari Kamis dini hari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Beliau adalah anak pertama dari Abdullah dan Siti Aminah (keluarga Muslim yang taat beragama), yang nasabnya sampai pada Nabi melalui jalur Sultan Abdur Rasyid Mindanao.

Sejak masa kecilnya, Allah Swt telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang membedakannya dengan kawan sebayanya. Di mana Dia sangat patuh dan ta’zim kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah swt. Juga menganugerahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dank hat (kaligrafi).

Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan sampailah ke kampung Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan Manakala melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa pelukisnya, maka dijawab orang bahwa Muhammad Arsyadlah yang melukis. Mengetahui kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati Sultan keinginan untuk mengasuh dan mendidik Muh Arsyad kecil bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan di istana yang ketika itu baru berusia 7 tahun.

Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua Muh. Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istirinya merasa enggan melepas anaknya yang tercinta. Tapi, demi masa depan sang buah hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, Negara dan orang tua, maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana saying dan hormat kepadanya. Bahkan, sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.

Setelah dewasa beliau dinikahkan dengan seorang perempuan yang solehah bernama tuan “Bajut”, seorang perempuan yang taat lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridha Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak pertama, terlintaslah dihati Muh. Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Makkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.

Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya sang istripun mengamini niat suci sang suami dan medukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian do’a mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muh. Arsyad mengaji kepada Syaikh-syaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau adalah Syaikh ‘Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syaikh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi, dan al ‘Arif Billah Syaikh Muhammad bin Abd. Karim al Samman al Hasani al Madani.

Syaikh yang disebutkan terakhir adalah guru Muh. Arsyad di bidang tasawuf, di mana di bawah bimbingannyalah Muh. Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari, Syaikh Abd. Somad al palembani (Palembang), Syaikh Abd. Wahab Bugis dan Syaikh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan “Empat Serangkai dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain.

Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan pada kampong halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penantiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.

Terdapat kisah menarik ketika Muh. Arsyad baru pulang dari tanah Arab. Ketika memasuki wilayah Nusantara, daerah yang mereka lewati pertama kali di Sumatera yaitu Palembang, kampung halaman Syaikh Abdus Samad Al Falimbani. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu kampung halaman Syaikh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi Muhammad Arsyad diminta menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syaikh Muhammad Arsyad membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara Arab Melayu (tulisan Jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 safar 1186 H.

Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.

Setelah kurang lebih 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawal 1227 H (1812 M) Allah Swt. Memanggil Syaikh Muhammad Arsyad kehadirat-Nya. Usia beliau 102 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk. 

No comments:

Post a Comment