Tuesday, October 31, 2017

Kumpulan Kisah Wali Songo atau Wali Sembilan


Mungkin sebagian dari masyarakat Indonesia saat ini hanya mengenal Walisongo sebatas tempat ziarah yang identik dengan dunia mistik. Walisongo hanya tergambar sebagai mitos yang jauh dari fakta sejarah. Atau dengan kata lain, ketika mendengar nama Walisongo yang terlintas di pikiran mereka hanyalah tempat berdoa, orang-orang yang memiliki kesaktian, karamah hingga hal-hal mistis lainnya. Padahal, walisongo telah mewariskan beragam karya dan perjuangan yang terekam jelas melalui jejak-jejak yang saat ini masih dapat  kita jumpai. Karya monumental Walisongo yang ada sampai saat ini adalah agama Islam masuk ke Nusantara tanpa kekerasan atau peperangan, yang berbeda dengan sejarah masuknya Islam di negara-negara lain yang diawali dengan peperangan. Perkembangan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari dakwah era Walisongo. Yang dilakukan oleh Walisongo dan sukses adalah mengislamkan Nusantara dengan cara-cara damai melalui akulturasi kebudayaan atau dengan penghargaan terhadap tradisi lokal.

Ada empat pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah "wali" yang ada sembilan, atau "sanga" dalam bahasa Jawa. Kedua menyebutkan bahwa kata  songo/sanga berasal dari kata "tsana" yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Ketiga menyebut kata "sanga" berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Keempat mengatakan bahwa "Walisongo" adalah sebuah majelis dakwah di Nusantara (yang meliputi Indonesia, Malayu/Malaysia, dan sekitarnya) yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).

Pohon Walisongo

Sunan Gresik

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia diperkirakan lahir di Samarkand (As-Samarqandy) di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Dalam cerita rakyat ada yang memanggilnya "Kakek Bantal" karena beliau sangat menyayangi dan dekat dengan kaum yang kurang mampu.

Sunan Gresik dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan pada masa akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik.

Selain ahli ilmu agama, Sunan Gresik juga ahli pertanian, ahli tata negara dan perintis lembaga pendidikan pesantren. Beliau wafat pada tahun 1419 M (882 H), beliau dimakamkan di Gapura Wetan Gresik.

Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Menurut riwayat, ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan Putri Raja Champa terakhir dari Dinasti Ming. Suanan Ampel dilahirkan di Aceh tahun 1401 M.

Wejangan terkenal Sunan Ampel adalah MoLimo. Molimo ini merupakan ajaran yang Moh (bhs Jawa= tidak mau atau menolak) pada lima kata yang diawali huruf "M" dalam bahasa Jawa, yaitu 1). Moh Madat (tidak mau mengisap candu atau penggunaan obat-obatan terlarang), 2). Moh Madon (yang artinya tidak mau main perempuan), 3). Moh Mabuk, 4). Moh Maling (tidak mau mencuri), 5). Moh Main (tidak main judi).

Sunan Ampel adalah sesepuh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa.

Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Tejo dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang, Siti Syari'ah alias Nyai Ageng Maloka, Suanan Drajat, Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah.

Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah putri Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah (istri Sunan Giri), Asyiqah alias Dewi Murtasimah (istri Raden Fatah), Raden Husamuddin (Sunan Lamongan), Raden Zainal Abidin (Sunan Demak), Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2).

Suanan Ampel wafat di Desa Ampel Denta tahun 1418 M. Beliau dimakamkan di Ampel Denta dekat Masjid Sunan Ampel Surabaya.

Sunan Giri (Raden Paku)

Suanan Giri atau Raden Paku adalah putra dari Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit. Lahir di Blambangan tahun 1442, beliau memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro.

Sunan Giri merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang yang ahli fiqih dan menguasai ilmu Falak. Di masa menjelang keruntuhan Majapahit, ia dipercaya sebagai Raja pera peralihan sebelum Raden Fatah naik menjadi Sultan Demak. Ketika Sunan Ampel wafat, ia menggantikannya sebagai Mufti tanah Jawa.

Sunan Giri mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik, yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa, Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Terdapat beberapa karya seni tradisional yang sering dianggap berhubungan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, dan Cublak-cubkak Suweng, serta beberapa Gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Sunan Giri meninggal pada tahun1506 M dan dimakamkan di desa Giri kabupaten Gresik, provinsi Jawa Timur.

Sunan Bonang

Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim adalah putra Sunan Ampel yang lahir tahun 1465. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Sunan Bonang terkenal sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Ia menimba ilmu ke Pasai bersama-sama Raden Paku. Beliaulah yang mendidik Raden Fatah. Beliau diperkirakan wafat tahun 1525 M dan dimakamkan di kompleks Masjid Agung Tuban Jawa Timur.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syaikh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.

Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: Raden Umar Said alias Sunan Muria. Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah.

Sunan Kalijaga banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam. Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Selain itu, beliau menciptakan Tembang suluk Lir-Ilir dan Gunddul-gundul Pacul.

Sunan Drajat

Nama aslinya adalah Syarifudin (puta Sunan Ampel, adik Sunan Bonang). Dakwah beliau terutama dalam bidang sosial. Beliau juga mengkader juga mengkader para da'i yang berdatangan dari berbagai daerah, antara lain dari Ternate dan Hitu Ambon.

Sunan Drajat lebih banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengalaman dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan Jawa. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat wafat pada tahun 1522 dan dimakamkan di daerah Drajat Lamongan Jawa.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunug Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syaikh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana/Cakra atau Mbah Kuwu Cirebong Girang.

Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Sunan Kudus

Sunan Kudus lahir dengan nama asli Ja'far Shadiq, lahir pada pertengahan abad ke-15. Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasihat Sultan Demak, mursyid thariqah, dan hakim peradilan negara.

Sunan Kudus banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan Priayi Jawa. Di antaranya yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak Jawa Tengah, dan Arya Penangsang Adipati Jipang Panolan.

Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Masjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam dan merupakan salah satu warisan budaya Nusantara. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M.

Sunan Muria

Sunan Muria dilahirkan dengan nama asli Raden Prawoto atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga. Beliau menyebarkan Islam dengan menggunakan sarana gamelan, wayang, serta kesenian daerah lainnya.

Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

Beliau wafat dan dimakamkan di Gunung Muria, di sebelah utara Kota Kudus Jawa Tengah. 






 

1 comment: