Wednesday, October 18, 2017

Pengertian Rule of Law dan Negara Hukum Serta Prinsip-prinsip Rule of Law




Pengertian Rule of Law dan Negara Hukum

Pengertian Rule of Law dan Negara hukum pada hakekatnya sulit dipisahkan. Ada sementara pakar mendeskripsikan bahwa pengertian Negara hukum dan Rule of Law itu hampir dikatakan sama, namun terdapat pula sementara pakar menjelaskan bahwa meskipun antara Negara hukum dan Rule of Law tidak dapat dipisahkan namun masing-masing memiliki penekanan masing-masing. Menurut Philipus M. Hadjon misalnya bahwa Negara hukum yang menurut istilah bahasa Belanda rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism, yaitu dari kekuasaan raja yang sewenang-wenang untuk mewujudkan Negara yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam proses perkembangannya rechtsstaat itu lebih memiliki cirri revolusioner. Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja maupun penyelenggara Negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan, dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-undangan itulah yang sering diistilahkan dengan Rule of Law. Oleh karena itu menurut Hadjon Rule of Law lebih memiliki ciri yang evolusioner, sedangkan upaya untuk mewujudkan Negara hukum atau rechtsstaat lebih memiliki ciri revoluisioner, misalnya gerakan revolusi Perancis serta gerakan melawan absolutisme di Eropa lainnya, baik dalam melawan kekuasaan raja, bangsawan maupun golongan teologis.

Oleh karena itu menurut Friedman, antara pengertian Negara hukum atau rechtsstaat dan Rule of Law sebenarnya saling mengisi (Fredman, 1960: 546). Oleh karena itu berdasarkan bentuknya sebenarnya Rule of Law adalah kekuasaan politik yang diatur secara legal. Oleh karena itu setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk Negara mendasarkan pada Rule of Law. Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap Negara yang legal senantiasa menegakkan Rule of Law. Dalam hubungan ini Rule of Law berdasarkan subtansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara. Konsekuensinya setiap negara akan mengatakan mendasarkan pada Rule of Law dalam kehidupan kenegaraannya, meskipiun Negara tersebut adalah Negara otoriter. Atas dasar alasan ini maka diakui bahwa sulit menentukan pengertian Rule of Law secara universal, karena setiap masyarakat melahirkan pengertian itupun secara berbeda pula (Soegito, 2006: 4), dalam hubungan inilah maka Rule of Low dalam hal munculnya bersifat endogen, artinya muncul dan berkembang dari suatu masyarakat tertentu.

Munculnya keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap kekuasaan, pada dasarnya disebabkan politik kekuasaan cenderung korup. Hal ini dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi dan peranan Negara bagi kehidupan individu dan masyarakat. Atas dasar pengertian tersebut maka terdapat keinginan yang sangat besar untuk melakukan pembatasan terhadap kekuasaan secara normatif yuridis untuk menghindari kekuasaan yang dispotik (Hitchner, 1981: 69). Dalam hubungan inilah maka kedudukan konstitusi menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dalam hubungan ini dijadikan sebagai perwujudan hokum tertinggi yang harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun sesuai dengan prinsip government by law, not by man (pemerintahan berdasarkan hokum, bukan berdasarkan manusia atau penguasa).

Carl J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, memperkenalkan istilah Negara hokum dengan istilah rehtssaat atau constitutional state. Demikian juga tokoh lain yang membahas rechtssaat adalah Friederich J. Stahl, yang menurutnya terdapat empat unsure pokok untuk berdirinya  satu rechsstaat, yaitu: (1) hak-hak manusia; (2) pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; (3) pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; (4) peradilan administrasi dalam perselisihan (Muhtaj, 2005: 23).

Bagi Negara Indonesia ditentukan secara yuridis formal bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Hal itu tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV, yang secara eksplisit dijelaskan bahwa “...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…”. Hal ini mengandung arti bahwa suatu keharusan Negara Indonesia yang didirikan itu berdasarkan atas Undang-Undang Dasar Negara.

Dengan pengertian lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum atau rechtssaat dan bukan Negara kekuasaan atau machtssaat. Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut system konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan setiap warga Negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak penguasa. Dalam paham Negara hukum itu, hukumlah yang menjadi komando tertinggi dalam penyelenggaraan Negara. Dalam penyelenggaraan Negara yang sesungguhnya memimpin adalah hukum itu sendiri. Oleh karena itu berdasarkan pengertian ini Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip “Rule of Law, and not of Man”, yang sejalan dengan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos.

Dalam Negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hokum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada hakikatnya berasal dari kedaulatan rakyat. Olah karena itu prinsip Negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat atau democratische rechtssaat.  Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan belaka atau machtssaat. Prinsip Negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar atau constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat) Asshidiqie, 2005: 69-70).

Prinsip-prinsip Rule of Law

Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa pengertian Rule of Law tidak dapat dipisahkan dengan pengertian Negara hukum atau rechtsstaat. Meskipun demikian dalam Negara yang menganut sistem Rule of Law harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas, terutama dalam hubungannya dengan realisasi Rule of Law itu sendiri. Menurut Albert Venn Dicey dalam ‘Introduction to the Law of The Constitution, memperkenalkan istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang fundamental dalam Rule of Law, yaitu: (1) supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum; (2) kedudukan yang sama di muka hukum. Hal ini berlaku baik bagi masyarakat biasa maupun pejabat Negara; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-keputusan pengadilan.

Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa jikalau dalam hubungan Negara hanya berdasarkan prinsip tersebut tersebut, maka Negara terbatas dalam pengertian Negara hukum formal, yaitu Negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap Negara yang demikian ini dikarenakan Negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang termaktub dalam konstitusi semata. Dengan perkataan lain Negara tidak hanya sebagai ‘penjaga malam’. Dalam pengertian seperti ini seakan-akan Negara tidak berurusan dengan kesejahteraan rakyat. Setelah pertengahan abad ke-20 mulai bergeser, bahwa Negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu Negara tidak hanya sebagai ‘penjaga malam’ saja, melainkan harus aktif dalam melaksanakan upaya-upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan sosial ekonomi.

Gagasan baru inilah yang kemudian dikenal dengan welvaartstaat, verzorgingsstaat, welfare state, social service state, atau ‘negara hukum materil. Perkembangan baru inilah yang kemudian menjadi raison d’etre untuk melakukan revisi atau bahkan melengkapi pemikiran Dicey tentang Negara hukum formal.

Dalam hubungan Negara hukum ini organisasi pakar hukum internasional, International Comission of Jurists (ICJ), secara intens melakukan kajian terhadap konsep Negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di dalamnya. Dalam beberapa kali pertemuan ICJ di berbagai Negara seperti di Athena (1955), di New Delhi (1956), di Amerika Serikat (1957), di Rio de Janeiro (1962), dan Bangkok (1965), dihasilkan paradigm baru tentang Negara hukum. Dalam hubungan ini kelihatan ada semangat bersama bahwa konsep Negara hukum adalah sangat penting, yang menurut Wade disebut sebagai the rule of law is a phenomenon of a free society and the mark of it. ICJ dalam kapasitasnya sebagai forum intelektual, juga menyadari bahwa yang terlebih penting lagi adalah bagaimana konsep rule of law dapat diimplementasikan sesuai dengan perkembangan kehidupan dalam masyarakat.

Secara praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi rule of law dalam kehidupan bernegara. Selain itu, melalui pertemuan tersebut telah digariskan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi, sehingga perlu dibentuk standar-standar sosial ekonomi. Komisi ini merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law yang dinamis, yaitu: (1) perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan teknis prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; (2) lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak; (3) pemilhan umum yang bebas; (4) kebebasan menyatakan pendapat; (5) kebebasan berserikat/berorganisasi dan berposisi; dan (6) pendidikan kewarganegaraan (Azhary, 1995: 59).

Gambarai ini mengukuhkan Negara hukum sebagai welfare state, Karena sebenarnya mustahil mewujudkan cita-cita rule of law sementara posisi dan peran Negara sangat minimal dan lemah. Atas dasar inilah kemudian Negara diberikan keluasan dan kemerdekaan bertindak atas dasar inisiatif parlemen. Negara dalam hal ini pemerintah memiliki freies ermessen atau pouvoir discretionnare, yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial ekonomi dan keleluasaan untuk tidak terlalu terikat pada produk legislasi parlemen. Dalam gagasan welfare state ternyata Negara memiliki kewenangan yang relative lebih besar, ketimbang format Negara yang hanya bersifat Negara hukum formal saja. Selain itu dalam fare state yang terpenting adalah negara semakin otonomi untuk mengatur dan mengarahkan fungsi dan peran negara bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Kecuali itu, sejalan dengan kemunculan ide demokrasi konstitusional yang tak terpisahkan dengan konsep negara hukum, baik rechtsstaat maupun rule  of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan yang fundamental serta saling mengisi. Dalam prinsip negara ini unsur penting pengakuan adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena, itu terlepas dari adanya pemikiran dan praktek konsep negara hukum yang berbeda, konsep negara hukum dan rule of law adalah suatu realitas dari cita-cita sebuah negara bangsa, termasuk negara Indonesia.                 

1 comment: