Falsafah Kritik Sastra
Pandangan terhadap kritik sastra
dapat dilihat dari berbagai sudut. Ada cendikiawan yang mengatakan bahwa kritik
sastra dapat dipandang sebagai :
- suatu disiplin teoritis atau ilmu;
- suatu skill atau keterampilan yang dibimbing oleh perasaan dan dikembangkan melalui pengalaman;
- suatu art dalam pengertian penganut Aristoteles adalah techne yaitu suatu produksi yang mempunyai maksud tertentu secara metodis.
Kritik sastra sebagai ilmu
Kalau kita menganggap bahwa
kritik sastra itu merupakan suatu ilmu atau suatu disiplin teoritis, maka
dengan sendirinya kita mengakui bahwa dia mempunyai metode dan teknik
penelitian ilmiah tertentu seperti juga halnya dengan ilmu-ilmu lain. Kita
mengetahui bahwa pada umumnya metode-metode ilmiah berlangsung melalui beberapa
tahap. Tahap-tahap tersebut adalah :
- pengumpulan data,
- pengklasifikasian data,
- pembentukan hipotesis,
- pembuktian hipotesis dengan ramalan data baru, dan
- pembentukan prinsip-prinsip ilmiah baru secara konsekuen.
Selain yang telah dikemukakan
diatas, kalau kita memandang kritik sastra itu sebagai suatu ilmu, kita harus
menerimanya sebagai suatu teori, Kita juga mengetahui bahwa maksud dan tujuan
suatu teori adalah mempersiapkan pengetahuan. Walalupun demikian, seorang ahli
yang bernama Joseph T. Shiple dengan tegas mengatakan bahwa kritik itu
mempunyai tujuan praktis sebagai suatu alat untuk mengemukakan serta memaparkan
proses kreasi artistik dan apresiasi. Oleh karena itu, dalam hal ini teori itu
haruslah member sumbangan pada kritik sesuai dengan kebutuhan. Beberapa
informasi yang dimaksud adalah :
- pengetahuan mengenai teknik dan bahan kreasi artistik;
- pengetahuan mengenai bahan-bahan pokok, yaitu objek dari penjelasan artistik suatu bidang studi yang benar-benar tidak terbatas luasnya;
- pengetahuan mengenai seniman serta aktivitasnya, psikologi kreasi artistic, biografi sang seniman, dan sejarah kesenian.
Kritik sastra sebagai suatu keterampilan
Kalau kita menganggap kritik
sastra adalah suatu skill atau keterampilan, maka perlu diadakan evaluasi
terhadapnya. Seperti halnya segala evaluasi, bagi kritikpun diperlukan
norma-norma. Kalau norma-norma telah ditetapkan, mudahlah untuk member
penilaian yang objektif.
Walaupun kita menganggap bahwa
kritik adalah suatu keterampilan, namun dia tidaklah pernah merupakan suatu
knack atau suatu keterampilan yang diperoleh dengan kebiasaan latihan, dan juga
tidak pernah merupakan suatu art atau seni dalam pengertian fine art atau
puisi. Dalam kehidupan sehari-hari orang dengan jelas membedakan kata kritik dari
kreasi, bahkan tidak jarang dipertentangkan.
Kata kreasi biasanya dipergunakan
bagi semua hasil sastra. Akan tetapi, dalam aspek analitisnya, kritik merupakan
suatu bagian mutlak dari proses kreatif dan dalam aspek sintetisnya, kritik
lebih cenderung kea rah kreasi sebagai suatu produksi dari karya lain.
Kritik sastra sebagai “art” atau “techne”
Yang dimaksud dengan art disini
adalah dalam pengertian techne seperti yang dianut oleh pengikut Aristoteles,
yaitu suatu produksi yang mempunyai maksud tertentu, secara metodis atau
methodical purposive production.
Suatu kritik bersifat metodis
dalam pengertian bahwa dia terjadi dalam peresmian dengan hukum-hukum dan
prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam pandangan-pandangan yang kompleks dan
beraneka ragam melalui masa berabad-abad yang mempunyai tradisi
sendiri-sendiri. Suatu kritik adalah purposive dalam pengertian bahwa dia tidak
mempunyai maksud khusus yaitu memelihara kreasi dan penikmatan keindahan,
dengan kata lain to foster the creation and enjoyment of beauty. Selanjutnya
kritik itu merupakan suatu produksi, dalam pengertian bahwa dia turut mengambil bagian atau berpartisipasi
dalam proses kreasi itu, sekalipun tidak dengan menyuguhkan karya-karya seni.
Sekalipun aliran yang kita anut
dalam falsafah kritik sastra berbeda-beda, tetapi satu kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri bahwa kritik sastra erat sekali kaitannya dengan nilai. I. A.
Richardds dan kritikus yang lain mengatakan bahwa kritik berakar pada
tuntutan-tuntutan nilai, baik secara eksplisit maupun implisit.
Ada penulis yang member
keterangan bahwa nilai-nilai dalam suatu karya dapat berupa
- nilai hedonik yang memberikan kesenangan secara langsung;
- nilai artistik yang memanifestasikan keterampilan seseorang;
- nilai kultural yang mengandung hubungan yang mendalam dengan satu masyarakat atau kebudayaan;
- nilai etis-moral-relegius; dan
- nilai praktis.
Kadang-kadang nilai yang telah
kita sebutkan di atas agak sukar ditentukan dalam suatu karya sastra. Di
sinilah sang kritikus selalu berhubungan dengan nilai-nilai. Oleh karena itu,
I.A. Richards mengatakan bahwa sang kritikus lebih erat hubungannya dengan
kesehatan rohani seperti halnya seorang dokter yang erat hubungannya dengan
kesehatan jasmani.
