Mengetahui keterangan-keterangan
tentang pengertian yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an merupakan kewajiban
bagi umat Islam. Sebab hanya dengan membaca keterangan seperti itulah al-Qur’an
dapat membimbing kehidupan umat manusia ke jalan yang benar, sesuai dengan
tujuan diturunkannya oleh Allah swt.
Karena itu tidaklah mengherankan
bilamana para ulama dan cendekiawan Islam sejak dahulu mengharuskan
persyaratan-persyaratan yang cukup ketat bagi seseorang yang hendak menerangkan
kandungan al-Qur’an dalam bentuk tertulis (buku) kepada umat. Sebab ada
kebebasan untuk memikirkan dan merenungkan makna kandungan ayat itu, namun bila
tiada dibimbing dengan pengetahuan yang berdasarkan dalil dan logika yang murni
dan benar, dikuatirkan mala justeru menyesatkan umat, terutama yang akan
membaca karangannya itu. Apalagi orang yang hendak diberinya penerangan itu
hamper 100 % buta bahasa al-Qur’an. Di
sinilah letaknya pertanggungjawaban seorang mufasir, yakni tanggung jawab akan
kebenaran tulisan, dan tanggung jawab kepada Allah kelak bahwa apa yang
dibuatnya tidak menyimpang dari maksud firman-firman-Nya itu.
Menurut Dr. al-Zahabiy, seorang
mufasir sebelum memulai pekerjannya, hendaknya terlebih dahulu mengingat
beberapa persyaratan yang harus dipenuhinya ketika hendak mengerjakan
tafsirnya, yaitu;
- Hendaklah tafsir yang ditulis seorang mufasir berdasarkan keterangan-keterangan yang terdapat dalam sunnat nabawiyah. Hendaklah ia menguasai ilmu-ilmu yang menyangkut bahasa Arab, dan memahami dasar-dasar yang telah disepakati bersama dari syari’at Islam. Oleh karena itu, seorang mufasir hendaklah menyandarkan bahan tulisannya ke dalam kitab tafsir yang telah ditulis orang dalam bahasa Arab. Andaikata dia menulis tafsir itu bebas sama sekali dari hadis-hadis Rasulullah, Bahasa Arab, dan sumber-sumber syari’at itu, maka tafsirnya tidak dapat diterima.
- Hendaklah penafsir membuang jauh-jauh segala macam aqidah/kepercayaan/ideologi yang nyata-nyata bertentangan dengan al-Qur’an. Sebab, bila seseorang sudah cenderung hatinya kepada sesuatu aliran yang sesat itu, pastilah aliran atau ideologi tersebut akan mempengaruhi pikirannya dalam mengerjakan tafsir itu, sehingga akan terpengaruhlah oleh selera hawa nafsunya sendiri. Atau dia menulis sesuatu tentang tafsir al-Qur’an itu dengan menyesuaikan diri dengan suasana lingkungannya, sehingga tulisannya jauh sekali dari maksud dan hidayah Ilahi yang terkandung dalam kitab suci al-Qur’an.
- Hendaklah mufasir menguasai betul-betul kedua bahasa tersebut (dalam hal ini bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an dan bahasa yang akan dipergunakan dalam menafsirkan al-Qur’an itu).
- Hendaknya terlebih dahulu ditulis ayat-ayat yang bersangkutan, baru diikuti dengan tafsir atau keterangannya, atau terjemahnya; kemudian diberi uraian-uraian yang diinginkan menurut syarat-syarat tersebut di atas.
Menurut Imam al-Sayuthiy,
Ilmu-ilmu yang harus dipunyai oleh seorang yang hendak menjadi mufasir adalah;
- Bahasa Arab, hingga mujahid mengatakan, “orang yang tidak mengetahui seluruh bahasa Arab, tidak boleh menafsirkan al-Qur’an”.
- Undang-undang bahasa Arab.
- Ilmu ma’aniy, bayan, dan badi’ (untuk mengetahui keindahan susunan pembicaraan yang memberikan suatu pengertian dan jalan-jalan mengetahuinya).
- Dapat menentukan yang mubhan dan yang mujmal, mengetahui sebab nuzul dan naskh, yang penjelasan-penjelasannya berasal dari hadis.
- Mengetahui ijmal, bayan, umum, khushush, itlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan, dan sebagainya yang diambil dari ushul fiqh.
- Ilmu kalam.
- Ilmu qira’at.
No comments:
Post a Comment