Pengertian Rule of Law dan Negara Hukum
Pengertian Rule of Law dan Negara
hukum pada hakekatnya sulit dipisahkan. Ada sementara pakar mendeskripsikan
bahwa pengertian Negara hukum dan Rule of Law itu hampir dikatakan sama, namun
terdapat pula sementara pakar menjelaskan bahwa meskipun antara Negara hukum
dan Rule of Law tidak dapat dipisahkan namun masing-masing memiliki penekanan
masing-masing. Menurut Philipus M. Hadjon misalnya bahwa Negara hukum yang
menurut istilah bahasa Belanda rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan
menentang absolutism, yaitu dari kekuasaan raja yang sewenang-wenang untuk
mewujudkan Negara yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu dalam proses perkembangannya rechtsstaat itu lebih memiliki cirri
revolusioner. Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja maupun
penyelenggara Negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan
perundang-undangan, dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-undangan
itulah yang sering diistilahkan dengan Rule of Law. Oleh karena itu menurut
Hadjon Rule of Law lebih memiliki ciri yang evolusioner, sedangkan upaya untuk
mewujudkan Negara hukum atau rechtsstaat lebih memiliki ciri revoluisioner, misalnya
gerakan revolusi Perancis serta gerakan melawan absolutisme di Eropa lainnya,
baik dalam melawan kekuasaan raja, bangsawan maupun golongan teologis.
Oleh karena itu menurut Friedman,
antara pengertian Negara hukum atau rechtsstaat dan Rule of Law sebenarnya
saling mengisi (Fredman, 1960: 546). Oleh karena itu berdasarkan bentuknya
sebenarnya Rule of Law adalah kekuasaan politik yang diatur secara legal. Oleh
karena itu setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk
Negara mendasarkan pada Rule of Law. Berdasarkan pengertian tersebut maka
setiap Negara yang legal senantiasa menegakkan Rule of Law. Dalam hubungan ini
Rule of Law berdasarkan subtansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara. Konsekuensinya setiap
negara akan mengatakan mendasarkan pada Rule of Law dalam kehidupan
kenegaraannya, meskipiun Negara tersebut adalah Negara otoriter. Atas dasar
alasan ini maka diakui bahwa sulit menentukan pengertian Rule of Law secara universal,
karena setiap masyarakat melahirkan pengertian itupun secara berbeda pula
(Soegito, 2006: 4), dalam hubungan inilah maka Rule of Low dalam hal munculnya
bersifat endogen, artinya muncul dan berkembang dari suatu masyarakat tertentu.
Munculnya keinginan untuk
melakukan pembatasan yuridis terhadap kekuasaan, pada dasarnya disebabkan
politik kekuasaan cenderung korup. Hal ini dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi
dan peranan Negara bagi kehidupan individu dan masyarakat. Atas dasar
pengertian tersebut maka terdapat keinginan yang sangat besar untuk melakukan
pembatasan terhadap kekuasaan secara normatif yuridis untuk menghindari
kekuasaan yang dispotik (Hitchner, 1981: 69). Dalam hubungan inilah maka
kedudukan konstitusi menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat.
Konstitusi dalam hubungan ini dijadikan sebagai perwujudan hokum tertinggi yang
harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun sesuai
dengan prinsip government by law, not by
man (pemerintahan berdasarkan hokum, bukan berdasarkan manusia atau
penguasa).
Carl J. Friedrich dalam bukunya
Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and
America, memperkenalkan istilah Negara hokum dengan istilah rehtssaat atau
constitutional state. Demikian juga tokoh lain yang membahas rechtssaat adalah
Friederich J. Stahl, yang menurutnya terdapat empat unsure pokok untuk
berdirinya satu rechsstaat, yaitu: (1)
hak-hak manusia; (2) pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak
itu; (3) pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; (4) peradilan
administrasi dalam perselisihan (Muhtaj, 2005: 23).
Bagi Negara Indonesia ditentukan
secara yuridis formal bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan
atas hukum. Hal itu tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV, yang secara
eksplisit dijelaskan bahwa “...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…”. Hal ini mengandung arti
bahwa suatu keharusan Negara Indonesia yang didirikan itu berdasarkan atas
Undang-Undang Dasar Negara.
Dengan pengertian lain dalam
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum
atau rechtssaat dan bukan Negara kekuasaan atau machtssaat. Di dalamnya
terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan
konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut system
konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan
yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan setiap warga Negara dalam
hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap
penyalahgunaan wewenang oleh pihak penguasa. Dalam paham Negara hukum itu,
hukumlah yang menjadi komando tertinggi dalam penyelenggaraan Negara. Dalam
penyelenggaraan Negara yang sesungguhnya memimpin adalah hukum itu sendiri.
Oleh karena itu berdasarkan pengertian ini Negara Indonesia pada hakikatnya
menganut prinsip “Rule of Law, and not of
Man”, yang sejalan dengan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos.
Dalam Negara hukum yang demikian
ini, harus diadakan jaminan bahwa hokum itu sendiri dibangun dan ditegakkan
menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan
kedaulatan hukum itu sendiri pada hakikatnya berasal dari kedaulatan rakyat.
Olah karena itu prinsip Negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan
menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat atau democratische rechtssaat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan belaka
atau machtssaat. Prinsip Negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan
prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu
perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan
menurut Undang-Undang Dasar atau constitutional
democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische
rechtsstaat) Asshidiqie, 2005: 69-70).
Prinsip-prinsip Rule of Law
Sebagaimana dijelaskan di depan
bahwa pengertian Rule of Law tidak dapat dipisahkan dengan pengertian Negara
hukum atau rechtsstaat. Meskipun demikian dalam Negara yang menganut sistem
Rule of Law harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas, terutama dalam
hubungannya dengan realisasi Rule of Law itu sendiri. Menurut Albert Venn Dicey
dalam ‘Introduction to the Law of The Constitution, memperkenalkan istilah the
rule of law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum.
Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang fundamental dalam Rule of Law, yaitu:
(1) supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang,
dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum; (2)
kedudukan yang sama di muka hukum. Hal ini berlaku baik bagi masyarakat biasa
maupun pejabat Negara; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh
Undang-Undang serta keputusan-keputusan pengadilan.
Suatu hal yang harus diperhatikan
bahwa jikalau dalam hubungan Negara hanya berdasarkan prinsip tersebut
tersebut, maka Negara terbatas dalam pengertian Negara hukum formal, yaitu
Negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap Negara yang demikian ini
dikarenakan Negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang termaktub dalam
konstitusi semata. Dengan perkataan lain Negara tidak hanya sebagai ‘penjaga
malam’. Dalam pengertian seperti ini seakan-akan Negara tidak berurusan dengan
kesejahteraan rakyat. Setelah pertengahan abad ke-20 mulai bergeser, bahwa
Negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu
Negara tidak hanya sebagai ‘penjaga malam’ saja, melainkan harus aktif dalam
melaksanakan upaya-upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara
mengatur kehidupan sosial ekonomi.
Gagasan baru inilah yang kemudian
dikenal dengan welvaartstaat, verzorgingsstaat, welfare state, social service
state, atau ‘negara hukum materil. Perkembangan baru inilah yang kemudian
menjadi raison d’etre untuk melakukan revisi atau bahkan melengkapi pemikiran
Dicey tentang Negara hukum formal.
Dalam hubungan Negara hukum ini
organisasi pakar hukum internasional, International Comission of Jurists (ICJ),
secara intens melakukan kajian terhadap konsep Negara hukum dan unsur-unsur
esensial yang terkandung di dalamnya. Dalam beberapa kali pertemuan ICJ di
berbagai Negara seperti di Athena (1955), di New Delhi (1956), di Amerika
Serikat (1957), di Rio de Janeiro (1962), dan Bangkok (1965), dihasilkan
paradigm baru tentang Negara hukum. Dalam hubungan ini kelihatan ada semangat
bersama bahwa konsep Negara hukum adalah sangat penting, yang menurut Wade
disebut sebagai the rule of law is a phenomenon of a free society and the mark
of it. ICJ dalam kapasitasnya sebagai forum intelektual, juga menyadari bahwa
yang terlebih penting lagi adalah bagaimana konsep rule of law dapat
diimplementasikan sesuai dengan perkembangan kehidupan dalam masyarakat.
Secara praktis, pertemuan ICJ di
Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi rule of law dalam kehidupan
bernegara. Selain itu, melalui pertemuan tersebut telah digariskan bahwa di
samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan
ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar-standar sosial ekonomi. Komisi ini
merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law yang
dinamis, yaitu: (1) perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin
hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan teknis prosedural untuk
memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; (2) lembaga kehakiman yang
bebas dan tidak memihak; (3) pemilhan umum yang bebas; (4) kebebasan menyatakan
pendapat; (5) kebebasan berserikat/berorganisasi dan berposisi; dan (6)
pendidikan kewarganegaraan (Azhary, 1995: 59).
Gambarai ini mengukuhkan Negara
hukum sebagai welfare state, Karena sebenarnya mustahil mewujudkan cita-cita
rule of law sementara posisi dan peran Negara sangat minimal dan lemah. Atas
dasar inilah kemudian Negara diberikan keluasan dan kemerdekaan bertindak atas
dasar inisiatif parlemen. Negara dalam hal ini pemerintah memiliki freies
ermessen atau pouvoir discretionnare, yaitu kemerdekaan yang dimiliki
pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial ekonomi dan keleluasaan
untuk tidak terlalu terikat pada produk legislasi parlemen. Dalam gagasan
welfare state ternyata Negara memiliki kewenangan yang relative lebih besar,
ketimbang format Negara yang hanya bersifat Negara hukum formal saja. Selain itu dalam fare state yang terpenting adalah negara semakin otonomi untuk mengatur dan mengarahkan fungsi dan peran negara bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Kecuali itu, sejalan dengan kemunculan ide demokrasi konstitusional yang tak terpisahkan dengan konsep negara hukum, baik rechtsstaat maupun rule of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan yang fundamental serta saling mengisi. Dalam prinsip negara ini unsur penting pengakuan adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena, itu terlepas dari adanya pemikiran dan praktek konsep negara hukum yang berbeda, konsep negara hukum dan rule of law adalah suatu realitas dari cita-cita sebuah negara bangsa, termasuk negara Indonesia.
Maaf, saya izin copas ya
ReplyDelete