Prinsip-Prinsip Dasar Kritik Sastra
Kritik sastra sebagai suatu
pengamatan, perbandingan, serta pertimbangan baik dan buruknya nilai suatu
karya sastra, tentu memiliki beberapa prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam
langkah-langkah selanjutnya. Menurut seorang ahli yang bernama Vincil C.
Coulter, prinsip-prinsip tersebut adalah berikut ini
- sastra adalah suatu cara berpikir yang universal, karakteristik manusia dalam segala masa dan tahap perkembangan;
- tipe berpikir ini tidak akan dapat dikembangkan terpisah dari obyektivitasnya dalam beberapa bentuk tulisan yang bertindak sebagai suatu lambang yang penting;
- maksud dan tujuan cara berpikir ini adalah membuat pengalaman lebih intensif dan bermakna;
- pemupukan serta pengembangan sastra haruslah dilaksanakan melalui: (a) upaya pada penulisan yang kreatif, (b) melalui apresiasi, apropisasi, atau kesepadanan nilai-nilai yang terdapat dalam karya orang lain.
- nilai sastra suatu puisi, novel, dan drama senantiasa bersifat pribadi;
- intensitas pengalaman penikmat ssatra tergantung dari beberapa faktor yaitu : (a) perasaannya pada saat membaca; (b) paham atau tidaknya akan lambang-lambang yang dipakai; (c) biasa atau tidaknya akan interpretasi imajinatif; (d) pengalaman-pengalamannya pada masa lalu; (e) kesesuaian bahan-bahan yang disajikan pada masalah-masalahnya sendiri.
- dari segi hakikat dan tujuan sastra, nilai-nilai estetika perlu dialihkan, dan kegunaan suatu karya sastra tertentu mungkin saja berbeda dari masa ke masa, dari bangsa ke bangsa, dan dari pribadi ke pribadi.
- reaksi-reaksi perseorangan terhadap sastra ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan sikap kita terhadap diri dan lingkungan, sehingga pada akhirnya tidaklah mungkin suatu sastra tanpa mempertimbangkan implikasi-implikasi moralnya.
Lain halnya dengan pendapat seorang dramawan berkebangsaan Jerman yakni Goethe. Dia merumuskan tiga prinsip dasar yang pada awalnya khusus untuk prinsip dasar kritik sastra drama, tetapi kemudian juga berlaku untuk sastra pada umumnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut ini :
- Apa yang hendak dikerjakan oleh seniman?
- Baikkah seniman melakukan hal itu?
- Apakah hal itu pantas dilakukan?
Kalau kita berusaha untuk menjawab pertanyaan pertama, maka kita terutama harus menggarap atau berhubungan dengan hal-hal nyata. kalau kita menjawab pertanyaan kedua, maka kita mempertimbangkan betapa baiknya sang seniman memanfaatkan unsur-unsur seni serta memadunya menjadi suatu kesatuan artistik yang efektif. Jika kita mencoba menjawab pertanyaan ketiga, maka kita akan mengemukakan pendapat sendiri.
Aspek-Aspek Kritik Sastra
Setiap karya sastra mempunyai tingkatan dalam hal kesempurnaan, punya ukuran tersendiri tentang kebenaran atau kepalsuan serta keagumgan ataupun keremehannya. Setiap kritikus yang cakap pastilah akan memperhatikan ketiga aspek dari karya sastra tersebut. Kritik sastra pun memiliki tiga aspek yakni aspek historis, aspek rekreatif, dan aspek penghakiman. Kritik historis berhubungan dengan watak dan orientasi historisnya, kritik rekreatif berhubungan dengan kepribadian artistiknya. Aspek-aspek ini sepenuhnya merupakan faktor-faktor yang menjadi persyaratan bagi satu proses organis. Hubungan antara aspek yang satu dengan aspek yang lainnya jelas bersifat analog.
Karena hubungan masing-masing aspek bersifat analog, dengan sendirinya masing-masing aspek punya tugas jalinan tersendiri di antara wawasan dan karyanya. Kritik historis secara khusus mempunyai tugas untuk mencari dan menentukan hakikat dan ketajaman pengungkapan karya itu di dalam jalinan historisnya.
Kritik rekreatif tugas khususnya adalah dengan daya angan-angannya lewat jawaban artistik yang telah dihasilkan oleh kehalusan hatinya, menemukan apa yang telah diungkapkan oleh pengarang itu dengan benar-benar berhasil di dalam satu bentuk karya sastra tertentu, tugas khusus untuk kritik penghakiman adalah menentukan nilai dari sebuah karya sastra yang dibacanya.
Ketiga aspek tersebut merupakan tiga pendekatan yang komplementer ke arah sebuah karya, setiap pendekatan hanya bisa dilakukan dengan berhasil apabila dibarengi oleh kedua pendekatan lainnya. jadi orang tidak bisa mengadakan pendekatan karya yang menyeiuruh dan utuh hanya lewat satu ataupundua pendekatan saja. ketika pendekatan itu haruslah dijalankan sekaligus karena suatu pendekatan historis, misalnya kalau dipisahkan dari rekreasi sensitif dan pengkajian yang berdasarkan penghakiman, hanyalah akan menghasilkan suatu rentetan fakta-fakta objektif yang kering, kalau seseorang hanya bertumpu pada fakta-fakta objektif, pastilah akan gagal dalam usahanya untuk menentukan hakikat serta nilai karya sastra yang dihadapinya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tangkapan rekreatif dan pengkajian penghakiman itu kedua-duanya haruslah dilengkapi oleh suatu orientasi historis.